Social Icons

Jumat, 01 Februari 2013

Cerita - cerita Pendek Panji Cybersufi oleh Imam Marsus


Cerita - cerita Pendek Panji Cybersufi

Panji (Panji Cyber Sufi) begitu jeli dan faham berbagai hal yang dihadapinya. Ia melihat, mengamati, merasakan dan mengendapkan, kemudian ia kembalikan dengan keindahan. Mengasyikkan, seperti apa yang ditulisnya dalam bentuk cerita. Beberapa cerpen stok lama yang ditulisnya ia kirimkan via email. Cerpen - cerpennya mengejutkan. Ia bermain-main dengan kata - kata. Dan ia mampu menyamarkan apa yang ada di balik cerita, sehingga teks terhindar dari sekedar bahasa pemaparan kronologi penceritaan yang verbal. Beberapa di antara cerpen - cerpen tulisan Panji itu adalah:


Cerpen 1: Jonggrang.

Cerita - cerita Panji Cybersufi, Candi Prambanan,
Dalam cerpen ini, pemaparan jalan cerita tentang pergulatan pikiran seorang pencuri patung di Candi Roro Jonggrang dapat ditelusuri dengan kalimat - kalimat yang amat hemat, namun tidak kehilangan kesan kalimat-kalimat yang indah seperti halnya dalam format cerpen pada umumnya yang lebih panjang sehingga leluasa mengeksploitasi kata - kata. Cerpen Jonggrang jelas tidak bermain kata - kata paling substantif seperti halnya puisi, namun cerpen yang bertebaran kata - kata naratif yang puitis.
Penggambaran kerja sang tokoh utama ketika mengingat waktu masih menjadi seorang pematung misalnya, tertulis dengan kata-kata “ Bersama debu menari mengosongi segala bentuk, membentuki pikiran – pikiran dengan tangan - tangan yang menatah. Bunyi batu dan bau keringat.” Puitis ! Merangkum dari narasi panjang lebar yang diperlukan untuk menjelaskan aktifitas sang tokoh utama guna memberi pengertian bagi pemahaman pembaca untuk alur cerita. Atau dalam alinea selanjutnya sewaktu sang tokoh tengah merindukan romantisme suasana masa lalu dirinya dan mulai menghubungkan dengan apa yang akan dilakukannya guna melepaskan kerinduan masa lalunya itu, “ Batu-batu yang dipandanginya tetap menyungging tatahan, suara – suara ganjil dibentuk kediaman. Kediaman yang dibentuk pada masa lampau yang mematung menjadi bangunan. Bentuk – bentuk yang merenung. Tangannya masih kasar. Batu masih saja besar untuk diteliti apalagi oleh tangan -tangan kasar ”.

Kalimat - kalimat seperti itu, dengan diselipi dua kali penekanan kata - kata “ Betapa tinggi citra rasa orang -orang dahulu.”, membentuk plot cerita sehingga sampai berujung pada ending yang mengejutkan: “ Bandung Bondowoso.” Cerdik ! Cerita tentang kejadian sebuah pencurian patung di sebuah candi, dapat dirasakan pembaca seperti halnya sebuah dongeng masa lalu yang tiba - tiba hadir dalam situasi kekinian. Tindak pencurian tetaplah sebuah kejahatan, biarpun dengan dilatarbelakangi alasan artistik seperti kegandrungan kepada benda - benda seni dan romantisme sebuah memori, maupun dengan niat berhumor seperti ending dalam cerpen Jonggrang ini. Berhumor, dalam hubungannya di akhir cerita si tokoh utama dengan jahil dan iseng mengidentifikasi dirinya sebagai Bandung Bondowoso, sang kekasih Roro Jonggrang dalam cerita legenda.

Namun pada akhirnya, pencuri tetaplah pencuri. Maling tetaplah maling. Biarpun predikat “ pencuri ” atau “ maling ” diganti dengan kata - kata “ koruptor ” yang terdengar lebih santun dan menjadi trend di masa kini, misalnya. Itulah nalar realita, bukan nalar sastra. Dan seperti itulah kekuatan bahasa yang dapat menghipnotis bila kita kurang peka, bila cerpen Jonggrang itu dihubungkan dengan realita non - sastra.

