“
Nasi Putih terhidang di meja, siapakah penanamnya ?!. Panas terik tak
dirasa, hujan rintik tak mengapa, … “
Nyanyian
dari TVRI tempoe doeloe
selalu terngiang, ketika aku melintasi kampungku.
Terpana.
Dahulu ketika negeri ini ditarik garis agraris juga maritim, betapa
gemah ripah loh jinawi,
kondhang klangkung manis.
Entah mengapa setiap orang asing yang masuk ke negeri kami, aku
selalu ada semacam keterikatan mungkin juga kedekatan batin. Ikatan
yang begitu kuat.
Ruang
dan waktu telah berubah. Era industrialisasi ini, aku masih terpaku
menatap hamparan sawah. Wong
– wongan sawah sibuk
menghalau burung demi burung. Suara berterbangan. Terngiang lagi lagu
dari TVRI. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan, masuk lagi
telinga kiri. Begitu seterusnya sampai telinga gatal – gatal.
Mungkin Kunti akan melahirkan Karna demi Karna lagi, sementara alam
tetap perawan dijagai para dewa.
Pada
Ladang Jagung Hibrida bisi 2, kulit Jagungnya disebut Klobot.
Lintingan klobot dari
tangan – tangan perempuan. Dilekatkan liur Roro Mendut. Lintingan
Rokok Klobot.
Sejarah cinta Roro Mendut dan Pronocitro. Roro Mendut menjadi ikon
Rokok Klobot
di masa lalu. Ah, bibirnya !. Sekarang menjelma Sales
Promotion Girl produk
rokok di era industrialisasi. Perempuan tetap saja menjadi objek.
Rambut
pirang Jagung. Mengingatkanku pada Bule Amsterdam. Aku selalu
penasaran dengan rambut pirangnya, baunya, pigmentasi dan pori –
pori kulitnya, yang besar, renggang juga bibirnya. Ya, bibirnya.
Pada
tumpukan Jerami kering disisi Barat, bekas panen Padi tanpa sengaja
kita begitu akrab. Bercerita ha-ha-hi-hi
di Ladang Jagung. Bule Amsterdam yang suka Film Kungfu. Karena di
negeriku, dia bisa dengan mudah menemukan tanaman Bambu.
“
Kungfu ! “ setiap kali ketemu Bambu, sambil menirukan peragaan
jurus Kungfu yang sering ditontontannya.
Dengan
keterbatasan bahasa, kami tetap ha-ha-hi-hi
saja. Homo Neaderthal
ketemu Meganthropus
Erectus. Tinggal tulang
belulang yang dikatakan dekat dengan kekerabatan manusia.
Kami
membakar Jagung dengan sedikit Mentega. Aku menyisir rambutnya.
Berderet gigi yang putih disela Hitam kekuningan biji – biji
terbakar. Telunjukku mengarah giginya. Ia menunjuk Jagung yang mulai
hangus. Kami tetap ber ha-ha-hi-hi.
Penduduk
sekitar keheranan dan mengeleng kepala ketika melintas Ladang Jagung.
Kucuali
satu per satu biji Jagung, walaupun terasa panas. Di kampung kami,
sering ada orang yang masih buruh nyuili,
mengupas, mempreteli biji Jagung. Upahnya dihitung per kilo. Wanita
itu heran melihat cara makanku.
“ Dzikir “
Agak
susah gadis itu mengucapkannya.
“ Remember to the god “
Mengangguk
pelan sambil menirukan cara makanku. Baginya Tuhan merupakan hal yang
asing dan juga mungkin tidak terlalu penting.
Tumpukan
Jerami kering disebelah Barat kampung telah menjelma a
soft natural colour Dutch leather sofa.
Kami berburu sebelum Jerami kering itu atau damen,
dikumpulkan para peternak. Orang kampung kerap memberi pakan Sapi
dengan Damen.
Berharap mereka lupa, ini musim panen Jagung bukan Padi. Tapi damen
masih tersisa juga kenangan.
“
Maafkan aku melupakan namamu “.
Aku
semakin asing dengan dusunku sendiri.
Bantul, Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.