Tradisi
Rebo Pungkasan Di Indonesia
Tradisi
Rebo Pungkasan berkembang di daerah Jogja, Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Jawa Barat. Rebo Pungkasan ( Rebo Wekasan, Rebo Kasan ) merujuk
pada ritual yang dilaksanakan Hari Rabu terakhir Bulan Sapar ( Syafar
) setiap tahunnya. Dari penelitian literer, Ritual Rebo Pungkasan
bersumber dari Kitab Mujarrobat Ad Dairoby Al Kabir karya Ahmad Bin
Umar Ad Dairoby ( wafat 1151 H ), Kitab Kanzu An Najah Wa As Surur Fi
Al Ad`iyah Allati Tasyrohu As Shudur karya Abdul Hamid Quds, Kitab Al
Jawahir Al Koms karya Muhammad Bin Khothiruddin Al Atthar ( wafat 970
H ), Kitab Hasyiyah As Sittin dan sebagainya. Pada intinya
menerangkan bahwa, di Hari Rabu terakhir Bulan Syafar akan terjadi
banyak malapetaka. Umat Islam diwajibkan untuk berdo`a dan sholat
pada hari tersebut sebagai penolak bala. Namun semua anjuran sholat
di Hari Rabu terakhir Bulan Syafar, tidak satupun merujuk pada nash
Qur`an dan Hadits.
Dalam
literatur kuno yang disimpan di PCNU Sidoarjo, KH. Hasyim Asy`ari (
pendiri NU ) pernah berfatwa bahwa Sholat Rebo Pungkasan tidak boleh
dilakukan dan disyiarkan. Tidak ada dalam syari`at agama Islam dan
sumbernya diragukan validitasnya.
Jikapun
sholat tersebut tetap dilakukan, hanya perlu mengganti niatnya saja.
Bukan niat Sholat Rebo Pungkasan melainkan niat Sholat sunat biasa (
Sholat Hajat agar terhindar dari malapetaka ). Sholat Sunat Hajat ini
bisa dilakukan kapanpun, asalkan sesuai dengan ketentuan sholat
sunat.
Senada
dengan hal itu, Kepercayaan Jawa ( Petangan Jawa, Primbon )
menempatkan Bulan Suro dan Sapar adalah waktu yang penuh malapetaka.
Untuk menghindarkan diri dari marabahaya, manusia harus mengadakan
slametan
( berdo'a bersama ). Disamping melakukan pencegahan seperti upaya
Mitigasi Bencana. Bulan Suro dan Sapar tahun ini bertepatan dengan
Bulan November- Desember, mulai Musim Penghujan. Berhubungan dengan
unsur air, angin dan tanah. Malapetaka yang merupakan wabah penyakit
bersumber ( dampak ) dari Musim Penghujan.
Tradisi
Rebo Wekasan kental dengan asimilasi budaya. Di Jawa terdapat 2 model
asimilasi, nilai budaya asing yang mempengaruhi Budaya Jawa dan nilai
Budaya Jawa yang mempengaruhi budaya asing. Rebo Pungkasan merupakan
Tradisi Jawa yang diwarnai Islam. Sedangkan Kalender Sultan Agung (
Anno Javanico ) merupakan perpaduan Kalender Jawa, Kalender Saka dan
Kalender Hijriyah.
Nuansa
Islam mengental dalam Tradisi Rebo Wekasan di Desa Suradadi ( jalur
antara Tegal dan Pemalang ), daerah Gresik, Kudus, Cilacap,
Pekalongan dan lainnya.
Pada
titik inilah, perdebatan panjang tentang agama dan budaya dimulai.
Tetapi saya sengaja membatasi cakupan dalam tulisan ini.
Tampaknya
kita juga perlu mengingat kembali slogan “ Pribumisasi Islam “
yang diperjuangkan Gus Dur. Tindakan dan mind
set.
Tradisi
Rebo Pungkasan Di Desa Wonokromo,
Pleret,
Bantul, DIY
Kirab Lemper Raksasa |
Secara
administratif Kecamatan Pleret membawahi 5 Desa ( Wonokromo,
Wonolelo, Pleret, Bawuran dan Segoroyoso ). Ritual Rebo Pungkasan
rutin diadakan di Desa Wonokromo sejak 1784. Mulai 1990, Tradisi Rebo
Pungkasan sudah dikoordinir kepanitian kelurahan. Terdiri dari
Perangkat desa dan Karang Taruna Desa Wonokromo.
Tradisi
ini merupakan perwujudan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
untuk mengenang jasa Kyai Faqih Usman ( Abdullah Faqih, Kyai Welit ),
berkat dedikasinya wilayah Wonokromo terhindar dari wabah penyakit.