Dalam kaidah sastra, cerpen Jonggang dengan tema tentang perbuatan seorang maling digambarkan dengan cerita yang samar, terselubung dengan tehnik kamuflase penekanan narasi renungan pelaku utama seorang mantan pemahat yang hendak mencuri sebuah patung. Kita kemudian terbuai dengan narasi tentang elemen -elemen artistik karya patung di sebuah tempat eksotis yang bernama candi. Bukan hanya itu, masa lalu dan masa kini, serta kejutan di akhir cerita dengan kata - kata “ Aku akan menikahinya. Bandung Bondowoso.”, berhasil melengkapi elemen - elemen penting cerpen. Hanya sayangnya masih juga dilengkapi keterangan tentang reaksi para petugas sebagai penutup yang cukup mengganggu: “ Semua berpandangan.” Kalimat itu terasa merusak karena terbaca lebih verbal di tengah dominasi maksud teks secara keseluruhan yang samar dan manipulatif. Tanpa kalimat terakhir itu, sebetulnya cerita sudah bisa difahami pembaca.


Cerita dua: Ketika Es Terlalu – Lalu Manisnya.

Es buah, Cerpen Ketika Es Terlalu - lalu manisnya
Dalam semua film - film James Bond 007, selalu ada adegan James Bond yang meminta minuman favoritnya, Vodka campur Martini dengan kata - kata perintah kepada sang bartender: “ Dikocok bukan diaduk ”. Dalam film Red Cliff II ( sutradara John Woo ), adegan seni menyuguhkan dan minum teh yang diperagakan oleh sang putri kerajaan berhasil menjadi sebuah strategi jitu sehingga pasukan Tiga Kerajaan berhasil mengalahkan pasukan perdana menteri Cao - Cao yang jumlahnya ratusan ribu prajurit terlatih. Dalam novel Patriot Games ( Tom Clancy ), kebiasaan minum orang Amerika yang menambahkan es batu ke dalam minumannya selalu dipersoalkan oleh orang - orang Inggris dalam tokoh - tokoh novel itu.
Seperti itu maksud cerpen Ketika Es Terlalu - Lalu Manisnya: perbedaan budaya cara minum. “ Pada mangkuk itu dibuatnya tanda silang lalu diaduk, dari pinggir mangkuk lalu memusar ketengah, sentri petal, sentri fugal. Melingkarkan sendok menyusur seluruh isi ”.  Demikian “ ritual ” minum sang backpacker, tokoh utama yang tidak suka minuman bergula.

Tapi dalam cerpen ini, perbedaan adalah eksotisme. Sang pelayan warung minuman memaksakan kepada sang backpacker untuk menikmati minuman yang manis dengan porsi gula lebih, khas minuman Jawa. Sang backpacker keberatan, tidak mau mengalah, biarpun dia kemudian menyadari bahwa minuman yang dipesannya memang minuman bergula, khas minuman Jawa. Itu pertama. Kedua, sang backpacker tahu bahwa sang pelayan yang orang Jawa itu memang keras kepala. Dialog singkat dan narasi yang mempersoalkan hal itulah, yang menurut saya menjadi nilai lebih cerita cerpen itu, dan mampu menangkap esensi pengalaman batin sang backpacker yang selalu dicari-cari oleh seorang wisatawan : Suasana dan tempat berbeda.

Dan terasa lebih eksotis, sang tokoh adalah seorang bule dari negeri Belanda, ditulis dengan kata-kata yang menarik pula: “ Sepanjang jalan beraspal, Kuda meringkik keras seiring deraan dan helaan. Meringkik keras seperti merasakan hawa Syetan yang kental disela - sela asap kendaraan. Andhong yang melaju dengan senyum turis. Turis – turis yang suka dibokongi Kuda. Beberapa turis lelaki dan wanita dari Belanda.”

Ada permainan kata - kata yang menarik dalam cerpen singkat itu. Cerpen ini juga mampu menangkap kesan isi hati seorang turis merasakan suasana berbeda di tempat yang dikunjunginya. Penggambaran suasana dalam cerpen ini terasa “Jawa” sekali, tanpa banyak menyebut atribut benda - benda sebagai keterangan yang menerangkan tempat. Dan sang backpacker berhasil mendapatkannya.

Kesan “ berwisata ” tampak dalam cerpen ini. Bukan hanya berwisata sekedar menjadi cerita, namun juga “ berwisata ” sang penulis mengingat kembali saat - saat membaca karya - karya sastra, dalam hal ini cerpen, karya - karya penulis Barat yang mempengaruhi sang penulis dalam menulis cerpen ini. Gaya penceritaan sang raja cerpen dunia, Anton Chekov amat terasa dalam cerpen ini. Keterpengaruhan itu mengurangi keberhasilan cerpen ini. Dalam hal apapun, nilai sebuah karya ditentukan juga oleh faktor - faktor tidak adanya dominasi pengaruh sehingga sang penulis akan lepas serta bisa menjadi dirinya sendiri.


