Social Icons

Senin, 04 Februari 2013

Kerinduan Sosio Kultural



I.

Kita slalu saja menawar waktu, sedikit – dikit beralasan. Slalu dan masih slalu
hitung untung rugi, terkadang dua hal itu begitu imajinatif.
Terkadang perasaan mencapai kekanakan. Gemar bermain petak umpet waktu
sedang bayangan menandakan kau.
Dalam kesunyian seolah kita berperan sebagai Tuhan. Jika Ia mencipta dengan
; “ Kun ! “, kita mencipta ulang dengan imajinasi ; “ Simsalabim ! “, “ Adakadabra ! “.
Yang pasti kita sedang bermain cermin, mematut diri agar layak kala pertemuan
tiba. Aku belajar tersenyum, tak ada kata – kata sedalam senyuman. Andai ini
masih bisa ditawar, mungkin ; “ ya, aku menemuimu “.
Maklumlah, perasaan ini berawal dari kerinduan. Kerinduan spiritual.
Ketika kanak – kanak bertemu dan udara memerah setelah itu.


Beberapa tahun lalu kenangan akan kata – kata --- kau menyebutnya peristiwa
yang telah jadi cerita atau huruf yang ngembara telah bertemu dalam kalimat
atau juga puisi pun situs kata – kata atau apalah namanya, pokoknya menurutmu
--- telah digali menemukan penyulingan – penyulingan melodi.
Sebab bau, suara , warna bercampur pada rasa.
Menemukan penyulingan – penyulingan melodi. Mineral – mineral, keringat,
sumber kekayaan pikiran.
Melodi utuh yang memilah barang yang bersih dari barang yang kotor.
Maka dipersatukanlah sejarah, kenangan, pembenaran.
Dipersatukanlah dalam senapas hirupan oksigen bersama rumah – rumah kaca.
Angin – angin lepas pantai.
Tinggal dan membasah di bibir seperti rayuan dan gerak – gerak rangsang.


Tapi aku belum bisa keluar dari “ perceptual binding “ ini :
Melodi utuh yang memilah barang yang bersih dari barang yang kotor.
Cerapan memori, cerapan energi
Barang yang bersih dari barang yang kotor, tatkala susu bercampur darah,
kotoran dalam perut – perut Mamalia.
Lalu kau akan mengingatnya ( dalam bau, suara, warna ) sebagai lagu
para penggembala dan lagu Nina bobo.
Adakah perasaan demikian itu kerinduan ?!, kerinduan murni bersih
dari napsu ?!, lalu beranikah aku bertemu secara begitu ?!
--- lagi – lagi ini menurutmu ---



II.

Aku masih merindukanmu sebagai kebendaan. Angin lalu lalang menjemput
jiwa – jiwa lengang memakai topi lebar dengan tenang.
Setelah percakapan, roti dan susu lalu kututup pintu agar percakapan awet
hangat. Tertutup, rahasia, khusus.
Apakah kita didalamnya ?!
Sedang depan pintu kutinggalkan ; bayangku, ruhku, napasku, ukuran keringat
di bajuku. Agar kelak kau menerimaku sebagai keluarga atau tamu setidaknya.
Apakah kita didalamnya ?!
Siapa lagi terhalusinasi, napas nglambrang entah badan entah pikiran,
“ Maaf, apa kita pernah ketemu sebelumnya ?! “.
Di depan pintu kutinggalkan ; bayangku, ruhku, napasku, ukuran keringat
di bajuku.
Teruskan saja mengetuknya atau tinggalkan pesan setelahnya.
Jangan – jangan didalam kosong, diluar kosong
sebab pintu itu adalah kenangan, orang – orang asing enggan masuk.


Angin lalu lalang menjemput jiwa – jiwa lengang memakai topi lebar
dengan tenang. Kurasa kita begitu mesra, khusyuk waktu itu ( percakapan,
roti, susu ) bekasnya masih gelotekan dipinggir piring, bibirmu membekas
di gelas waktu katakan ; “ ya “.
Apa itu hanya orang – orang kosong saling bermesraan pada ruang -
ruang rahasia ?!.
Kerinduan benar – benar menggandakan waktu, bayang – bayang. Seolah
slalu sensitif ; bau, suara, warna.
Namun segala hanya melabuh pikiran menuju bayang – bayang mencapai
berkah badan. Sungguh !, kerinduan kebendaan.
Angin lalu lalang menjemput jiwa – jiwa lengang memakai topi lebar
dengan tenang.