Menurut sejarah ( kemungkinan besar sudah tercampur cerita rakyat ),
tradisi ini bersumber dari ;
- Rebo Pungkasan dikaitkan dengan Sultan Agung Hanyakra Kusuma ( Mataram ) yang bertahta di Kerta, Pleret ( 1613-1645 )1.
Pada
masa itu Mataram sedang mengalami pageblug. Sulatan Agung bertafakur
di Masjid Desa Kerta. Dari wangsit yang diterima, wabah penyakit dan
pageblug akan sirna dengan tolak bala. Maka diperintahkanlah Kyai
Faqih Usman untuk membuat uba
rampe
penolak bala.
- Ketika Wonokromo sedang dilanda wabah penyakit, seorang pandai ( ilmu agama dan pengobatan ) yaitu Kyai faqih Usman atau Kyai Welit berusaha menghentikan penyebaran wabah penyakit. Menggunakan media air putih yang sebelumnya telah dimasukkan rajah. Pasien yang meminum ramuan tersebut akan segera sembuh. Lambat laun jumlah pasien semakin banyak. Kuatir ramuan tersebut tidak mencukupi, atas titah Sultan Agung ramuan itu dituangkan ke Tempuran Kali Opak dan Kali Gajah Wong. Semua masyarakat bisa mengambilnya langsung.
Sebagian
sumber lain mengatakan ; pertemuan antara Kyai faqih Usman dengan Sri
Sultan Hamengku Buwono I membicarakan solusi pageblug yang terjadi
di Wonokromo.
- Kepercayaan Jawa menganggap, Suro dan Sapar adalah bulan yang penuh malapetaka.
Untuk
itu perlu dilakukan ritual penolak bala.
Dari
ketiga versi tersebut terasa sekali hubungan emosional yang kuat
antara penguasan dan rakyat dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Pada akhirnya, hubungan yang kuat antara penguasa dan rakyat mengarah
pada hubungan terhadap Sang Pencipta ( vertikal ). Sikap kehati –
hatian Orang Jawa tercermin dari Ilmu
Titen (
memperhatikan tanda ) melalui alam dan manusia itu sendiri.
Seminggu
sebelum dan sesudah acara puncak Rebo Pungkasan, digelarlah Pasar
Rakyat yang meriah di Lapangan Desa Wonokromo. Acara puncak sendiri
merupakan Kirab Lemper Raksasa dari Masjid Al Huda di Karanganom,
Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo diikuti pasukan berkuda,
prajurit keraton dan Pejabat Pemda Bantul. Dibelakangnya diikuti
rombongan Kesenian Sholawatan, Kubrosiswo dan Rodat.
Setelah
sampai di Balai Desa Wonokromo, acara do`a bersama dimulai. Lemper
akan dibagi – bagikan kepada masyarakat atau lebih lazimnya
diperebutkan untuk ngalap
berkah.
Pembuatan
Lemper raksasa menghabiskan 10 kg Beras Ketan, 10 Butir Kelapa, 2 kg
Daging Sapi dan bumbu lainnya. Panjang Lemper 2,5 meter dengan
diameter 60 cm.
Lemper
seperti sudah menjadi makanan wajib dalam hajatan di Jawa. Atau konon
menurut cerita, Sang raja ( Sultan Agung ) memang menggemari Lemper.
Atau bisa juga menikmati makanan Lemper sambil mengupas falsafah
hidup yang terkandung dalam makanan ini.
Ketika
orang ingin memakan Lemper, haruslah dikupas bungkusnya ( Daun Pisang
) lebih dulu. Baru bisa menikmati Ketan dan daging cincang sebagai
isinya. Manusia yang ingin memperoleh kebahagiaan ( lahir, batin,
dunia dan akhirat ), harus mampu menyingkirkan halangan atau yang
tidak perlu baik lahir dan batin ( bungkus Daun Pisang ). Setelah
segala rintangan teratasi, manusia akan mampu menikmati Ketan Lemper
( syari`at ), daging cincang sebagai isi Lemper ( Makrifat ).
Pengembangan
Rebo Pungkasan
Menjadi
Desa Expo
Menurut
Teori Fungsionalisme Struktural oleh Radcliffe-Brown ; Budaya bukan
sebagai pemuas kebutuhan individu melainkan untuk kebutuhan kelompok.