Cerpen Tiga : Doelah Buntut.

Ini cerpen khas era kejayaan Orde Baru. Realis, kritis, sumir dan getir. Semangat jaman Orde Baru adalah semangat mimpi. Semangat obral janji muluk - muluk dan manipulasi sana - sini. Janji - janji kosong yang selalu disuarakan oleh aparat pemerintahan, berujung pada tumpulnya semangat di kalangan masyarakat kecil, masyarakat yang hanya bisa menikmati khayal dan mimpi - mimpi di antara rasa frustasi.

Mimpi itu perlu. Rezim otoriter membutuhkan itu sebagai sarana penghibur bagi rakyat banyak. Bila rakyat terhibur, maka akan gampang dibungkam. Biarpun membungkamnya dengan permainan perjudian. Jaman itu (era Orde Baru) terciptalah bentuk perjudian lotere nasional yang amat terkenal: SDSB ( Sumbangan Dana Sosial Berhadiah ). Cukongnya langsung seorang menteri kepercayaan Presiden Soeharto, Sudomo, yang bekerja - sama dengan raja - raja judi kelas kakap. Ironisnya, rakyat banyak waktu itu menganggap bahwa SDSB adalah dewa penyelamat. SDSB adalah candu. Judi adalah jalan. Dan mimpi adalah pelarian rasa frustasi.

Pak Doelah, seorang kuli bangunan melarat yang punya anak bernama Syarwan dan Warti. Ia kecanduan SDSB sambil menjadi peramal angka lotere yang dipercaya teman - temannya. Pak Doelah berusaha mencari wangsit sampai ke gunung Kemukus, gunung yang dikenal sebagai tempat pertapaan yang terletak di tepi waduk Kedung Ombo di wilayah Sragen, Jawa Tengah. Pak Doelah juga rajin mencoret - coret angka di buku - buku catatan pelajaran anak - anaknya, sambil mencari wangsit di kuburan kampung. Ia punya mantra andalan yang diyakini mujarab untuk memenangkan tebakan lotere.

togel, bunthut
Ketika Pak Doelah suatu ketika berhasil mendapat uang karena tebakannya keluar, ia kemudian mati menjadi korban tabrak lari, justru ketika ia sedang menuju tempat Bandar lotere hendak mengambil uang hadiah yang akan diterimanya. Bagi kedua anaknya, Pak Doelah adalah pahlawan karena pengorbanan dan usaha kerasnya untuk membelikan sepeda ontel guna dipakai pulang pergi ke sekolah Syarwan dan Warti. Di depan pusara bapaknya, Syarwan mengucap kekaguman seraya mengucap janji kepada almarhum bahwa sepeda ontel yang dipesannya dari uang hasil lotere almarhum, akan dipakai mengantar sekolah Warti setiap hari sehingga kelak Warti akan menjadi seorang sarjana pertama yang ada di kampungnya.
Cerpen ini manis, dengan penggambaran suasana kampung daerah pinggiran Jogjakarta di awal - awal cerita, kemudian ditutup dengan kata - kata magis Syarwan yang menirukan mantera bapaknya di atas pusara almarhum:

“ Yen, Yenthe, ngadeheg dhewe Yen, yenthe

Ngadeg dhewe yen, yenthe ngadeg dewe yen,

Yenthe ngadheg dhewe yen …”

Sebelumnya, telah tertulis gambaran anak - anak kecil yang bermain layangan di tanah lapang. Imajinasi tentang kekosongan langit siang dan layangan kertas meliuk - liuk di awan, mampu menerbangkan imajinasi terbawa mantra ke dalam kekosongan yang senyap. Itu kelebihannya. Hanya sayangnya, jalan menuju ke suasana imajinatif itu terasa amat panjang untuk ukuran cerpen. Mulai halaman awal sampai beberapa halaman berikutnya, gaya realis terasa berkepanjangan, sehingga terasa membuang energi yang cukup melelahkan untuk dibaca.

Cerpen Empat: Cemani.

