Social Icons

Jumat, 01 Februari 2013

MENDARAS LIBERASI SENI WAYANG Oleh Yunitasari Amalia



Wayang Beber, Komunitas Wayang Beber Metropolitan, WBM
Sungguh nyentrik pria yang menunggu kami di semburat jingga kali ini. Rambut gimbal yang panjang, wajah tirus dan sederet asesoris yang melekat di tubuhnya. Seniman itu bersama Samuel Edi, aku memanggilnya Mas Edi. Ia tak sendiri, bersama anak muda lainnya dari Komunitas “ Wayang Beber Metropolitan” ( WBM ) tengah menunggu kami. Setelah berjabat tangan, di lesehan emperan kafe, kami membuka kehangatan senja bersama kopi, gorengan dan rokok. Lalu mengalirlah kisah WBM yang menjunjung spirit romantik nan heroik pencarian Panji Asmoro Bangun terhadap Dewi Sekartaji.


“ Spirit kisah Panji yang kami ambil. Bagaimana Panji meninggalkan istananya untuk mencari Dewi Sekartaji dan melakukan perekatan eleman - eleman masyarakat tanpa pertumpahan darah,” kurang lebih seperti itu penuturan Mas Edi. Aku melirik wadah kertas gambar miliknya dan menerka gambar di dalamnya. Rasa penasaran yang membuncah ku tahan dengan menyimak cerita riang Mas Edi tentang sejarah dan nilai - nilai yang sedang diusung oleh komunitasnya.

“ Metropolitan itu berarti urban dan kata itu mewakili Jakarta. Improvisasi kami lakukan agar spirit Panji terkomunikasikan. Kemasan dan alur cerita kami bebas, tidak terikat dengan kesimpulan di akhir cerita. Semuanya lepas namun tetap mengusung semangat Panji, “ jawab Mas Edi atas pertanyaanku tentang penggunaan kata metropolitan.


Sekedar catatan, Wayang Beber berasa dari Pacitan - Jawa Timur. Wayang ini dilukis di atas daun daulang berukuran 100 x 50 ( cm )  per slide dan satu cerita terdiri dari 6 slide, sehingga dalang harus membuka lembarannya ( dibeber ). Ada yang mengatakan bahwa wayang beber merupakan cikal bakal dari wayang purwa ( kulit ) dan wayang golek yang bersifat 3 dimensi. Namun dalam memainkan wayang beber ini lebih sulit karena wayangnya tidak dapat digerakkan.

Kopi dan rokok telah tamat, kami pun menuju ruangan dalam kafe. Ritual doa seperti biasa dimulai lalu byaaarrr, tersingkaplah gulungan kain dari wadah gambar. Spontan aku berdecak kagum sambil menyentuh lembut lukisan di atas kain sepanjang 6 meter itu.  “ Begini sih jelas bukan amatir,” sanggahku kepada Mas Edi. “ Tapi usia komunitas ini belum genap dua tahun. Kami hanya sekumpulan orang yang senang melukis pada awalnya,” tutur Mas Edi.

Wayang Beber, Komunitas wayang Beber metropolitan, WBM

Kami mengamati para kru WBM yang sedang menyusun cerita dan kreatifitas lainnya yang ingin mereka tuangkan. Aku hanya sanggup tertegun dengan diskusi mereka sambil mengamati konsep revitalisasi dalam goresan gradasi warna yang cantik pada lukisan kain tersebut. “ Ini benar-benar keluar dari pakem,” bisikku dalam hati. Pakem lukisan wayang beber yang ku ketahui itu hampir tak ada ruang kosong yang tersisa, rumit dan kompleks. Diam - diam aku menyimpulkan bahwa perkembangan wayang ternyata sejalan dengan perkembangan kerajaan di Jawa, dimulai dari wilayah timur Jawa lalu ke barat. Ku temui makna bahwa budaya merupakan sebuah proses, bukan produk, sehingga budaya tidak mengenal sekat, membebaskan namun tetap mengusung spirit humanisme dan harmonisasi manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Hmm… Improvisasi apa sajakah yang akan disuguhkan oleh WBM ? Yah, cukup kami saja yang tau. Pokoknya, tanggal 13 Mei nanti WBM akan pentas. Tunggu saja kabar beritanya. Perlahan dan pasti rasa kantuk menyergap dan menguasaiku, malam semakin larut. Kami pun pamit pulang.


Penghujung Januari 2012
Di Jalan Veteran - Jakarta Pusat

by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.