Cerita - cerita Pendek Panji Cybersufi
Panji
(Panji Cyber Sufi) begitu jeli dan faham berbagai hal yang
dihadapinya. Ia melihat, mengamati, merasakan dan mengendapkan,
kemudian ia kembalikan dengan keindahan. Mengasyikkan, seperti apa
yang ditulisnya dalam bentuk cerita. Beberapa cerpen stok lama yang
ditulisnya ia kirimkan via email. Cerpen - cerpennya mengejutkan. Ia
bermain-main dengan kata - kata. Dan ia mampu menyamarkan apa yang ada
di balik cerita, sehingga teks terhindar dari sekedar bahasa
pemaparan kronologi penceritaan yang verbal. Beberapa di antara
cerpen - cerpen tulisan Panji itu adalah:
Cerpen
1: Jonggrang.
Dalam
cerpen ini, pemaparan jalan cerita tentang pergulatan pikiran seorang
pencuri patung di Candi Roro Jonggrang dapat ditelusuri dengan
kalimat - kalimat yang amat hemat, namun tidak kehilangan kesan
kalimat-kalimat yang indah seperti halnya dalam format cerpen pada
umumnya yang lebih panjang sehingga leluasa mengeksploitasi
kata - kata. Cerpen Jonggrang jelas tidak bermain kata - kata paling
substantif seperti halnya puisi, namun cerpen yang bertebaran
kata - kata naratif yang puitis.
Penggambaran
kerja sang tokoh utama ketika mengingat waktu masih menjadi seorang
pematung misalnya, tertulis dengan kata-kata “ Bersama debu menari
mengosongi segala bentuk, membentuki pikiran – pikiran dengan
tangan - tangan yang menatah. Bunyi batu dan bau keringat.” Puitis !
Merangkum dari narasi panjang lebar yang diperlukan untuk menjelaskan
aktifitas sang tokoh utama guna memberi pengertian bagi pemahaman
pembaca untuk alur cerita. Atau dalam alinea selanjutnya sewaktu sang
tokoh tengah merindukan romantisme suasana masa lalu dirinya dan
mulai menghubungkan dengan apa yang akan dilakukannya guna melepaskan
kerinduan masa lalunya itu, “ Batu-batu yang dipandanginya tetap
menyungging tatahan, suara – suara ganjil dibentuk kediaman. Kediaman
yang dibentuk pada masa lampau yang mematung menjadi bangunan. Bentuk
– bentuk yang merenung. Tangannya masih kasar. Batu masih saja
besar untuk diteliti apalagi oleh tangan -tangan kasar ”.
Kalimat - kalimat
seperti itu, dengan diselipi dua kali penekanan kata - kata “ Betapa
tinggi citra rasa orang -orang dahulu.”, membentuk plot cerita
sehingga sampai berujung pada ending yang mengejutkan: “ Bandung
Bondowoso.” Cerdik ! Cerita tentang kejadian sebuah pencurian patung
di sebuah candi, dapat dirasakan pembaca seperti halnya sebuah
dongeng masa lalu yang tiba - tiba hadir dalam situasi kekinian. Tindak
pencurian tetaplah sebuah kejahatan, biarpun dengan dilatarbelakangi
alasan artistik seperti kegandrungan kepada benda - benda seni dan
romantisme sebuah memori, maupun dengan niat berhumor seperti ending
dalam cerpen Jonggrang ini. Berhumor, dalam hubungannya di akhir
cerita si tokoh utama dengan jahil dan iseng mengidentifikasi dirinya
sebagai Bandung Bondowoso, sang kekasih Roro Jonggrang dalam cerita
legenda.
Namun
pada akhirnya, pencuri tetaplah pencuri. Maling tetaplah maling.
Biarpun predikat “ pencuri ” atau “ maling ” diganti dengan
kata - kata “ koruptor ” yang terdengar lebih santun dan menjadi
trend di masa kini, misalnya. Itulah nalar realita, bukan nalar
sastra. Dan seperti itulah kekuatan bahasa yang dapat menghipnotis
bila kita kurang peka, bila cerpen Jonggrang itu dihubungkan dengan
realita non - sastra.
