Social Icons

Senin, 09 September 2013

Biennale Jogja XII : Perjumpaan Indonesia Dengan Negara – Negara Arab


Interaksi antara Indonesia dengan Negara – negara Arab sudah berlangsung sejak abad ke-7 ketika jalur pelayaran internasional yang ramai melalui Selat Malaka terbentuk. Jalur tersebut menghubungkan kebudayaan – kebudayaan yang berbeda ( antara lain Cina, Sriwijaya dan Bani Ummayah ). Penyebaran Kebudayaan Arab dan Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah persentuhan masyarakat lokal dengan Islam, melalui Kebudayaan Arab pada masa itu, melatari terbentuknya Indonesia – negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia saat ini.
Sekarang, isu – isu hubungan Indonesia dan Negara – negara Arab menjadi semakin penting didiskusikan. Dalam konteks kebudayaan global, perkembangan seni rupa kontemporer di Arab dan Asia Tenggara justru menjadi faktor yang paling menonjol untuk dijadikan sebagai  motif pembangunan hubungan yang lebih erat dan mendalam diantara kedua kawasan tersebut. Kedua kawasan tersebut bukanlah bagian dari wilayah arus utama seni rupa modern yang berpusat di Eropa dan Amerika. Menyusul perubahan – perubahan ekonomi dan politik global, muncul kesadaran baru diantara para pelaku seni wilayah – wilayah non pusat, termasuk Asia Pasifik dan Arab untuk melakukan inisiatif – inisiatif dalam bentuk kegiatan pameran internasional, art fair, dan program – program residensi seniman yang pada akhirnya membentuk topografi baru seni rupa internasional.
Seni rupa kontemporer di Indonesia dan Negara – negara Arab memiliki potensi sebagai suatu kategori baru yang menyela stereotip – misalnya ' Seni Rupa Negara – negara Islam ' – yang selama ini dihasilkan oleh sistem representasi dominan yang berlaku dalam medan seni rupa global.

Biennalr Jogja XI

Sejak 2000-an, penyelenggaraan pameran – pameran berskala internasional, baik di Indonesia dan Negara – negara Arab, tidak lagi sekadar  upaya mandiri  untuk membangun sarana – sarana baru bagi pertunbuhan medan seni rupa lokal. Pameran – pameran harus dilihat sebagai salah satu strategi untuk melakukan negosiasi identitas ditengah dinamika dan kompleksitas medan seni rupa global. Biennale Jogja ( di Indonesia ) dan sejumlah kegiatan besar seperti Art Dubai dan Biennale Sarjah ( di kawasan Arab, seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Dubai dan Qatar ) adalah upaya yang sangat penting untuk mendefinisikan kelokalan masing – masing kawasan ditengah masih maraknya pameran – pameran  internasional di Eropa dan Amerika. Inisiatif – inisiatif itu harus dipahami sebagai modal yang sudah cukup kuat ditingkat lokal. Mereka harus dikembangkan menjadi program – program yang lebih konkrit yang dapat mempertemukan seni rupa kedua kawasan itu dengan lebih intens dan mendalam.
Pada 2013 ini, Biennale Jogja XII Ekuator #2 akan bekerja sama dengan Mesir, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab dengan pameran yang dikuratori olah Agung Hujatnikajennong ( Indonesia ) dan Sarah Rifky ( Mesir ). Agung Hujatnikajennong menawarkan tema mobilitas sebagai konsep kuratorial  Biennale Jogja XII Ekuator #2.
Gagasan mobilitas ini, berangkat dari perspektif yang melihat praktik seni rupa kentemporer sebagai manifestasi dari pola – pola produksi – distribusi – konsumsi yang berlaku dalam medan seni rupa global 1 .


Biennale Jogja XII : Sebuah Cerita dan Catatan Kecil


Berawal dari sebuah undangan acara pada Jejaring Sosial beberapa bulan lalu, aku menghadiri sosialisasi Biennale Jogja XII dengan tema Perjumpaan Perupa Indonesia dengan Mesir, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Sebagai Orang Jogja asli yang mencintai seni khususnya – untuk tidak mengatakan sebagi seniman – merasa sedikit malu, baru kedua kali ini aku masuk Gedung Societet Jogja. Datang sendiri dari kampung ke pusat kota Jogja, tanpa seorang pun kukenal dalam acara tersebut. Tetapi aku cukup percaya diri, rambut gondrong, Batu Akik Turqouise melingkar di telunjuk jari kanan juga kuku jempol kanan yang kubiarkan panjang, disamping itu masih menggendong tas hitam. Tas hitam kesayangan yang kugendong kemana – mana, entah isinya apa ?!. Yang jelas bukan Mbah Surip.
Bagaimana sudah mirip tampang seniman ?!.
Juga asap rokok dengan merk yang pasti belum kau kenal selalu mengasapi langkahku menunggu waktu. Bukan asap untuk memanggil ataupun menandai kehadiran Mbah Surip lho.
Berprasangka baiklah sedikit, bahwa aku seorang seniman ( hahaha ).
Yayasan Biennale Yogyakarta ( YBY ) berdiri pada 23 Agustus 2010. Misi YBY adalah menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. YBY juga berfokus pada pengembangan dan pengelolaan kekayaan budaya sebagai upaya untuk membangun dan mengoptimalkan seluruh potensi kreatifitas dari manusia – manusia pencipta karya budaya maupun pemanfaatan seluruh aset budaya yang telah ada di wilayah DIY 2 .
Sebelum acara sosialisasi dimulai, sempat berkenalan dengan perupa muda jebolan ISI Yogyakarta. Dari percakapanku dengan Tomo, dia mengaku mempunyai teman semasa SMA  yang menjadi cerpenis dan sekarang tinggal di Jakarta. Faishal Kamandobat, cerpenis itu.
Tomo juga sempat memberikan booklet pameran lukisan temannya. Terbaca ; .


