I.
Kita
slalu saja menawar waktu, sedikit – dikit beralasan. Slalu dan
masih slalu
hitung
untung rugi, terkadang dua hal itu begitu imajinatif.
Terkadang
perasaan mencapai kekanakan. Gemar bermain petak umpet waktu
sedang
bayangan menandakan kau.
Dalam
kesunyian seolah kita berperan sebagai Tuhan. Jika Ia mencipta dengan
;
“ Kun ! “, kita mencipta ulang dengan imajinasi ; “ Simsalabim ! “, “ Adakadabra ! “.
Yang
pasti kita sedang bermain cermin, mematut diri agar layak kala
pertemuan
tiba.
Aku belajar tersenyum, tak ada kata – kata sedalam senyuman. Andai
ini
masih
bisa ditawar, mungkin ; “ ya, aku menemuimu “.
Maklumlah,
perasaan ini berawal dari kerinduan. Kerinduan spiritual.
Ketika
kanak – kanak bertemu dan udara memerah setelah itu.
Beberapa
tahun lalu kenangan akan kata – kata --- kau menyebutnya peristiwa
yang
telah jadi cerita atau huruf yang ngembara telah bertemu dalam
kalimat
atau
juga puisi pun situs kata – kata atau apalah namanya, pokoknya
menurutmu
---
telah digali menemukan penyulingan – penyulingan melodi.
Sebab
bau, suara , warna bercampur pada rasa.
sumber
kekayaan pikiran.
Melodi
utuh yang memilah barang yang bersih dari barang yang kotor.
Maka
dipersatukanlah sejarah, kenangan, pembenaran.
Dipersatukanlah
dalam senapas hirupan oksigen bersama rumah – rumah kaca.
Angin
– angin lepas pantai.
Tinggal
dan membasah di bibir seperti rayuan dan gerak – gerak rangsang.
Tapi
aku belum bisa keluar dari “
perceptual binding “ ini
:
Melodi
utuh yang memilah barang yang bersih dari barang yang kotor.
Cerapan
memori, cerapan energi
Barang
yang bersih dari barang yang kotor, tatkala susu bercampur darah,
kotoran
dalam perut – perut Mamalia.
Lalu
kau akan mengingatnya ( dalam bau, suara, warna ) sebagai lagu
para
penggembala dan lagu Nina bobo.
Adakah
perasaan demikian itu kerinduan ?!, kerinduan murni bersih
dari
napsu ?!, lalu beranikah aku bertemu secara begitu ?!
---
lagi – lagi ini menurutmu ---
II.
Aku
masih merindukanmu sebagai kebendaan. Angin lalu lalang menjemput
jiwa
– jiwa lengang memakai topi lebar dengan tenang.
Setelah
percakapan, roti dan susu lalu kututup pintu agar percakapan awet
hangat.
Tertutup, rahasia, khusus.
Apakah
kita didalamnya ?!
Sedang
depan pintu kutinggalkan ; bayangku, ruhku, napasku, ukuran keringat
di
bajuku. Agar kelak kau menerimaku sebagai keluarga atau tamu
setidaknya.
Apakah
kita didalamnya ?!
Siapa
lagi terhalusinasi, napas nglambrang entah badan entah pikiran,
“
Maaf, apa kita pernah ketemu sebelumnya ?! “.
Di
depan pintu kutinggalkan ; bayangku, ruhku, napasku, ukuran keringat
di
bajuku.
Teruskan
saja mengetuknya atau tinggalkan pesan setelahnya.
Jangan
– jangan didalam kosong, diluar kosong
sebab
pintu itu adalah kenangan, orang – orang asing enggan masuk.
Angin
lalu lalang menjemput jiwa – jiwa lengang memakai topi lebar
dengan
tenang. Kurasa kita begitu mesra, khusyuk waktu itu ( percakapan,
roti,
susu ) bekasnya masih gelotekan dipinggir piring, bibirmu membekas
di
gelas waktu katakan ; “ ya “.
Apa
itu hanya orang – orang kosong saling bermesraan pada ruang -
ruang
rahasia ?!.
Kerinduan
benar – benar menggandakan waktu, bayang – bayang. Seolah
slalu
sensitif ; bau, suara, warna.
Namun
segala hanya melabuh pikiran menuju bayang – bayang mencapai
berkah
badan. Sungguh !, kerinduan kebendaan.