III.

Perjuangan datang dan pergi
Orang begitu asyik membicarakan kenangan. Satu, dua, satu, dua pada
gang – gang kecil, setiap makhluk bersel mengecil
Perjuangan datang dan pergi
Hingga akhirnya harus rela membiarkan segala kerutinan begitu sederhana
waktu begitu cepat berlalu ketika menyatu dengan alam dan kebiasaan.
Pikiran – pikiran diheningkan kedinginan menyentuh perasaan
turun ke jalan – jalan raya menjadi nama dan angka
--- itulah makna pertemuan, kenangan, kerinduan yang
susul – menyusul.
Malam ini malam tak ada batas dengan jam
Angka – angka telanjang di dinding bergetaran, meregang – regang
seolah mengigau ; “ kau ! , kau ! , kau ! ”.
Kedinginan menyentuh perasaan, Angin lalu lalang menjemput jiwa – jiwa
lengang memakai topi lebar dengan tenang.
Malam ini malam tak ada batas dengan jam
Bagi kami mimpi merupakan Trilogi Titiyoni, Gondoyoni, Puspa tajem.


Aku bermimpi dihadap neraca. Neraca sederhana ketika semua hukum
keseimbangan harus ditetapkan pada keramaian pasar.
Neraca – neraca itu, ukuran – ukuran, kita slalu saja menghitung
perasaan. Neraca – neraca itu.
Adakah keadaan seimbang di dunia ini ?!
Orang – orang gemar melupa kala belajar naik sepeda. Tak kurang satu
hitunganpun.
Waktu dan roda berputar secara seimbang, rutin karna terbiasa kita tak
begitu merasakannya.
Mungkin kerinduan hanya hal sepele, merindukanmu juga hal sepele.
Perjuangan datang dan pergi
Ingatkah kau pada tetembangan yang slalu mengalun tatkala senja,
bukan “ Kidung rumeksa ing Wengi “ tapi ;

Nalika tansah nyawang wintang -wintang
panggonan iki rasa kumambang
rata – rata toya
Petheng remeng - remeng esuk repet - repet
anakku anakmu manunggaling tangisku
Kita wus pada mangerteni
tansah bebungah nyawang wintang
Langit sumilak mbukak pada padhange

Kita bebrayan wus sauntoro
Griyo iki ngemu jamu
Gegodhongan Lompong, Kelor pathing kleler
opo mangkene rasane ?!
Wang sinawang lintang kumambanging
mripat tengenku kedhuten ing kiwomu
“ O, Kartika anakku lanang ! “

Mas, aku ora nyejo nambahi pikiran
gumantung koyo woh – wohan
wohing pakarti nyawijekke wiji
Mripatku kedhuten, wintang – wintang
sumebar cumlorot tiba banjur moksa
Putih, Abang, Kuning, Ireng
“ O, Kartika anakku lanang ! “

Wintang – wintang dadi titik
kang becik bakal ketitik
Ana cahya mangan rupa
cahya mangan cahya
rupa mangan rasa
“ Gusti, ingkang mateg janji
mring wintang – wintang, padhangono
atiku kang tansah nglambrang “
Galengane urip sumilak padhang



IV.

Pada udara terbuka dan pikiran lapang, seolah kita bermain pada
padang rumput kehijauan. Kata – kata dan segalanya merumput.
Rumput secara fisik dan biologis adalah kemajemukan.
Padang rumput menghijau dan kita berlarian.
Seolah bocah berlarian riang, senyumnya diselip Kalakanji
Dalam beberapa kali putaran ; lapangan, angin menghijau
Seperti pemain profesional menggiring bola pada tujuan
memang kita sedang bermain - main angka
bermain angka dan perasaan. Angin menghijau.