Solo Exhibition by Arwin Hidayat
Kami berbincang asyik mengenai konsep kesenian. Seni untuk seni, seni untuk rakyat, seniman sebagai profesi.
Dewasa ini, konsep kesenian khususnya seni rupa semakin berkembang. Perkembangan itu terjadi dari konsep berkesenian secara individual, eksklusif dan intuitif menjadi komunal, kerja kelompok, bebas dari eksklusifitas, berdasarkan riset ( penelitian sosial ). Dalam proses berkarya melibatkan inter disiplin ilmu pengetahuan. Tampaknya konsep berkesenian dengan berkelompok ini yang coba dikembangkan Yayasan Biennale Yogyakarta, paralel dengan konsep yang diusung Rivers of The World sebagai perbandingan.
Muncullah istilah riset dalam proses pembuatan karya seni sebagi tolok ukur untuk menilai hasil karya seni. Riset ( yang cenderung bersifat akademis ) seolah menjadi bukti sah untuk menilai karya seni. Bukti yang harus berbentuk, jika pernyataan harus disertai sumpah, persis bukti – bukti perkara di sidang pengadilan. Fenomena melogiskan, mengakademisikan karya seni ini semakin menggejala. Seolah kesenian itu sendiri bukan merupakan ilmu pengetahuan, hingga harus ditambahi dengan embel – embel riset agar nilainya bertambah.
Apakah kata 'Research' berarti sama dengan 'Re-search ?!'.
Secara umum research berarti penelitian,  tidakkah cenderung pada ' mencari kembali, meneliti kembali, memeriksa lagi ?! '. Tentunya aksi ' mencari kembali ' itu dilakukan dengan cara mencoba – coba, mengulang – ulang. Namun jika aksi ' meneliti kembali ' itu dilakukan secara serius dan terus – menerus tentunya dibutuhkan metodologi, sistem atau pendekatan tertentu.
Hasil riset akan terbantahkan dengan pengembangan hasil riset lainnya, mungkin juga berbagai macam riset akan saling mendukung dan menguatkan. Maka yang akan terus terjadi adalah perputaran logika, siklus rasa.  Mencari kembali, memeriksa kembali, penelitian lagi, lagi dan lagi. Sebab pada hari Minggu pun pikiran tak serta merta diliburkan. Padahal pada hari Minggu, ku ingin turut ayah ke kota naik Delman istimewa.
Perhelatan Biennale Jogja Seri Ekuator 2011 – 2022 memperlihatkan kecenderungan fenomena tersebut. Riset – mengumpulkan data dan informasi dengan berbagai cara – menjadi bukti yang shahih kualitas karya yang dihasilkan. Setidaknya dengan alasan menelusuri apakah karya yang dihasilkan sesuai dengan konsep berkesenian, berkarya yang telah dipikirkan sebelumnya. Ketersesuaian antara konsep berkarya ( proses ) dengan hasil karya seni, yang akhirnya dipergunakan untuk menilai karya seni. Alias bahasa kasarnya, walaupun hasil karya seorang seniman ( contoh ; lukisan ) sangat diapresiasi khalayak umum, tetapi jika sang perupa tidak bisa menjelaskan konsepnya dalam melukis sama saja omong kosong, tidak akademis, tidak logis, dll.
Joe Sacco pernah melakukan wawancara, observasi di daerah yang diduduki Israel. Laporan jurnalistiknya ditulis dalam media komik berjudul “ Palestine “. Menurut Seno Gumira Ajidarma, “ Jurnalisme Joe Sacco adalah jurnalisme personal, karena jurnalisme komik dianggap tidak lazim, tapi justru karena itu jurnalismenya menangkap hal – hal yang luput dari perhatian para konglomerat dalam jurnalitik “ 3 .


Jurnalisme Komik, Joe Sacco

Jurnalisme Komik inilah yang menginspirasi ( sadar atau tidak sadar ) Mulyakarya untuk membuat Proyek Kring Eaaa dalam Biennale Jogja XI 2011 lalu. Bercerita tentang keistimewaan Yogyakarta, tetapi tidak mengarah pada isu politik namun lebih banyak ke sejarah ; filosofi Wayang, keberagaman, toleransi, hubungannya dengan kebudayaan media baru dan peran anak muda atau komunitas di Yogya untuk memanfaatkan dan mengungkapkan sesuatu.

Proyek Kring Ea, Mulyakarya, Biennale Jogja

Untuk meningkatkan bobot dan keluasan, sehingga komik tidak hanya sebatas promosi wisata, Mulyakarya bekerjasama dengan orang – orang yang berkompeten dengan latar belakang yang berbeda – beda sebagai narasumber. Wawancara dengan para narasumber tersebut kemudian dituangkan dalam media komik. Komik Seri Petualangan Kampret dan Rawit, Kisah Petualangan Kampret dan Rawit Bersama Mbah Damardjati Supadjar dan Mbak Leoni Dian Anggrasari ( Lorong Shoping ),  Kisah Petualangan Kampret dan Rawit Bersama Mas Wisnu Martha, Bung Emha Ainun Nadjib dan Eko Prawoto ( Alien Sunday Morning ),  Kisah Petualangan Kampret dan Rawit Bersama Agus Hartono dan Ibu Murdijati Gardjito ( Tusukan Helicopter ).