Pengelolaan
event budaya secara profesional mutlak diperlukan. Bukan hanya karena
event budaya tersebut telah menjadi kerutinan ( Kalender Wisata
Budaya ), pelaksanaannya hanya bertujuan menggugurkan “ kewajiban “
untuk diadakan saja. Melainkan diperlukan pengembangan dalam
pengemasan event budaya.
Ngalap Berkah |
Analisa
SWOT 2
;
Tradisi
Rebo Pungkasan Di Desa
Wonokromo,
Pleret, Bantul, DIY
I.
STRENGHTS ( Kekuatan )
- Rebo Pungkasan sebagai Wisata Budaya dan promosi wisata lokal ( Situs Kerta, Gunung Kelir, Sumur Gumuling ).
- Rebo Pungkasan merupakan kegiatan rutin tahunan yang telah dimasukkan dalam Kalender Wisata Budaya DIY.
- Karena Rebo Pungkasan merupakan kegiatan rutin tahunan, management acara ( organisasi, teknis ) akan semakin optimal sebab terukur dan terpantau.
- Ritual Rebo Pungkasan Di Desa Wonokromo mempunyai nilai differensiasi dibandingkan ritual serupa di daerah lain.
Differensiasi
dalam kemasan acara ( Kirab Lemper raksasa dan berbagai lomba
kesenian untuk memeriahkannya ; Festival Barzanzi, Hadroh,
Sholawatan, dll ).
- Pemberdayaan SDM Karang Taruna Desa Wonokromo dalam penyelenggaraan Rebo Pungkasan ( panitia kerja ) merupakan salah satu partisipasi aktif generasi muda setempat.
- Letak Balai Desa Wonokromo sebagai tempat perhelatan berada pada jalur strategis dan ramai ( seputaran Jalan Imogiri Timur ).
- Hiburan rakyat yang murah meriah dalam Pasar Rakyat, tidak ada retribusi masuk bagi pengunjung.
- Sistem sewa stand ( kapling ) bagi para pedagang di Pasar Rakyat menambah pemasukan kas desa ( dialokasikan untuk dana kegiatan dan lainnya ).
- pengelolaan lahan parkir menambah pemasukan kas desa dan dusun sekitar
II.
WEAKNESSES ( Kekurangan, Kelemahan )
- Keterbatasan dana penyelenggaraan.
- Ruang lingkup Kegiatan Rebo Pungkasan yang hanya tingkat lokal, menyebabkan partisipasi ( kerjasama ) sponsorship dan donatur kurang optimal.
- Kegiatan budaya yang dikembangkan kearah profit minded ( ekonomi-bisnis ) akan menghilangkan substansi Tradisi Rebo Pungkasan itu sendiri.
- Paket acara budaya yang dikemas belum bervariasi dan optimal.
- Promosi acara Rebo Pungkasan kurang intens, sehingga gaungnya nyaris tak terdengar.
- SDM Panitia Penyelenggara perlu ditingkatkan.
- Pengembangan potensi daerah ( Pleret dan sekitarnya ) sebagai pendukung Tradisi Rebo Pungkasan belum tergali dan tergarap secara maksimal.
- Pengelolaan dana penyelenggaraan yang tidak transparan dan profesional, memungkinkan adanya praktek korupsi.
- Keterbatasan tempat penyelenggaraan dan fasilitas pendukung.
III.
OPPORTUNITIES ( Peluang, Kemungkinan )
- Ritual Rebo Pungkasan bisa dikembangkan menjadi Desa Expo.
- Pengembangan potensi daerah Kecamatan Pleret sebagai pendukung Tradisi rebo Pungkasan
- Sentra penghasil Krecek ( makanan tradisional dari Kulit Kerbau atau Sapi ) dan Peternakan Sapi di daerah Segoroyoso.
- Kuliner Sate Klathak dan Angkringan di sekitaran jalan Imogiri Timur ( dusun Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul ).
- Pasar Klithikan onderdil kendaraan bermotor di Dusun Kanggotan.
- Masyarkat Desa Wonokromo adalah masyarakat yang agamais, terdapat banyak Pondok Pesantren Salafiyah dan Semi Modern.
3. Rebo
Pungkasan sebagai medium dialog budaya dan lingkungan hidup.
4.
Dari uraian no. 1-3, diharapkan akan banyak menarik kerjasama dengan
sponsorship dan donatur yang berkesinambungan dan saling
menguntungkan.
5. Kerjasama
dengan Media Massa ( lokal, nasional ) sebagai promosi wisata.
6. Wisata
Budaya Lokal--- Wisata Budaya nasional --- Wisata Budaya
Internasional. Banyak menyedot pengunjung dan keuntungan lainnya
yang akan didapatkan.