Dalam
kaidah sastra, cerpen Jonggang dengan tema tentang perbuatan seorang
maling digambarkan dengan cerita yang samar, terselubung dengan
tehnik kamuflase penekanan narasi renungan pelaku utama seorang
mantan pemahat yang hendak mencuri sebuah patung. Kita kemudian
terbuai dengan narasi tentang elemen -elemen artistik karya patung di
sebuah tempat eksotis yang bernama candi. Bukan hanya itu, masa lalu
dan masa kini, serta kejutan di akhir cerita dengan kata - kata “ Aku
akan menikahinya. Bandung Bondowoso.”, berhasil melengkapi
elemen - elemen penting cerpen. Hanya sayangnya masih juga dilengkapi
keterangan tentang reaksi para petugas sebagai penutup yang cukup
mengganggu: “ Semua berpandangan.” Kalimat itu terasa merusak
karena terbaca lebih verbal di tengah dominasi maksud teks secara
keseluruhan yang samar dan manipulatif. Tanpa kalimat terakhir itu,
sebetulnya cerita sudah bisa difahami pembaca.
Cerita
dua: Ketika Es Terlalu – Lalu Manisnya.
Dalam
semua film - film James Bond 007, selalu ada adegan James Bond yang
meminta minuman favoritnya, Vodka campur Martini dengan kata - kata
perintah kepada sang bartender: “ Dikocok bukan diaduk ”. Dalam film
Red Cliff II ( sutradara John Woo ), adegan seni menyuguhkan dan minum
teh yang diperagakan oleh sang putri kerajaan berhasil menjadi sebuah
strategi jitu sehingga pasukan Tiga Kerajaan berhasil mengalahkan
pasukan perdana menteri Cao - Cao yang jumlahnya ratusan ribu prajurit
terlatih. Dalam novel Patriot Games ( Tom Clancy ), kebiasaan minum
orang Amerika yang menambahkan es batu ke dalam minumannya selalu
dipersoalkan oleh orang - orang Inggris dalam tokoh - tokoh novel itu.
Seperti
itu maksud cerpen Ketika Es Terlalu - Lalu Manisnya: perbedaan budaya
cara minum. “ Pada mangkuk itu dibuatnya tanda silang lalu diaduk,
dari pinggir mangkuk lalu memusar ketengah, sentri petal, sentri
fugal. Melingkarkan sendok menyusur seluruh isi ”. Demikian “ ritual ”
minum sang backpacker, tokoh utama yang tidak suka minuman bergula.
Tapi
dalam cerpen ini, perbedaan adalah eksotisme. Sang pelayan warung
minuman memaksakan kepada sang backpacker untuk menikmati minuman
yang manis dengan porsi gula lebih, khas minuman Jawa. Sang
backpacker keberatan, tidak mau mengalah, biarpun dia kemudian
menyadari bahwa minuman yang dipesannya memang minuman bergula, khas
minuman Jawa. Itu pertama. Kedua, sang backpacker tahu bahwa sang
pelayan yang orang Jawa itu memang keras kepala. Dialog singkat dan
narasi yang mempersoalkan hal itulah, yang menurut saya menjadi nilai
lebih cerita cerpen itu, dan mampu menangkap esensi pengalaman batin
sang backpacker yang selalu dicari-cari oleh seorang wisatawan :
Suasana dan tempat berbeda.
Dan
terasa lebih eksotis, sang tokoh adalah seorang bule dari negeri
Belanda, ditulis dengan kata-kata yang menarik pula: “ Sepanjang
jalan beraspal, Kuda meringkik keras seiring deraan dan helaan.
Meringkik keras seperti merasakan hawa Syetan yang kental disela -
sela asap kendaraan. Andhong yang melaju dengan senyum turis. Turis –
turis yang suka dibokongi Kuda. Beberapa turis lelaki dan wanita dari
Belanda.”
Ada
permainan kata - kata yang menarik dalam cerpen singkat itu. Cerpen ini
juga mampu menangkap kesan isi hati seorang turis merasakan suasana
berbeda di tempat yang dikunjunginya. Penggambaran suasana dalam
cerpen ini terasa “Jawa” sekali, tanpa banyak menyebut atribut
benda - benda sebagai keterangan yang menerangkan tempat. Dan sang
backpacker berhasil mendapatkannya.
Kesan
“ berwisata ” tampak dalam cerpen ini. Bukan hanya berwisata
sekedar menjadi cerita, namun juga “ berwisata ” sang penulis
mengingat kembali saat - saat membaca karya - karya sastra, dalam hal ini
cerpen, karya - karya penulis Barat yang mempengaruhi sang penulis
dalam menulis cerpen ini. Gaya penceritaan sang raja cerpen dunia,
Anton Chekov amat terasa dalam cerpen ini. Keterpengaruhan itu
mengurangi keberhasilan cerpen ini. Dalam hal apapun, nilai sebuah
karya ditentukan juga oleh faktor - faktor tidak adanya dominasi
pengaruh sehingga sang penulis akan lepas serta bisa menjadi dirinya
sendiri.
Cerpen
Tiga : Doelah Buntut.