Upaya merasionalisasi kesenian inilah yang coba dikembangkan. Karya – karya Leonardo Da Vinci harus bisa dijelaskan seperti hasil karya Albert Einsten, dsb. Lalu kecerdasan macam apa yang dipakai untuk mengukur segala sesuatu, dapatkan digeneralisir ?!.
Kapan sebenarnya bangsa ini benar – benar menghargai hasil karya kesenian dalam negeri, apapun bentuknya ?!.
Kadangkala konsep awal tidak sesuai dengan hasil akhir ketika diaplikasikan. Akhirnya riset secara kualitatif dan kuantitatif hanya merupakan salah satu tools ( alat ) untuk menilai suatu karya seni. Hasil karya seni itu sendiri yang harus dinilai, sedangkan proses berkarya ( melalui riset ) dipergunakan untuk lebih memahami atau memberi nilai tambah terhadap suatu karya seni.
Setidaknya hal ini berlaku umum di masyarakat pada setiap sendi kehidupan. Lebih menghargai hasil daripada proses. Sedangkan proses menentukan hasil.
Apakah seniman harus melakukan riset untuk menghasilkan karya ?!, persis seorang akademisi mengumpulkan data – data untuk menulis skripsi, tesis, disertasi ?!. Atau jika riset itu hanya digunakan sebagai tools, seniman harus mengetahuinya kapan harus menggunakannya ataupun mengabaikannya sama sekali karena kesenian lebih mengarah pada ranah rasa.
Pun ketika riset merupakan pencarian kembali, pemeriksaan kembali, penelitian kembali secara sadar ataupun tidak sadar, sebenarnya para seniman telah meriset jiwa dan batinnya sendiri untuk menghasilkan karya seni. Namun para seniman masuk lebih dalam, kesurupan melihat yang tak terlihat oleh riset yang bersifat luaran. Intuisi dan ketrampilan individual seniman yang akhirnya menentukan karya seni terejawantahkan. Memang perdebatan dalam hal proses berkarya antara intuisi ( ilham ) versus riset akan terus terbuka untuk ditafsir ulang. Rangsangan – rangsangan pemikiran akan menimbulkan perdebatan baru yang lebih menggairahkan.
Kami masuk ke Gedung Societet, sosialisasi pun segera dimulai. Aku terdiam mendengarkan. Duduk bersebelahan dengan sahabat baruku.
Aku dengan sahabat Arabku sedang berjalan – jalan menikmati Ramadhan suatu senja.


Biennale Jogja XII

            “ Menu buka puasa kita hari ini ?! “
            “ Kuceritakan padamu tentang tradisi kuliner di negeriku “
            “ Baik “
            “ Tentang Soto Kudus “
            “ Ceritakan padaku tentang rasanya “
            “ Soto Kudus yang asli menggunakan daging Kerbau atau Ayam sebagai pelengkapnya. Ini terkait sejarah perkembangan Islam di daerah Kudus, Jawa Tengah. Waktu itu, Islam masih minoritas. Penduduk asli mayoritas memeluk  Agama Hindu dan Budha “.

Perjalanan semakin jauh menuju cakrawala. “ Horison Harapan “ kata para kritikus.
            “ Sunan Kudus sebagai penyebar ajaran Islam di daerah tersebut, memahami betul pendekatan mayoritas - minoritas 4
Hewan Sapi bagi Umat Hindu merupakan hewan suci. Waktu itu, beliau melarang Umat Islam menyembelih Sapi untuk dikonsumsi “.
            “ Tidak hanya itu “ lanjutku, “ konon Sunan Kudus sering menuntun Sapi sambil menyebarkan ajaran islam. Adalan da'wahnya adalah kajian Surah Al Baqarah “.
            “ Kau tahu sahabat, waktu Islam masih minoritas di negeriku, mereka bisa menghargai mayoritas. Sekarang waktu Islam menjadi mayoritas ?!.
Apakah minoritas di negeri ini sekarang bisa menghormati dan diajak kerja sama dengan mayoritas dalam hal kemanusiaan, bernegara dan bermasyarakat ?! “.
Aku diam sejenak, ia masih mendengarkan ceritaku dengan serius. Penguasaan Bahasa Indonesianya sudah lumayan. Ia keturunan Arab-Jawa. Ia masih memperhatikan, entah mengolah makna ataupun ada mis bahasa. Tetapi tidak, dia seperti tidak bermasalah dengan itu.
            “ Huft !, … begitulah rasa Soto Kudus itu, sahabat. Apakah ceritaku yang akhir mengganggu selera makanmu ?! “.
Dia hanya tersenyum. Kawanan Unta bergegas menuju Padang Alfalfa. Kami tersenyum melihat barisan Semut 5 diseberang. 



Malam Lebaran, 8 – 9 Agustus 2013, Yogyakarta.
( Bagian akhir footnote ke-5 ditambahkan pada 18 Agustus 2013 ).


Catatan Akhir “ Biennale Jogja XII : Perjumpaan Indonesia Dengan Negara – Negara Arab “


1 Dikutip dan diolah dari ; Booklet Biennale Jogja XII Equator #2 Perjumpaan Perupa Indonesia dengan Mesir, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab, 16 November 2013 – 6 Januari 2014.