Cerpen panji Cybersufi,
Ini cerpen susah dimengerti. Cemani, ayam cemani, adalah ayam hitam langka yang oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap punya simbol magis. Lingga, adalah bahasa Sansekerta yang berarti alat kelamin laki - laki. Yang dapat saya tangkap adalah perkawinan antar unggas dan ayam cemani yang berisik, dan menimbulkan kematian bagi unggas - unggas itu seiring selesainya perkawinan dengan masuknya sang “ lingga ”. Darah hitam berceceran, menjadi moment menarik diabadikan dengan jepretan kamera. Darah hitam berceceran, sesudah itu dikubur. Kubur diziarahi, lalu muncullah wanita misterius menuju makam dengan pakaian serba hitam yang dianggap sebagai penjelmaan ayam cemani. Gadis berpakaian serba hitam itu kemudian dinamakan Cemani.
Ada unsur mistis dalam cerpen ini. Sulit diurai logika, dan ada kesan terburu - buru sehingga kurang rapi serta tidak bisa dimengerti oleh pembaca yang kurang mengerti unsur - unsur mistis seperti simbol Ayam Cemani serta istilah “ lingga ” yang dalam cerita ini mendapat arti khusus berupa alat kelamin “ super ” yang dapat mematikan pasangan lawan jenis dalam proses perkawinannya.
Bila penggambaran itu diperjelas lagi, cerpen ini akan berhasil dan menarik. Bagaimanapun juga, sebuah cerita butuh penggambaran yang cukup jelas untuk menarik benang merah, bila sebuah cerita tidak hanya cukup dimengerti sebagai sebuah ekspresi belaka. Itu pertama. Yang ke dua, masih ada lagi pengaruh gaya penceritaan cerpen-cerpen karya para penulis Barat dalam cerpen ini yang dinamis, singkat dan cepat. Dalam kultur Barat yang serba pragmatis, mungkin gaya seperti itu cocok. Tetapi, tema cerpen itu adalah kultur Jawa. Kultur Jawa amat mementingkan harmoni dan keleluasaan. Mungkin dengan gaya penulisan yang lebih santai dan lambat, cerpen Cemani ini akan lebih berhasil. Apalagi ada unsur misteri yang cukup kental dalam cerpen itu. Gaya penulisan “ alon-alon asal kelakon ” mungkin lebih cocok untuk tema cerpen yang terasa amat “ Jawa ” itu.



Cerita dalam cerpen ini campur aduk antara unsur romantisme hubungan suami istri, teori sex, nama - nama calon bayi, unsur kejawen, wayang, kedokteran, gempa Jogja, istilah - istilah ilmu fisika, istilah - istilah ritual Islam dan Jawa, pusaka Jawa dan lain sebagainya. Amat padat sehingga terasa amat sesak, bagaikan para pengungsi gempa Jogja yang berdesakan di ruang - ruang penampungan darurat. Sulit mengambil nafas serta amat sesak. Tidak ada kenyamanan dalam membaca cerpen ini. Sebuah bacaan perlu ruang lega untuk mengambil nafas. Dan itu tidak terdapat pada cerpen Keris ini.

Tetapi, cerita tentang moment menyambut kelahiran bayi dalam sebuah keluarga memang seringkali terlalu menyita energi. Diskusi sepasang suami - istri untuk memilih nama calon bayi misalnya, bagi orang Indonesia memang terlalu berlebih - lebihan. Orang Indonesia amat gandrung memberi nama kepada anak - anaknya dengan nama - nama aneh, menggelikan, tidak nyambung serta tidak membumi. Tentu saja, itu mungkin ada hubungannya dengan mentalitas bangsa Indonesia yang lama dijajah bangsa asing. Mental bangsa inlander yang suka latah, ikut - ikutan, serta tidak percaya diri masih tertanam kuat setelah Enam Puluh tahun lebih bangsa kita merdeka.

Sudah berabad - abad lamanya, orang Inggris bangga dengan nama - nama Edward, Albert, John, Victoria dan sebagainya. Nama depan orang - orang Anglo Saxon di manapun dari jaman dahulu kala sampai sekarang masih tetap itu - itu saja. Orang Arab bangga dengan nama Abdullah, Mahmud, Aisyah dan sebagainya. Orang Korea dengan Kim, Sam, Moon, Young dan sebagainya. Tetapi kita ? Kita selalu minder dan merasa tidak terhormat bila mempunyai nama yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek - moyang. Orang Jawa tidak bangga dengan nama Jawa - nya. Begitu pula yang Sunda dan sebagainya.

Bangsa yang kerdil merasa perlu mendongak ke atas untuk berlindung di balik bayang - bayang bangsa lain yang lebih besar. Para kurcaci akan merasa besar bila berjalan di belakang bayangan langkah sang kurcaca. Itulah kita, yang selalu tertipu bahwa sudah hampir Tujuh Puluh tahun sejak Proklamasi, sebenarnya kita belum merdeka. Kita ini para penipu yang tidak pernah sadar bahwa kita juga sebenarnya tengah tertipu.