Ini
cerpen khas era kejayaan Orde Baru. Realis, kritis, sumir dan getir.
Semangat jaman Orde Baru adalah semangat mimpi. Semangat obral janji
muluk - muluk dan manipulasi sana - sini. Janji - janji kosong yang selalu
disuarakan oleh aparat pemerintahan, berujung pada tumpulnya semangat
di kalangan masyarakat kecil, masyarakat yang hanya bisa menikmati
khayal dan mimpi - mimpi di antara rasa frustasi.
Mimpi
itu perlu. Rezim otoriter membutuhkan itu sebagai sarana penghibur
bagi rakyat banyak. Bila rakyat terhibur, maka akan gampang
dibungkam. Biarpun membungkamnya dengan permainan perjudian. Jaman
itu (era Orde Baru) terciptalah bentuk perjudian lotere nasional yang
amat terkenal: SDSB ( Sumbangan Dana Sosial Berhadiah ). Cukongnya langsung seorang menteri kepercayaan Presiden Soeharto, Sudomo, yang bekerja - sama dengan raja - raja judi
kelas kakap. Ironisnya, rakyat banyak waktu itu menganggap bahwa SDSB
adalah dewa penyelamat. SDSB adalah candu. Judi adalah jalan. Dan
mimpi adalah pelarian rasa frustasi.
Pak
Doelah, seorang kuli bangunan melarat yang punya anak bernama Syarwan
dan Warti. Ia kecanduan SDSB sambil menjadi peramal angka lotere yang
dipercaya teman - temannya. Pak Doelah berusaha mencari wangsit sampai
ke gunung Kemukus, gunung yang dikenal sebagai tempat pertapaan yang
terletak di tepi waduk Kedung Ombo di wilayah Sragen, Jawa Tengah.
Pak Doelah juga rajin mencoret - coret angka di buku - buku catatan
pelajaran anak - anaknya, sambil mencari wangsit di kuburan kampung. Ia
punya mantra andalan yang diyakini mujarab untuk memenangkan tebakan
lotere.
Ketika
Pak Doelah suatu ketika berhasil mendapat uang karena tebakannya
keluar, ia kemudian mati menjadi korban tabrak lari, justru ketika ia
sedang menuju tempat Bandar lotere hendak mengambil uang hadiah yang
akan diterimanya. Bagi kedua anaknya, Pak Doelah adalah pahlawan
karena pengorbanan dan usaha kerasnya untuk membelikan sepeda ontel
guna dipakai pulang pergi ke sekolah Syarwan dan Warti. Di depan
pusara bapaknya, Syarwan mengucap kekaguman seraya mengucap janji
kepada almarhum bahwa sepeda ontel yang dipesannya dari uang hasil
lotere almarhum, akan dipakai mengantar sekolah Warti setiap hari
sehingga kelak Warti akan menjadi seorang sarjana pertama yang ada di
kampungnya.
Cerpen
ini manis, dengan penggambaran suasana kampung daerah pinggiran
Jogjakarta di awal - awal cerita, kemudian ditutup dengan kata - kata
magis Syarwan yang menirukan mantera bapaknya di atas pusara
almarhum:
“ Yen,
Yenthe, ngadeheg dhewe Yen, yenthe
Ngadeg
dhewe yen, yenthe ngadeg dewe yen,
Yenthe
ngadheg dhewe yen …”
Sebelumnya,
telah tertulis gambaran anak - anak kecil yang bermain layangan di
tanah lapang. Imajinasi tentang kekosongan langit siang dan layangan
kertas meliuk - liuk di awan, mampu menerbangkan imajinasi terbawa
mantra ke dalam kekosongan yang senyap. Itu kelebihannya. Hanya
sayangnya, jalan menuju ke suasana imajinatif itu terasa amat panjang
untuk ukuran cerpen. Mulai halaman awal sampai beberapa halaman
berikutnya, gaya realis terasa berkepanjangan, sehingga terasa
membuang energi yang cukup melelahkan untuk dibaca.
Cerpen
Empat: Cemani.
Ini
cerpen susah dimengerti. Cemani, ayam cemani, adalah ayam hitam
langka yang oleh sebagian masyarakat Jawa dianggap punya simbol
magis. Lingga, adalah bahasa Sansekerta yang berarti alat kelamin
laki - laki. Yang dapat saya tangkap adalah perkawinan antar unggas dan
ayam cemani yang berisik, dan menimbulkan kematian bagi unggas - unggas
itu seiring selesainya perkawinan dengan masuknya sang “ lingga ”. Darah hitam berceceran, menjadi moment menarik diabadikan dengan
jepretan kamera. Darah hitam berceceran, sesudah itu dikubur. Kubur
diziarahi, lalu muncullah wanita misterius menuju makam dengan
pakaian serba hitam yang dianggap sebagai penjelmaan ayam cemani.