Seri BJ Equator #1 telah sukses bekerja sama dengan Negara India, bertajuk “ Shadow Lines “ dikuratori oleh Alia Swastika ( Indonesia ) dan Suman Gopinath ( India ), melibatkan 45 seniman dan berhasil menjaring lebih dari 30.000 pengunjung dari dalam dan luar negeri selama 45 hari pelaksanaannya. Tahun ini BJ XII Equator #2, akan bekerja sama dengan Negara – negara Arab. Selanjutnya, BJ Equator akan berjalan ke Barat dengan batasan geografis dalam kawasan yang terentang diantara 23.27 LU dan 23.27 LS. Bekerja sama dengan negara – negara di Benua Afrika ( 2015 ), Amerika Latin ( 2017 ), Kepulauan Pasifik dan Australia ( 2019 ) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV akan disebut sebagai “ Biennale Laut “, Asia Tenggara ( 2021 ), dan ditutup dengan konferensi Equator pada tahun 2022.

2 Indonesia yang multikultur seharusnya menjadi modal pembangunan. Mengaplikasikan kekuatan budaya untuk mensejahterakan rakyat. Bukan hanya masalah kuantitas ragam kebudayaan, tapi juga kualitas. Pemerintah harus konsen, karena identitas suatu bangsa terkait dengan akar – akar kesejarahan budayanya yang membentuk peradaban manusia. Budaya lokal yang merupakan puncak – puncak kebudayaan nasional. Bukan sebatas komoditi tetapi mahakarya budaya, sehingga budaya akan mampu menjawab setiap tantangan zaman.
Perlu diperhatikan lebih lanjut ;

1.      Hak Cipta hasil budaya yang merupakan kekayaan intelektual, menginventarisir beragam kesenian dan budaya lokal untuk dapat didaftarkan pada UNESCO sebagai warisan dunia, sekaligus pemetaan seni budaya yang memuat berbagai aspek yang menyertainya. Langkah ini merupakan bentuk pengakuan, legalisasi, sekaligus untuk menyusun strategi pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia.
2.      Diplomasi budaya.
3.      Seni budaya sebagai identitas bangsa.
4.      Mind set, subjek dan objek seni budaya.
5.      Pendidikan Budaya dan Budaya Pendidikan.
6.      Promosi, jejaring kerja sama antar dan lintas budaya.

Jika kita bincangkan masalah Yogyakarta setelah disahkannya Undang Undang Keistimewaan Yogyakarta yang nantinya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Istimewa ( Perdais ), yang salah satunya akan mengatur masalah Dana Istimewa ( Danais ), pelaksanaannya perlu dikawal lebih lanjut. Dipastikan bahwa Danais terserap untuk kesenian dan kebudayaan sampai ke tingkat pedesaan. Hal ini senada dengan sabda dalam penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ; “ Tahta Untuk Rakyat “.

3 Komentar dikutip dari “ Palestine Atawa Jurnalisme Komik “, Aikon Edisi 134, 2002 melalui ; Hairus Salim HS ( Penulis Naskah ) dan Iwan Effendi ( Komikus ). 2007. “ 1 Komik 1001 Ragamnya “. Dalam : Majalah Gong, Edisi No.87/VIII/2007. Yogyakarta : Yayasan Tikar Media Nusantara, h.27.
( Artikel tersebut disampaikan dalam bentuk komik ).

4 Para penyebar Islam awal adalah kaum sufi. Para pendakwah Islam awal di Indonesia adalah keturunan Imam Ahmad Bin Isa Al Muhajir – cucu Imam Ja'far Al Shadiq yang berhujrah ke Hadramaut ( Yaman Selatan ) – yang membawa suatu aliran Tasawuf yang belakangan disebut Tarekat Alawiyah. Bukan hanya Wali Songo dan pendakwah awal lainnya di Pulau Jawa, bahkan beberapa tokoh tasawuf diluar Pulau Jawa secara langsung atau tidak berada dibawah pengaruh tarekat ini. Tarekat Alawiyah, dan berbagai tarekat mu'tabarah lainnya, dipercayai sebagai termasuk dalam Tasawuf Sunni. Aliran yang terutama dibawah pengaruh Imam Al Ghazali dan sufi – sufi moderat lainnya, dan pada puncaknya menekankan pembinaan akhlak mulia.

Selanjutnya baca lebih lengkap dalam ; Shihab, Alwi. 2009. Antara Tasawuf Suni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf di Indonesia. Diterjemahkan dari : Al Tashawwuf Al Islami wa Atsaruhu fi Al Tashawwuf Al Indunisi Al Mu'ashir, oleh Dr. Muhammad Nursamad ( penterjemah ), cetakan I. Depok : Pustaka IIman.      

Penyebaran Islam di Indonesia oleh para sufi, berarti mementingkan penekanan masalah “ rasa “. Hal ini dapat ditelusuri dari metode da'wah Wali Songo, yang berupaya mengharmonisasikan antara budaya lokal dengan Agama Islam, ajaran Islam dengan Hindu Budha ( agama mayoritas penduduk pribumi sebelum masuknya Islam ).
Akulturasi, asimilasi, sinkritisme ( masalah ini perlu ditelusur lebih mendalam lagi ), serta yang sekarang dikinikan Gus Dur melalui Pribumisasi Islam-pun terjadi.
Dengan menggunakan pendekatan historis dan tekstual kultural, Dr. Simuh berusaha melacak akar Sufisme Jawa. Menggali akar – akar Sufisme Islam ( Tasawuf ) dan akar – akar dari Mistik Hindu-Budha. Selengkapnya dalam ;

Simuh. 1999. Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, cetakan IV. Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.