7. Support
penuh dari Pemerintah Daerah dari segi ; pembiayaan, promosi, dan
pelatihan teknis untuk meningkatkan SDM dalam rangka Management
Wisata Budaya, sangatlah dibutuhkan.
8. Partisipasi
masyarakat sekitar ( dari pelajar, pengamat, praktisi seni budaya dan
akademisi ).
9.
Desa Wonokromo berpeluang menjadi Desa Wisata.
10.
11.
IV.
THREATS ( Ancaman )
- Pengembangan Rebo Pungkasan menjadi desa Expo, akan menghilangkan substansi Ritual Rebo Pungkasan.
- Sponsorship dan donatur yang hanya mengejar profit minded menjadikan Pasar Rakyat juga Rirual Rebo Pungkasan tidak merakyat lagi. Mengejar keuntungan finansial semata dari setiap penyelenggaraannya.
- Pengelolaan acara yang ditangani Event Organizer Profesional hanya akan mengurangi partisipasi SDM lokal ( Karang Taruna dan masyarakat setempat ).
- Para pedagang dan penyewa stand, kapling di Pasar Rakyat Rebo Pungkasan akan sepi dan berkurang, jika tarif sewa terlalu mahal dan fasilitas kapling tempat yang tidak memadai.
- Ketidak tahuan ataupun ketidak pedulian generasi muda untuk melestarikan serta mengembangkan ritual adat ( budaya lokal ), lambat laun akan mengakibatkan kemusnahan budaya lokal. Hal itu berakar pada pola pikir yang menganggap budaya lokal sudah tidak relevan terhadap perkembangan zaman modern.
- Kelompok fanatik sempit dan garis keras.
Bantul,
12 Desember 2012 ( Dengan beberapa kali revisi tulisan ).
1
Kraton
Kerta sebagai pengganti ibukota Mataran di Kotagedhe dibangun 1614,
mulai ditempati 1618. selanjutnya untuk memperkaya wawasan, silakan
baca ;
Graaf,
HJ De 1986.
Puncak Kekuasaan Mataram ; Politik Ekspansi Sultan Agung,
Grafitipers, Jakarta.
Graaf,
HJ De 1987. Runtuhnya
Istana Mataram,
Grafitipers, Jakarta.
Teliti
lebih jauh lagi mengenai kesimpang siuran sumber yang merupakan
landasan pelaksanaan Ritual Rebo Pungkasan khusnya Desa Wonokromo,
dengan menyimak sejarah yang terkait sebagai koreksi ; berdirinya
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pesanggrahan Ambar Ketawang, Sri
Sultan Hamengku Buwono I, sampai ekskavasi Situs Kerta dan lainnya.
2
Analisa
SWOT ( Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats ) dicetuskan
oleh Albert Humprey pada dasawarsa 1960-an. Merupakan metode analisa
paling dasar yang berguna untuk melihat suatu topik atau masalah dari
4 sisi yang berbeda. Memberikan rekomendasi untuk mempertahankan
kekuatan atau keuntungan dari peluang yang ada, mengurangi kelemahan
dan menghindari ancaman.
“ Luck
is matter of preparation meeting opportunity “ ( Oprah Winfrey ).
Riwayat
Tulisan Rebo Pungkasan ; Harmonisasi Budaya, Religi dan Ekonomi :
- Sumber tentang pelaksanaan Tradisi Rebo Pungkasan, saya olah dari berbagai sumber baik lisan dan tulisan.
- Tulisan ini hanya sebagai pemicu untuk solusi bagaimana me-reinventing budaya lokal agar tetap lestari dan berkembang. Adapun Analisa SWOT yang telah diterapkan belum mengarah pada kesimpulan ( rekomendasi ) yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Strategis, karena masih menunggu masukan dari pihak lain. Disinilah fungsi berdiskusi bersama untuk mencari solusi.
- Sebagai komparasi kasus, perlulah disimak sebagai pembelajaran ;
1.
Tradisi Rebo Wekasan di Desa Pongangan, Kecamatan Manyar, Gresik,
Jawa Timur, mulai tahun 2009 pel aksanaanya dipindahkan ke Desa Suci
( sebelah Barat Pongangan ), karena masyarakat desa Pongangan ingin
merubah Rebo Wekasan menjadi Desa Expo.
2.
Dalam lingkup yang lebih luas lagi harmonisasi budaya, religi dan
ekonomi juga terdapat dalam Sekaten ( Gerebeg Maulud Nabi ), Festival Kesenian Yogyakarta, dll. Perencanan dan pelaksanaannya dapat dijadikan study kasus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.