Gadis berpakaian serba hitam itu kemudian dinamakan Cemani.
Ada
unsur mistis dalam cerpen ini. Sulit diurai logika, dan ada kesan
terburu - buru sehingga kurang rapi serta tidak bisa dimengerti oleh
pembaca yang kurang mengerti unsur - unsur mistis seperti simbol Ayam Cemani serta istilah “ lingga ” yang dalam cerita ini mendapat arti
khusus berupa alat kelamin “ super ” yang dapat mematikan pasangan
lawan jenis dalam proses perkawinannya.
Bila
penggambaran itu diperjelas lagi, cerpen ini akan berhasil dan
menarik. Bagaimanapun juga, sebuah cerita butuh penggambaran yang
cukup jelas untuk menarik benang merah, bila sebuah cerita tidak
hanya cukup dimengerti sebagai sebuah ekspresi belaka. Itu pertama.
Yang ke dua, masih ada lagi pengaruh gaya penceritaan cerpen-cerpen
karya para penulis Barat dalam cerpen ini yang dinamis, singkat dan
cepat. Dalam kultur Barat yang serba pragmatis, mungkin gaya seperti
itu cocok. Tetapi, tema cerpen itu adalah kultur Jawa. Kultur Jawa
amat mementingkan harmoni dan keleluasaan. Mungkin dengan gaya
penulisan yang lebih santai dan lambat, cerpen Cemani ini akan lebih
berhasil. Apalagi ada unsur misteri yang cukup kental dalam cerpen
itu. Gaya penulisan “ alon-alon asal kelakon ” mungkin lebih cocok
untuk tema cerpen yang terasa amat “ Jawa ” itu.
Cerita
dalam cerpen ini campur aduk antara unsur romantisme hubungan suami
istri, teori sex, nama - nama calon bayi, unsur kejawen, wayang,
kedokteran, gempa Jogja, istilah - istilah ilmu fisika, istilah - istilah
ritual Islam dan Jawa, pusaka Jawa dan lain sebagainya. Amat padat
sehingga terasa amat sesak, bagaikan para pengungsi gempa Jogja yang
berdesakan di ruang - ruang penampungan darurat. Sulit mengambil nafas
serta amat sesak. Tidak ada kenyamanan dalam membaca cerpen ini.
Sebuah bacaan perlu ruang lega untuk mengambil nafas. Dan itu tidak
terdapat pada cerpen Keris ini.
Tetapi,
cerita tentang moment menyambut kelahiran bayi dalam sebuah keluarga
memang seringkali terlalu menyita energi. Diskusi sepasang
suami - istri untuk memilih nama calon bayi misalnya, bagi orang
Indonesia memang terlalu berlebih - lebihan. Orang Indonesia amat
gandrung memberi nama kepada anak - anaknya dengan nama - nama aneh,
menggelikan, tidak nyambung serta tidak membumi. Tentu saja, itu
mungkin ada hubungannya dengan mentalitas bangsa Indonesia yang lama
dijajah bangsa asing. Mental bangsa inlander yang suka latah,
ikut - ikutan, serta tidak percaya diri masih tertanam kuat setelah
Enam Puluh tahun lebih bangsa kita merdeka.
Sudah
berabad - abad lamanya, orang Inggris bangga dengan nama - nama Edward,
Albert, John, Victoria dan sebagainya. Nama depan orang - orang Anglo
Saxon di manapun dari jaman dahulu kala sampai sekarang masih tetap
itu - itu saja. Orang Arab bangga dengan nama Abdullah, Mahmud, Aisyah
dan sebagainya. Orang Korea dengan Kim, Sam, Moon, Young dan
sebagainya. Tetapi kita ? Kita selalu minder dan merasa tidak
terhormat bila mempunyai nama yang telah diwariskan secara turun
temurun oleh nenek - moyang. Orang Jawa tidak bangga dengan nama
Jawa - nya. Begitu pula yang Sunda dan sebagainya.
Bangsa
yang kerdil merasa perlu mendongak ke atas untuk berlindung di balik
bayang - bayang bangsa lain yang lebih besar. Para kurcaci akan merasa
besar bila berjalan di belakang bayangan langkah sang kurcaca. Itulah
kita, yang selalu tertipu bahwa sudah hampir Tujuh Puluh tahun sejak
Proklamasi, sebenarnya kita belum merdeka. Kita ini para penipu yang
tidak pernah sadar bahwa kita juga sebenarnya tengah tertipu.