Telusur juga ; Zoetmulder, PJ. 2000. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa. Diterjemahkan dari : Pantheisme en Monisme in die Javaansche Soeloek-Literatuur, oleh Dick Hartoko ( penerjemah ), cetakan IV. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

5 Sebuah pepatah mengatakan, “ Gajah dipelupuk mata tak tampak, semut diseberang tampak “.
Pada hewan Semut banyak terdapat pelajaran.
Qs. An Naml ( 27 ) : 19 ( Makkiyah, surah ke-27 ; 93 ayat ).

            “ Maka dia ( Sulaiman ) tersenyum lalu tertawa karena ( mendengar ) perkataan Semut itu. Dan dia berdo'a ; “ Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan Rahmat-Mu kedalam golongan hamba  hamba-Mu yang shaleh “.

( Dikutip dari : Departemen Agama RI. 2006. Al 'Aliyy Al Qur'an dan Terjemahnya. Diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur'an disempurnakan oleh Lajnah Pentashih Mushaf  Al Qur'an. Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, h.302 ).

Seseorang bisa mendengar dan memahami bahasa binatang, bukanlah merupakan hal yang lucu dan aneh. Dalam cerita lama, Prabu Angling Dharma dari Jawa ( Malwapati ) dianugerahi Aji Pancabumi ( versi Jawa ) atau Kesaktian Nabi Sulaiman ( versi Madura ) atas jasanya membela teman ( seekor Naga ). Ilmu yang bisa memahami seluruh bahasa binatang, tetapi disumpah untuk tidak mengajarkannya pada orang lain.
Sekarang di era modern ini, banyak orang yang bisa memahami bahasa binatang dan bahasa alam. Organisasi seperti Greenpeace, WWF, penyayang binatang yang memperjuangkan Hak Asasi Binatang,  merekalah yang fasih memahami alam ( flora dan fauna ). Para Bhiksu Budha dengan pola makan Vegetarian ( Vegan ), para penganut Vegetarian ( Vegan ), merupakan sebagian bentuk kepedulian kepada hewan. Walaupun pada dasarnya manusia termasuk tipe omnivora.
Pengharaman untuk mengkonsumsi daging Babi dan Anjing dalam ajaran Islam, pada sisi lain bermakna sebagai bentuk kepedulian terhadap binatang juga. Tentunya dengan alasan – alasan lainnya. Menyiksa apalagi membunuh binatang tanpa alasan yang jelas adalah perbuatan yang tidak manusiawi. Para Jagal hewan di Indonesia sudah seharusnya diberikan edukasi untuk menyembelih hewan yang benar.
Tersenyumlah, mari kita mulai lagi untuk memahami harmonisasi ; manusia—alam ( flora dan fauna )--Tuhan, manusia dengan budaya—manusia dengan agama—budaya dengan agama—manusia antar manusia—agama antar agama—budaya antar budaya—intern manusia, intern umat beragama, intern budaya.

Para ilmuwan Harvard sedang mengembangkan teknologi pengendali otak hewan yang disebut Brain to Brain Interface ( BBI ). BBI dikembangkan oleh sebuah tim yang dipimpin oleh seorang profesor radiologi, Seung Schik Yoo. Dia menggunakan teknik yang memungkinkan komunikasi antar otak manusia dengan otak Tikus.
Kata komunikasi mungkin berlebihan, tetapi hasil dari penelitian tersebut sangat mengesankan. BBI menggunakan alat EGG yang disandingkan dengan teknologi FUS ( Focused Ultra Sound ). EGG dipakaikan pada subjek manusia untuk melihat monitor yang telah diset pada frekuensi tertentu. Dengan melihat ke monitor, otak subjek manusia membentuk dan mengirim sinyal “ gerakkan ekormu “ ke Tikus yang telah diberi obat tidur. Sinyal tersebut diterjemahkan oleh komputer dan dikirim ke otak Tikus menggunakan FUS. FUS selanjutnya merangsang kortex penggerak dari Tikus dan membuatnya menggerakkan ekor.
Pada saat ini sistem tersebut belum dapat mengirim perintah yang lebih kompleks. Penelitian yang dilakukan ilmuwan Harvard bukanlah  kali pertama dicobakan kepada Tikus. Para peneliti dari Duke University juga telah mengembangkan teknologi antarmuka yang memungkinkan Tikus mentransmisikan pikiran mereka dengan Tikus lainnya. Sistem yang dikembangkan ilmuwan Harvard hanya memungkinkan komunikasi satu arah yaitu dari manusia ke Tikus dan tidak sebaliknya. Tujuan dari teknologi ini adalah terciptanya telepati antar manusia atau manusia dengan hewan.
Walau terus dikembangkan namun pertentangan akan penelitian ini terus berlangsung lantaran potensi penyalah gunaannya yang sangat besar.

( Sumber : Ayu Prawitasari. 2013. “ Ilmuwan Harvard Kembangkan Pengendali Otak Hewan “. Dalam : Harian Jogja, Edisi 1847, Minggu Wage, 18 Agustus 2013. Yogyakarta : PT Aksara Dinamika Jogja, h.5. Teknologi ).