Angin
lalu lalang menjemput jiwa – jiwa lengang memakai topi lebar
dengan
tenang.
III.
Perjuangan
datang dan pergi
Orang
begitu asyik membicarakan kenangan. Satu, dua, satu, dua pada
gang
– gang kecil, setiap makhluk bersel mengecil
Perjuangan
datang dan pergi
Hingga
akhirnya harus rela membiarkan segala kerutinan begitu sederhana
waktu
begitu cepat berlalu ketika menyatu dengan alam dan kebiasaan.
Pikiran
– pikiran diheningkan kedinginan menyentuh perasaan
turun
ke jalan – jalan raya menjadi nama dan angka
---
itulah makna pertemuan, kenangan, kerinduan yang
susul
– menyusul.
Malam
ini malam tak ada batas dengan jam
Angka
– angka telanjang di dinding bergetaran, meregang – regang
seolah
mengigau ; “ kau ! , kau ! , kau ! ”.
Kedinginan
menyentuh perasaan, Angin lalu lalang menjemput jiwa – jiwa
lengang
memakai topi lebar dengan tenang.
Malam
ini malam tak ada batas dengan jam
Bagi
kami mimpi merupakan
Trilogi Titiyoni, Gondoyoni, Puspa tajem.
Aku
bermimpi dihadap neraca. Neraca sederhana ketika semua hukum
keseimbangan
harus ditetapkan pada keramaian pasar.
Neraca
– neraca itu, ukuran – ukuran, kita slalu saja menghitung
perasaan.
Neraca – neraca itu.
Adakah
keadaan seimbang di dunia ini ?!
Orang
– orang gemar melupa kala belajar naik sepeda. Tak kurang satu
hitunganpun.
Waktu
dan roda berputar secara seimbang, rutin karna terbiasa kita tak
begitu
merasakannya.
Mungkin
kerinduan hanya hal sepele, merindukanmu juga hal sepele.
Perjuangan
datang dan pergi
Ingatkah
kau pada tetembangan yang slalu mengalun tatkala senja,
bukan
“
Kidung rumeksa ing Wengi “
tapi ;
Nalika
tansah nyawang wintang -wintang
panggonan
iki rasa kumambang
rata
– rata toya
Petheng
remeng - remeng esuk repet - repet
anakku
anakmu manunggaling tangisku
Kita
wus pada mangerteni
tansah
bebungah nyawang wintang
Langit
sumilak mbukak pada padhange
Kita
bebrayan wus sauntoro
Griyo
iki ngemu jamu
Gegodhongan
Lompong, Kelor pathing kleler
opo
mangkene rasane ?!
Wang
sinawang lintang kumambanging
mripat
tengenku kedhuten ing kiwomu
“
O, Kartika anakku lanang ! “
Mas,
aku ora nyejo nambahi pikiran
gumantung
koyo woh – wohan
wohing
pakarti nyawijekke wiji
Mripatku
kedhuten, wintang – wintang
sumebar
cumlorot tiba banjur moksa
Putih,
Abang, Kuning, Ireng
“
O, Kartika anakku lanang ! “
Wintang
– wintang dadi titik
kang
becik bakal ketitik
Ana
cahya mangan rupa
cahya
mangan cahya
rupa
mangan rasa
“
Gusti, ingkang mateg janji
mring
wintang – wintang, padhangono
atiku
kang tansah nglambrang “
Galengane
urip sumilak padhang
IV.
Pada
udara terbuka dan pikiran lapang, seolah kita bermain pada
padang
rumput kehijauan. Kata – kata dan segalanya merumput.
Rumput
secara fisik dan biologis adalah kemajemukan.
Padang
rumput menghijau dan kita berlarian.
Seolah
bocah berlarian riang, senyumnya diselip Kalakanji
Dalam
beberapa kali putaran ; lapangan, angin menghijau
Seperti
pemain profesional menggiring bola pada tujuan
memang
kita sedang bermain - main angka
bermain
angka dan perasaan. Angin menghijau.
Minggu
pagi bocah – bocah riang bermain di pelataran ( mempermain
kan
pelataran pikiran kita ) entah laki entah perempuan, yang jelas
mereka
riang. Mungkin fenomena
wang sinawang tapi
bau, suara, warna
tak
bisa dibohongi.