Cerpen Keris ini cukup menggambarkan fenomena keseharian disekitar kita itu, termasuk dilengkapi pula gambar halaman sebuah buku yang mengupas pengaruh salah satu karya musik klassik Barat yang dipercaya berpengaruh pada kecerdasan bayi: Canon in D Mayor karya Pachelbel, tanpa kita berani menyanggah kebenaran pendapat itu, sebab bagaimanapun juga kita tidak akan mendapat jawaban langsung dari sang bayi. Itu pasti.

Dalam cerpen Keris ini, penulis lebih memilih untuk berusaha menengok kembali ke akar, ke dalam tradisi nenek moyang, di mana sang calon bayi yang hendak dilahirkan itu berasal: “ Keris yang kuhunus itu berdapur sengkelat, “ Denawa Catur Mlebu Jagad ”. Penulis rupanya tersadar, seperti halnya kita yang selalu tenggelam dalam keterasingan ketika berselancar di dunia maya, kemudian mematikan komputer dan merasakan bahwa kita kembali berada di dunia nyata. Saya jadi ingat petikan sajak Ajip Rosyidi dalam hal ini:


“ Orang - orang pergi ke hutan

Mereka kembali dengan gulungan kayu bakar

Orang - orang berperahu ke laut

Mereka kembali dengan keranjang - keranjang ikan

Orang-orang pergi ke kota

Dan mereka tidak pernah kembali ”


Cerpen Enam: Senyuman.

Silaturrakhmi itu kedekatan, pertemuan atau penyatuan. Moment silaturrakhmi tidak harus dirayakan dengan keriuhan yang kadang disalah-artikan sebagai makna keberhasilan acara silaturrakhmi. Silaturrakhmi kini sudah banyak dikomodifikasi menjadi ajang loby - meloby politik dan bisnis. Juga unjuk pamer status sosial dan keberhasilan masing - masing pribadi. Dalam cerpen Senyuman ini, kita diajak untuk kembali menuju makna yang lebih fitri. Kesederhanaan itu terasa khidmat serta terasa dapat lebih jauh menyatukan dua hati: antara sang paman dan keponakan, yang keduanya diam - diam merasa terasing dalam suasana hangar - bingar acara silaturakhmi trah keluarga besarnya. Keduanya disatukan bukan oleh gebyar meriahnya suasana, tetapi oleh kesederhanaan hidup sehari-hari sang paman sebagai seorang penggembala kambing yang dermawan, dan terasa membekas bagi sang keponakan yang dapat menilai ketulusan hati pamannya itu lewat senyumnya yang selalu mengalir begitu saja: cheers.

Sebagai cerpen, Senyuman cukup memberi pencerahan. Sayang, kalau cerpen ini tidak dilengkapi dengan dialog, gaya penceritaannya nyaris jatuh ke dalam gaya pemaparan essai non fiksi. Suasananya kurang imajinatif. Ruang yang nilai imajinatifnya kurang tersedia dalam sebuah tulisan, belum dapat dikatakan sebagai sebuah karya fiksi.


Cerpen Tujuh: Anime Senja.

Tidak ada yang baru dalam cerpen ini. Pengaruh televisi begitu jauh mempengaruhi anak - anak, apalagi film animasi. Kegandrungan orang dewasa juga tidak kalah dibanding anak-anak mereka. Orang tua selalu mendikte anak-anaknya dengan melarang anak-anaknya berlama - lama di depan televisi, biarpun diam - diam mereka juga menonton apa yang menjadi kesukaan anak-anaknya. Itu biasa. Maksud cerpen ini untuk menyindir boleh juga, cuma mungkin akan berhasil bila dengan jalan cerita yang berbeda.

Itulah cerpen - cerpen stok lama Panji Cyber Sufi. Lancar, dinamis, liar, serta menjelajah ke mana - mana. Asyik dibaca, dan punya kejutan - kejutan yang tidak terduga. Gaya bahasanya puitis, walaupun sekali lagi, kadang kurang harmonis ditulis dengan gaya tulisan yang dinamis. Cerpen - cerpen yang dikirim via Email itu mungkin sudah lapuk karena sudah lama. Tetapi, cerpen - cerpen yang berhasil ditulisnya pasti akan jauh lebih kuat dan menarik untuk dibaca. Siap - siaplah membaca bila suatu waktu cerpen - cerpen itu akan menjadi sebuah buku. Kapan itu, Panji?


by Facebook Comment

Artikel Terkait

1 komentar:

Komentar anda akan memperkaya wawasan.