Catatan Lepas Terkait “ Biennale Jogja XII : Perjumpaan Indonesia Dengan Negara – Negara Arab “


Ø      Manusia mempunyai kecenderungan Homo Homini Lupus ( hasrat menguasai yang lain ). Begitupula sejarah perbudakan, seiring dan sejalan dengan sejarah manusia itu sendiri. Bukan merupakan suatu hal baru. Sejarah tertua tentang perbudakan terlacak dalam Hukum Hammurabi ( Babilonia, 1760 SM ), namun fenomena perbudakan jauh sebelum itu, yakni pada masa kejayaan Bangsa Sumeria Kuno ( 5300 SM ). Hal serupa juga terjadi di Mesir Kuno, Bangsa Akadia, dan Bangsa Assiria. Sejarah perbudakan pada era tersebut tidak banyak dikenal, hanya Hukum Hammurabi ( Hammurabi Code ) dan catatan Hieroglif di Mesir pada masa Ramses II yang dapat dijadikan bukti.
 Sejarah juga mencatat fenomena perbudakan pada era Yunani Kuno ( abad VII SM ) yang     dipraktikkan di Spartha dan Athena, Bangsa Romawi kuno yang mewarisi sistem perbudakan    dari Yunani dan Bangsa Fenisia ( Funisia ), terus dilanggengkan di Eropa yang memasuki masa  Renaissans melalui kolonialisme dan imperialisme.
 Ketika Islam mulai disebarkan oleh Rasulullah SAW, kondisi masyarakat jahiliyah Arab pun     masih mempraktikkan sistem perbudakan. Islam sangat menghargai persamaan derajad manusia  ( yang membedakan hanya ketaqwaannya dihadapan Allah SWT ), bahkan untuk Diyat atau  Diyah ( denda untuk menebus kesalahan ) Islam menyuruh untuk memerdekakan budak, misalnya kafarat sumpah, riqab ( bagian zakat untuk memerdekakan budak ), dan denda untuk tindakan dosa tertentu ( tahrir al raqabah ).
            Konferensi tentang penghapusan perbudakan pada tahun 1956 di Genewa dihadiri 51 negara.

 Jika perbudakan seiring sejalan dengan sejarah manusia itu sendiri, perbudakan akan selalu ada disetiap zaman dalam bentuk – bentuk baru yang terkadang tidak disadari. Proses “ perbudakan    “ kontemporer yang merupakan bentuk lain ( lanjutan ) dari kolonialisme dan imperialisme Bangsa – bangsa Barat terhadap non Barat, merupakan wacana superioritas.
Bangsa – bangsa Non Barat ( tak terkecuali Indonesia ) “ dipaksa dan dijejali “ konsep – konsep Bangsa Barat.   Ambil sebagai contoh ; penerapan Demokrasi Liberal, Liberalisasi ekonomi. Padahal jelas    konsep tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Isu Hak Asasi Manusia  ( HAM )  yang jika dicermati harus mampu dipilah – pilah ; mana HAM yang  merupakan “ pesanan “  Barat ( untuk kepentingan tertentu, kepentingannya sendiri ), HAM yang benar – benar humanis      ( Humanisme Sekular, Humanisme Theist, Humanisme apa   lagi ?! ).
Konsep HAM menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999, adalah HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan  dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan        harkat dan dan martabat manusia.
            Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak             memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.
 Dari pengertian tersebut, bisa diambil pemahaman yang esensial yakni HAM merupakan hak   yang melekat ( inheren ) pada setiap manusia yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian negara, pemerintah dan atau orang lain dengan alasan apapun, misalkan         perang, sengketa bersenjata, keadaan darurat dan pembangunan. Apalagi penggusuran warga di   Waduk Pluit ( Jakarta ) karena normalisasi Waduk. Yang konon katanya KOMNAS HAM,  melanggar  Hak Asasi Manusia.
 Konsep HAM ini sering di-lebay-kan di Indonesia, tafsir undang – undang yang dipenggal        menjadi ;  HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan       manusia. Bandingkan, supaya diresapi ;
Konsep HAM menurut Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999, adalah HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan dan martabat manusia.
Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak  memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM. Dari pengertian tersebut, bisa diambil pemahaman yang esensial yakni HAM merupakan hak     yang melekat ( inheren ) pada setiap manusia yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, bukan   pemberian negara, pemerintah dan atau orang lain dengan alasan apapun, misalkan perang, sengketa bersenjata, keadaan darurat dan pembangunan.
 Jika titik akhirnya adalah kemanusiaan, seharusnya baik menggunakan pendekatan ( perspektif )        Humanisme Sekular ataupun Humanisme yang dilandasi spirit keagamaan tidak akan  menjadi masalah. Namun permasalahannya di Indonesia, Humanisme Sekular diartikan atau   lebih pas nya di-lebay-kan menjadi anti agama. Maka pas definisi tersebut berkembang  ( sengaja dikembangkan ) di negeri lebay yang dipimpin SileBaY ini.
Lalu sekarang siapa yang sebenarnya terjangkiti, teracuni fanatisme sempit tentang  kemanusiaan itu akhirnya ?!.
Tidak    ada tafsir tunggal mengenai kemanusiaan, sejarah Bangsa Barat mengusung  Humanisme Sekular lebih merupakan trauma kolektif antara negara dengan agama di masa lalu. Tetapi  kembali lagi, Jika titik akhirnya adalah kemanusiaan, seharusnya baik menggunakan  pendekatan ( perspektif )  Humanisme Sekular ataupun Humanisme yang dilandasi spirit   keagamaan tidak akan menjadi masalah. Humanisme Sekular, sekali lagi jangan ditelikung  menjadi anti agama.
Lalu HAM yang bagaimana yang digembar – gemborkan, diperjuangkan di Indonesia akhir – akhir ini ?!.
Juga liberalisasi agama yang selalu berusaha mengobrak – abrik pondasi keagamaan secara membabi buta. Jika tidak kebablasan, spirit untuk terus mempelajari, mengkritisi agama merupakan angin segar bagi pengembangan tradisi keilmuan dan pengetahuan. Memang perlu ketelitian, kehati – hatian, memilah dan memilih mana hukum – hukum agama yang bersifat tetap atupun yang bisa dirubah sesuai perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
Islam  merupakan “ Organisme yang hidup “ – pinjam istilahnya Ulil Abshar Abdalla. Hidup untuk terus dikaji. Dengan begitu agama tak akan pernah mati ataupun usang.
 Konsep me-liberalisasi-kan segala aspek kehidupan ala Barat ini berkecenderungan 1 paket  dalam Neo Kolonialisme ( liberalisasi politik, ekonomi, budaya, agama ) agar superioritas  Bangsa Barat  tertancap kuat di Bangsa – bangsa non Barat. Ini lebih masalah propaganda,  bukan anti Barat membabi buta.
Indonesia dengan segala keunggulan ( geo-politik, sosial budaya, Sumber Daya Alam , jumlah    penduduk, dll ) adalah sasaran empuk, dan sekarang telah  menjadi koloni baru. Diperbudak  sadar atau tidak sadar atau  juga pura – pura tak tahu, tak mau tahu.
Konsep – konsep ala Barat harus difilterisasi, identitas kebangsaan harus ditekankan, pondasi harus diperkuat ; bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan bermartabat.