Cerpen
Keris ini cukup menggambarkan fenomena keseharian disekitar kita itu,
termasuk dilengkapi pula gambar halaman sebuah buku yang mengupas
pengaruh salah satu karya musik klassik Barat yang dipercaya
berpengaruh pada kecerdasan bayi: Canon in D Mayor karya Pachelbel,
tanpa kita berani menyanggah kebenaran pendapat itu, sebab
bagaimanapun juga kita tidak akan mendapat jawaban langsung dari sang
bayi. Itu pasti.
Dalam
cerpen Keris ini, penulis lebih memilih untuk berusaha menengok
kembali ke akar, ke dalam tradisi nenek moyang, di mana sang calon
bayi yang hendak dilahirkan itu berasal: “ Keris yang kuhunus itu
berdapur sengkelat, “ Denawa Catur Mlebu Jagad ”. Penulis rupanya
tersadar, seperti halnya kita yang selalu tenggelam dalam
keterasingan ketika berselancar di dunia maya, kemudian mematikan
komputer dan merasakan bahwa kita kembali berada di dunia nyata. Saya
jadi ingat petikan sajak Ajip Rosyidi dalam hal ini:
“ Orang - orang
pergi ke hutan
Mereka
kembali dengan gulungan kayu bakar
Orang - orang
berperahu ke laut
Mereka
kembali dengan keranjang - keranjang ikan
Orang-orang
pergi ke kota
Dan
mereka tidak pernah kembali ”
Cerpen
Enam: Senyuman.
Silaturrakhmi
itu kedekatan, pertemuan atau penyatuan. Moment silaturrakhmi tidak
harus dirayakan dengan keriuhan yang kadang disalah-artikan sebagai
makna keberhasilan acara silaturrakhmi. Silaturrakhmi kini sudah
banyak dikomodifikasi menjadi ajang loby - meloby politik dan bisnis.
Juga unjuk pamer status sosial dan keberhasilan masing - masing
pribadi. Dalam cerpen Senyuman ini, kita diajak untuk kembali menuju
makna yang lebih fitri. Kesederhanaan itu terasa khidmat serta terasa
dapat lebih jauh menyatukan dua hati: antara sang paman dan
keponakan, yang keduanya diam - diam merasa terasing dalam suasana
hangar - bingar acara silaturakhmi trah keluarga besarnya. Keduanya
disatukan bukan oleh gebyar meriahnya suasana, tetapi oleh
kesederhanaan hidup sehari-hari sang paman sebagai seorang
penggembala kambing yang dermawan, dan terasa membekas bagi sang
keponakan yang dapat menilai ketulusan hati pamannya itu lewat
senyumnya yang selalu mengalir begitu saja: cheers.
Sebagai
cerpen, Senyuman cukup memberi pencerahan. Sayang, kalau cerpen ini
tidak dilengkapi dengan dialog, gaya penceritaannya nyaris jatuh ke
dalam gaya pemaparan essai non fiksi. Suasananya kurang imajinatif.
Ruang yang nilai imajinatifnya kurang tersedia dalam sebuah tulisan,
belum dapat dikatakan sebagai sebuah karya fiksi.
Cerpen
Tujuh: Anime Senja.
Tidak
ada yang baru dalam cerpen ini. Pengaruh televisi begitu jauh
mempengaruhi anak - anak, apalagi film animasi. Kegandrungan orang
dewasa juga tidak kalah dibanding anak-anak mereka. Orang tua selalu
mendikte anak-anaknya dengan melarang anak-anaknya berlama - lama di
depan televisi, biarpun diam - diam mereka juga menonton apa yang
menjadi kesukaan anak-anaknya. Itu biasa. Maksud cerpen ini untuk
menyindir boleh juga, cuma mungkin akan berhasil bila dengan jalan
cerita yang berbeda.
Itulah
cerpen - cerpen stok lama Panji Cyber Sufi. Lancar, dinamis, liar,
serta menjelajah ke mana - mana. Asyik dibaca, dan punya
kejutan - kejutan yang tidak terduga. Gaya bahasanya puitis, walaupun
sekali lagi, kadang kurang harmonis ditulis dengan gaya tulisan yang
dinamis. Cerpen - cerpen yang dikirim via Email itu mungkin sudah lapuk
karena sudah lama. Tetapi, cerpen - cerpen yang berhasil ditulisnya
pasti akan jauh lebih kuat dan menarik untuk dibaca. Siap - siaplah
membaca bila suatu waktu cerpen - cerpen itu akan menjadi sebuah buku.
Kapan itu, Panji?
makasih ceritanya kak...
BalasHapus