Minggu pagi bocah – bocah riang bermain di pelataran ( mempermain
kan pelataran pikiran kita ) entah laki entah perempuan, yang jelas
mereka riang. Mungkin fenomena wang sinawang tapi bau, suara, warna
tak bisa dibohongi.
Bocah – bocah riang di Minggu pagi bermain tanah di pelataran depan.
Tanah – tanah mistis karna slalu dijagai waktu, tanah pemilik sah
peradaban, tanah – tanah sejarah.
Selagi kecil mungkin mereka tak tahu ; Tanah – tanah Magersari.
Maka dipersatukanlah sejarah, kenangan, pembenaran.
Mereka masih bermain tetanahan membangun rumah – rumahan
juga Buk buk Theng. Dan memang rumah dari Tanah Holosein Muda.


Aku tiba di Kasongan pukul 15.00, bayangan menghitam
berharap bermain imajinasi, “ Simsalabim ! , Adakadabra ! “ alakadarnya
mencetaki tanah – tanah warisan.
“ Apa ini kerjaan kekanakan ?! “
Kita hanya mengulang masa kanak – kanak ( bermain tanah di pelataran
depan ). Ketika semua bentuk dibakar sempurna cahaya.
Bayangan, bentuk terus bermain – main ; “ Ayo kita pergi “


Flor, perasaan merindu mungkin hanya permainan Cilukba
kala sosok hilang perlahan – lahan tapi tetap pada tempatnya
Hal paling menakjubkan masa kanak – kanak !.
“ Ayo kita pergi dan lakukan kunjungan kita “
selagi angin menghijau, aku telah rapikan rambutku, kau siapkan
gaunmu dan jam masih berdetak – detak misterius
tiada sangsi !, mari lakukan permainan Cilukba !.


Flor, lupakan ceritaku tadi. Cerita yang hanya membunuh waktu
cerita yang memperpanjang bayangan.
Sedang bayangan menandakan kau, lalu bagaimana ini ?!
Susah payah aku mengarang cerita agar mudah kau melupa.
Menyerap dan melupa. Pasti kau takkan cerita sebab kitalah
cerita – cerita itu !.
Apa yang terlintas sekarang ; “ Kun ?! , Simsalabim ?! ,
Adakadabra ?! , Cilukba ?! “


Aku tiba di Kasongan pukul 15.01`.12`` tak ada pembulatan angka
karna kita saling menunggu ; “ Ayo kita pergi dan lakukan
kunjungan kita “
segalanya meruang



V.

Segalanya meruang ; penatus, penewu, kepanewonan setiap titik
dan garis diliput daging, daging dan daging.
Mineral – mineral, keringat, sumber kekayaan pikiran adalah laut.
Lalu laut begitu feminin, luwes menghancurkan karang – karang.
Abrasi, abstraksi.
( Kerinduan Kedaerahan I )

Aku adalah panggung, tempat yang begitu feminin. Saling berburu
waktu. Berburu dan meramu bayangmu.
Aku pandang Tuhanku.
Antara rasa hewani, manusiawi, alam tetumbuhan susul – menyusul
pada rantai – rantai kesadaran.
Di Krapyak kami mengingat bau, suara, warna.
( Kerinduan Kedaerahan II )

Ketenangan pengabdian “ pada tata kota, tata kinerja
Tata Kota Catur Gatra Tunggal. Segalanya meruang
Kekuatan Budaya Untuk Mensejahterakan Rakyat “ sebagai
tata kinerja.
( Kerinduan Kedaerahan III )

Pal Putih sperma putih, tegak di pusat kehidupan. Traffic light
memutih, ada detak berhenti dari memerah. Perasaan terus
melaju. Golong gilig ketika segala pertemuan dilabuhkan.
De Witte Paal te Djokja.
( Kerinduan Kedaerahan IV )

Bapak Pocung dudu watu dudu gunung “ terdengar lagi suara
dari titik terjauh, garis terdekat. Mungkin EWS atau rungon -
rungonen saja sebab udara, pikiran dilewati apa saja.
Gerbang Sri Manganti dibuka, diketuk Gong pada langkahnya.
( Kerinduan Kedaerahan V )

Segalanya meruang
Sense of place, sense of belonging



Bantul, 31 Oktober 2012.
Diambil dari bagian Antologi “ Anatomi “ oleh Panji Cybersufi

Sumbu kosmologi Jogja
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.