Makna “ perbudakan” pun mengalami penghalusan, “ pembantu, pelayan “. Kondisi seperti ini    dimanfaatkan betul oleh berbagai pihak,  pengiriman Tenaga Kerja Wanita ( TKW ) non formal alias Pembantu Rumah Tangga ( PRT ) dari Indonesia ke Negara – negara Arab – sebut sebagai contoh ; Saudi Arabia – seolah mengingatkan kembali sejarah lama perbudakan era Arab jahiliyah pada sisi lainnya.
Realitasnya, banyak terjadi kasus kekerasan terhadap TKW ( lebih khusus PRT ) ataupun  kasus           hukum lainnya yang menjerat mereka di negara tujuan kerja ( Saudi Arabia, Malaysia ). Kasus yang menohok harga diri bangsa. Bangsa besar yang belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi warganya sendiri. Sampai kapan ?!.
Belum lagi ditambah human trafficking, sex trafficking. Ah !.
Dengan berbagai permasalahan yang mendera TKW non formal ( PRT ) Indonesia, toh kita sepakat para pahlawan devisa tersebut lebih baik  ketimbang para koruptor atau pengemis pura – pura, ataupun para pejuang bertopeng di negeri ini.
Dalam sejarah di Jawa, pekerjaan pembantu ( batur, abdi dalem, dayang, emban ) tetap         (di)lestari(kan). Bukan masalah finansial yang mereka cari, melainkan dapat mengabdi pada raja dan keluarganya merupakan suatu kebanggaan. Mengabdi, melayani sang raja agar mendapatkan keberkahan hidup. Ketulusan mengabdi, melayani itulah yang menuntun pada  keberkahan hidup ( rejeki ). Kesederhanaan, ketulusan cukup untuk membeli segala kemewahan di era modern sekarang ini.
 Tak percaya ?!, sesekali datang dan tanyalah para abdi dalem di Kraton Ngayogyakarta dan Kraton Surakarta. Jika cukup jeli, realitas seperti ini banyak ditemui diberbagai tempat. Lalu apakah kita akan mengukur segalanya dengan logika saja ?!.   


II.         Menarik untuk menyimak peranan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis keturunan Ali Bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra ( Hasan dan Husein ), yang menyebar sampai ke Indonesia. Garis keturunan tersebut lazim disebut Habib ( yang tercinta ), Sayyid ( tuan ), Syarifah ( yang mulia ), sedangkan untuk penyebutan bagi keturunan perempuan ; Habibah, Sayyidah, Syarifah.
Moyang mereka berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Keturunan para Habaib ( jamak ) di      Indonesia dikelompokkan kedalam sejumlah famili ( fam ), antara lain ; Shihab, Shahab, Assegaf, dll. Tidak semua keturunan Arab bisa disebut Habaib.
Hubungan antara penduduk pribumi dengan pendatang, keturunan membentuk kompleksitas dalam kerangka kebudayaan. Keturunan Etnis Arab menempati ruang tertentu di Yogyakarta, dikenal dengan Kampung Sayidan ( asal kata ; Sayyid ).
Transfer, filterisasi, asimilasi, akulturasi Budaya Arab dan ajaran Islam dengan Budaya Jawa di Yogyakarta menambah kemajemukan kota pelajar dan budaya tersebut.
Adapun Toponimi kampung – kampung di Yogyakarta terbagi dalam ;

1, Jeron Beteng

Merupakan kawasan yang terdapat didalam kompleks Kraton Yogyakarta. Daerah tersebut dinamai berdasarkan keahlian abdi dalem, kampung – kampung itu dulu merupakan tempat tinggal abdi dalem yang mengurusi urusan rumah tangga keraton sehari – harinya.
Kampung Mantrigawen ( tempat tinggal abdi dalem kepala pegawai ), Gamelan ( tempat tinggal abdi dalem pembuat tapal Kuda ), Siliran ( tempat tinggal abdi dalem yang bertugas menyalakan lampu penerangan ) , Namburan ( tempat tinggal abdi dalem yang membunyikan Gamelan Jawa ), Patehan ( tempat tinggal abdi dalem pembuat teh ), Nagan ( tempat tinggal abdi dalem penabuh Gamelan Jawa ).

