Sungguh
nyentrik pria yang menunggu kami di semburat jingga kali ini. Rambut
gimbal yang panjang, wajah tirus dan sederet asesoris yang melekat di
tubuhnya. Seniman itu bersama Samuel Edi, aku memanggilnya Mas Edi.
Ia tak sendiri, bersama anak muda lainnya dari Komunitas “ Wayang
Beber Metropolitan” ( WBM ) tengah menunggu kami. Setelah berjabat
tangan, di lesehan emperan kafe, kami membuka kehangatan senja
bersama kopi, gorengan dan rokok. Lalu mengalirlah kisah WBM yang
menjunjung spirit romantik nan heroik pencarian Panji Asmoro Bangun
terhadap Dewi Sekartaji.
“ Spirit
kisah Panji yang kami ambil. Bagaimana Panji meninggalkan istananya
untuk mencari Dewi Sekartaji dan melakukan perekatan eleman - eleman
masyarakat tanpa pertumpahan darah,” kurang lebih seperti itu
penuturan Mas Edi. Aku melirik wadah kertas gambar miliknya dan
menerka gambar di dalamnya. Rasa penasaran yang membuncah ku tahan
dengan menyimak cerita riang Mas Edi tentang sejarah dan nilai - nilai
yang sedang diusung oleh komunitasnya.
“ Metropolitan
itu berarti urban dan kata itu mewakili Jakarta. Improvisasi kami
lakukan agar spirit Panji terkomunikasikan. Kemasan dan alur cerita
kami bebas, tidak terikat dengan kesimpulan di akhir cerita. Semuanya
lepas namun tetap mengusung semangat Panji, “ jawab Mas Edi atas
pertanyaanku tentang penggunaan kata metropolitan.
Sekedar
catatan, Wayang Beber berasa dari Pacitan - Jawa Timur. Wayang ini
dilukis di atas daun daulang berukuran 100 x 50 ( cm ) per slide dan satu
cerita terdiri dari 6 slide, sehingga dalang harus membuka
lembarannya ( dibeber ). Ada yang mengatakan bahwa wayang beber
merupakan cikal bakal dari wayang purwa ( kulit ) dan wayang golek yang
bersifat 3 dimensi. Namun dalam memainkan wayang beber ini lebih
sulit karena wayangnya tidak dapat digerakkan.
Kopi
dan rokok telah tamat, kami pun menuju ruangan dalam kafe. Ritual doa
seperti biasa dimulai lalu byaaarrr, tersingkaplah gulungan kain dari
wadah gambar. Spontan aku berdecak kagum sambil menyentuh lembut
lukisan di atas kain sepanjang 6 meter itu. “ Begini sih jelas bukan
amatir,” sanggahku kepada Mas Edi. “ Tapi usia komunitas ini belum
genap dua tahun. Kami hanya sekumpulan orang yang senang melukis pada
awalnya,” tutur Mas Edi.
Kami
mengamati para kru WBM yang sedang menyusun cerita dan kreatifitas
lainnya yang ingin mereka tuangkan. Aku hanya sanggup tertegun dengan
diskusi mereka sambil mengamati konsep revitalisasi dalam goresan
gradasi warna yang cantik pada lukisan kain tersebut. “ Ini
benar-benar keluar dari pakem,” bisikku dalam hati. Pakem lukisan
wayang beber yang ku ketahui itu hampir tak ada ruang kosong yang
tersisa, rumit dan kompleks. Diam - diam aku menyimpulkan bahwa
perkembangan wayang ternyata sejalan dengan perkembangan kerajaan di
Jawa, dimulai dari wilayah timur Jawa lalu ke barat. Ku temui makna
bahwa budaya merupakan sebuah proses, bukan produk, sehingga budaya
tidak mengenal sekat, membebaskan namun tetap mengusung spirit
humanisme dan harmonisasi manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Hmm…
Improvisasi apa sajakah yang akan disuguhkan oleh WBM ? Yah, cukup
kami saja yang tau. Pokoknya, tanggal 13 Mei nanti WBM akan pentas.
Tunggu saja kabar beritanya. Perlahan dan pasti rasa kantuk menyergap
dan menguasaiku, malam semakin larut. Kami pun pamit pulang.
Penghujung
Januari 2012
Di
Jalan Veteran - Jakarta Pusat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.