Bocah
– bocah riang di Minggu pagi bermain tanah di pelataran depan.
Tanah
– tanah mistis karna slalu dijagai waktu, tanah pemilik sah
peradaban,
tanah – tanah sejarah.
Selagi
kecil mungkin mereka tak tahu ; Tanah – tanah Magersari.
Maka
dipersatukanlah sejarah, kenangan, pembenaran.
Mereka
masih bermain tetanahan membangun rumah – rumahan
juga
Buk
buk Theng.
Dan memang rumah dari Tanah Holosein Muda.
Aku
tiba di Kasongan pukul 15.00, bayangan menghitam
berharap
bermain imajinasi, “ Simsalabim ! , Adakadabra ! “ alakadarnya
mencetaki
tanah – tanah warisan.
“
Apa ini kerjaan kekanakan ?! “
Kita
hanya mengulang masa kanak – kanak ( bermain tanah di pelataran
depan
). Ketika semua bentuk dibakar sempurna cahaya.
Bayangan,
bentuk terus bermain – main ; “ Ayo kita pergi “
Flor,
perasaan merindu mungkin hanya permainan Cilukba
kala
sosok hilang perlahan – lahan tapi tetap pada tempatnya
Hal
paling menakjubkan masa kanak – kanak !.
“
Ayo kita pergi dan lakukan kunjungan kita “
selagi
angin menghijau, aku telah rapikan rambutku, kau siapkan
gaunmu
dan jam masih berdetak – detak misterius
tiada
sangsi !, mari lakukan permainan Cilukba !.
Flor,
lupakan ceritaku tadi. Cerita yang hanya membunuh waktu
cerita
yang memperpanjang bayangan.
Sedang
bayangan menandakan kau, lalu bagaimana ini ?!
Susah
payah aku mengarang cerita agar mudah kau melupa.
Menyerap
dan melupa. Pasti kau takkan cerita sebab kitalah
cerita
– cerita itu !.
Apa
yang terlintas sekarang ; “ Kun ?! , Simsalabim ?! ,
Adakadabra
?! , Cilukba ?! “
Aku
tiba di Kasongan pukul 15.01`.12`` tak ada pembulatan angka
karna
kita saling menunggu ; “ Ayo kita pergi dan lakukan
kunjungan
kita “
segalanya
meruang
V.
Segalanya
meruang ; penatus,
penewu, kepanewonan
setiap titik
dan
garis diliput daging, daging dan daging.
Mineral
– mineral, keringat, sumber
kekayaan pikiran adalah laut.
Lalu
laut begitu feminin, luwes menghancurkan karang – karang.
Abrasi,
abstraksi.
(
Kerinduan Kedaerahan I )
Aku
adalah panggung, tempat yang begitu feminin. Saling berburu
waktu.
Berburu dan meramu bayangmu.
Aku
pandang Tuhanku.
Antara
rasa hewani, manusiawi, alam tetumbuhan susul – menyusul
pada
rantai – rantai kesadaran.
Di
Krapyak kami mengingat bau, suara, warna.
(
Kerinduan Kedaerahan II )
“ Ketenangan
pengabdian “ pada tata kota, tata kinerja
Tata
Kota Catur
Gatra Tunggal.
Segalanya meruang
“ Kekuatan
Budaya Untuk Mensejahterakan Rakyat “ sebagai
tata
kinerja.
(
Kerinduan Kedaerahan III )
Pal
Putih sperma putih, tegak di pusat kehidupan. Traffic
light
memutih,
ada detak berhenti dari memerah. Perasaan terus
melaju.
Golong gilig ketika
segala pertemuan dilabuhkan.
De
Witte Paal te Djokja.
(
Kerinduan Kedaerahan IV )
“Bapak
Pocung dudu watu dudu gunung “ terdengar
lagi suara
dari
titik terjauh, garis terdekat. Mungkin EWS atau rungon
-
rungonen
saja sebab udara, pikiran dilewati apa saja.
Gerbang
Sri Manganti dibuka, diketuk Gong pada langkahnya.
(
Kerinduan Kedaerahan V )
Segalanya
meruang
Sense
of place, sense of belonging
Bantul,
31 Oktober 2012.
Diambil
dari bagian Antologi “ Anatomi “ oleh Panji Cybersufi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.