2.         Jaba Beteng

Kawasan yang terdapat diluar kompleks Kraton Yogyakarta. Kampung Pajeksan ( tempat tinggal para jaksa ), Dagen ( tempat tinggal para tukang kayu ), Gowongan ( tempat tinggal tukang bangunan ), Jlagran ( tempat tinggal tukang batu ), Prawirotaman ( tempat tinggal Prajurit Pasukan Prawirotomo ), Mantrijeron ( tempat tinggal Prajurit Pasukan Mantrijero ), Wirobrajan ( tempat tinggal Pasukan Prajurit Wirobrojo ), Bugisan ( tempat tinggal Pasukan Prajurit Bugia ), Patangpuluhan ( tempat tinggal Pasukan Prajurit Patang puluh, 40 ), Jogokrayan ( tempat tinggal Pasukan Prajurit Jogokaryo ).


3.         Seiring pluralitas penduduk di Jogja, tahun 1990-an muncul kampung – kampung di Jaba Beteng. Kampung – kampung terbagi berdasarkan etnis.

Kampung Kranggan di Utara Tugu Yogya dan Kampung Pecinan di Selatan Malioboro dulu didiami oleh Etnis Tionghoa, Kampung Sayidan ditinggali keturunan Arab, Menduran kampungnya Orang Madura, Loji Kecil yang terletak didekat Benteng Vredeburg, Kotabaru yang terletak di Timur Laut Malioboro dan Sagan didekat Jalan Solo merupakan tempat tinggal Orang – orang Eropa, khususnya Belanda.
Seiiring perkembangan dan pembangunan, sekarang kampung – kampung tersebut sudah tidak sesuai dengan penamaannya ataupun beralih fungsi. Kampung Prawirotaman sekarang telah ramai dengan banyaknya  penginapan yang lebih sering dihuni oleh turis manca negara, juga banyak tempat yang menjajakan souvenir khas Jogja. Sayidan lebih dikenal sebagai pusat aktivitas para musisi jalanan di Jogja. Tak perlu takut kesasar menuju Sayidan, cukup dengarkan lagunya Shaggy Dog berjudul “ Sayidan “.
Kita pun masih bisa menikmati kekhasan Kampung Kranggan melalui pesona pasar  tradisional yang bersaing ketat dengan toko – toko modern dan penginapan.
Pada realitas seperti inilah, identitas kedirian, lingkungan keseharian, dan globalisasi tumpang tindih, bertempur, bergulat begitu panasnya membangun peradaban. Hal tersebut tak ayal merupakan bagian dari  mobilitas secara materi dan non materi, vertikal dan horisontal.
by Facebook Comment

Artikel Terkait

1 komentar:

  1. Sebagai cover all side, perlu saya tambahkan informasi untuk melengkapi footnote ke-2.

    Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementrian Hukum dan HAM menetapkan DIY sebagai kawasan berbudaya Hak Kekayaan Intelektual ( HKI ). Diberikan kepada : Kraton Jogja, Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, Institut Seni Indonesia, Kanwil Kementrian Hukum dan HAM DIY, dan 5 kabupaten atau kota di DIY. Sertifikat HKI diberikan pula kepada indikasi geografis Salak Pondoh, Sleman, DIY.
    Penghargaan itu diberikan langsung oleh Menkumham Amir Syamsuddin di Bangsal Srimanganti, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Selasa ( 27/8 ).
    Direktur Jendral HKI Prof. Ahmad M Ramli mengatakan, penghargaan itu diberikan juga karena peran mereka dalam meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat mengenai peranan dan kontribusi kekayaan intelektual dalam perekonomian, kebudayaan kemajuan masyarakat di wilayah tersebut.
    Terhitung sejak 2012, Ahmad mengatakan Dirjen HKI menerima permohonan 632 HKI dan terbanyak adalah dari DIY, yakni 268 permohonan sendiri diajukan lewat Kanwil Kemenkumham DIY.
    Dengan ditetapkannya DIY sebagai kawasan HKI, Ahmad mengatakan pihaknya menggratiskan pemerolehan HKI sampai Desember 2013.
    Sri Sultan Hamengku Buwono X, Raja dan Gubernur DIY mengatakan, selama ini banyak pengetahuan tradisional yang dicuri olah peneliti untuk entri point penelitian mendapatkan paten. Pengetahuan tradisional itu penting bagi kehidupan manusia seperti pengobatan, kuliner dan pertanian.

    ( Sumber : Andreas Tri Pamungkas. 2013. “ DIY Kawasan Berbudaya HKI “. Dalam : Harian Jogja, Edisi 1857, Rabu Wage, 28 Agustus 2013, h. 1. Yogyakarta : PT Aksara Dinamika Jogja ).

    BalasHapus

Komentar anda akan memperkaya wawasan.