Social Icons

Kamis, 11 April 2013

Religiusitas, Keberagaman dan [ DIS ]



Religiusitas1 dan keberagaman oleh Metropolelightberry2 didekati melalui bagaimana subjek menghargai ketidakmampuan. Tema [ DIS ] diangkat dari kata disability, yang berarti ketidakmampuan. Bagi Metropolelightberry, apabila kita memposisikan diri sebagai kaum difabel, tentu akan tidak sangat mngenakkan dianggap sebagai individu yang tidak mampu. Kata [ DIS ] memiliki sifat konotatif, yang seharusnya sudah tidak lagi digunakan. Menurut kelompok ini, sudah saatnya kita memiliki empati dan membuang jauh judgment konotatif terhadap disabel.


Catatan Kuratorial Workshop [ DIS ]


Parallel Events, Disabel
The working team of [ DIS ] project with the students and the teachers
at The Special-Needs Public School, SLB Negeri I Bantul

Source  Post Event Catalogue Parallel Events and Festival Equator Biennale
Jogja XI Equator #1

8 November 2011, hari pertama workshop seni rupa dalam rangka kegiatan [ DIS ] Pararell Event Biennale XI di SLB ( Sekolah Luar Biasa, State Special School ) Negeri I Bantul diawali dengan ketegangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB sedangkan para seniman dan pemateri belum tiba. Anak - anak siswa SLB sudah gelisah menunggu di Sanggar Kaliba dan Studio Batik, 2 sanggar seni yang terdapat di kompleks sekolahan tersebut. Antusiasme akan workshop terpancar dari tingkah mereka. Bahkan, terdengar celoteh dan pertanyaan yang polos khas anak – anak yang bertanya pada sebagian kurator kegiatan workshop ini, “ Pak, kapan sih mulainya ? Ga dateng – dateng gurunya “...Meyra, salah satu siswa Autis bahkan terlihat kesal dan menggerutu karena dia memang paling semangat akan kegiatan workshop seni rupa ini. Segala peralatan gambar sudah ia keluarkan dari tasnya.tak lama kemudian datanglah para seniman dengan amunisi lengkap, anak – anakpun berubah gembira.

Parallel Events, Disabel
[ DIS ] working team with one of the resource persons
in a workshop session

SourcePost Event Catalogue Parallel Events and 
Festival Equator Biennale Jogja XI Equator #1
Hari pertama pemateri yang terlibat seniman dari Studio Grafis Minggiran, untuk mengajarkan seni grafis dan Sanggar Caping yang mengajarkan seni lukis. Studio Grafis Minggiran, mengajarkan seni grafis dengan teknik yang sederhana yaitu Collagraph Print ( kolase yang kemudian dicetak diatas kertas ). Sedangkan Sanggar Caping mengajarkan seni lukis dengan pendekatan teknis seni grafis, menggunakan sikat gigi dan Kentang sebagai media untuk Stamp Print. Semua pemateri terlebih dahulu berkonsultasi pada kurator dan guru seni rupa di sekolah tersebut untuk pengkondisian tentang materi yang akan diberikan, yang menyangkut hal – hal teknis agar mudah diserap dan dipraktikkan para siswa disabel.
Tema maupun konsep visual karya, rata – rata akan mengangkat hal – hal keseharian yang mudah diingat dan dicerna oleh para peserta, sepert bunga, hewan, bintang, dan sebagainya. Jadi dalam pelaksanaan, proses kolaborasi yang diharapkan dapat berjalan dengan maksimal. Tidak ada indoktrinasi maupun intervensi dari seniman kepada peserta. Para siswa dibebaskan untuk berkarya sesuai dengan tema yang diarahkan pemateri, dan mereka bebas bereksplorasi untuk menuangkan tema dan idenya tersebut ke atas media yang diberikan.
Saat praktik, mereka terlihat menikmati proses berkarya karena mendapatkan pengalaman baru dari teknik – teknik yang dikenalkan serta diajarkan para pemateri. Proses workshop seni lukis dan seni grafis ini berlangsung selama 2 hari. Tahap pertama merupakan tahap pengkondisian yaitu pengenalan akan media, bercerita akan tema yang diangkat, bermain – main agar tahap berikutnya yang merupakan finishing karya dan banyak membutuhkan ketekunan, para siswa difabel tidak cepat bosan dan gembira saat menyelesaikan karyanya.

Hari berikutnya dengan pemateri yang berbeda, yaitu para seniman dari Thedeo Mix Blood yang memberikan materi seni assemblage dengan judul Flour a Sense menggunakan media tepung : bahan dasar pembuat kue dan mainan bekas sebagai eksperimentasi bahannya. Terlihat antusiame dari anak – anak yang semakin meningkat, terlebih produk akhir yang ditawarkan dari proses workshop ini berupa mainan. Komunitas ini menggunakan pendekatan yang sangat dekat dan cair dengan para difabel ; mungkin ada pengalaman terdahulu saat mereka juga pernah memberikan workshop disalah satu komunitas difabel di Yogyakarta. Kepolosan dan kenaturalan dari tingkah laku dan pola pikir mereka yang ditangkap oleh pemateri, menjadikan tema yang diangkat dalam karyanya yaitu fantasi mengarah ke absurd. Siswa dengan seenaknya menempelkan bagian – bagian tubuh robot, mobil dan mainan lainnya yang dikonstruksikan kembali menjadi satu bentuk yang berbeda dan sangat otentik. Begitulah mereka mengolah rasa, melewati batas – batas logika, dan cenderung banyak melibatkan sisi intuitifnya. Kejutan yang dihasilkan dari seni assamblage ini memang tidak terduga, karena hasil karya satu dengan yang lainnya tidak ada yang serupa.

Relegiusitas, keberagaman dan Disabel

Naif, penuh fantasi hingga rasa motivasi untuk menjadi yang terbaik terlihat dalam karyanya. Adanya beberapa elemen seperti senjata pada karya seninya dapat dimaknai bahwa mereka membutuhkan perlindungan dari lingkungan sosialnya yang banyak terdapat diskriminasi.
Motivasi untuk menjadi yang terbaik terlihat dengan tidak adanya karya yang serupa dan percaya bahwa karyanya sendiri yang terbaik, sehingga mereka berlomba – lomba secara senang dan penuh totalitas membuat karya yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Itulah inti yang didapat dari proses berkesenian, dimana saat membuat karya tidak ada tekanan dan dibuat dengan rasa senang.

Teapot Experince, kelompok seniman yang memberikan materi workshop seni keramik yang mengangkat tema cita – cita dan harapan. Para siswa diajak kolaborasi dengan seniman untuk menceritakan tentang cita – cita yang ingin mereka raih dalam bentuk visual 3. Media yang digunakan sebagai transformasi cerita mereka adalah tanah liat. Bentukan visual yang sederhana hingga rumit, terlihat penuh makna dan cerita tersendiri. Semuanya sangat menikmati dari tahap awal bercerita, bermain dengan tanah liat, proses pengerjaan seni keramik, sampai hasil akhir yang ternyata mengejutkan dan luar biasa.

Workshop terakhir yang saya ikuti di SLB Negeri I Bantul adalah seni tari dan teater. Tahap pendekatan dan pengkondisian yang dilakukan oleh Giri Mustika ( pemateri teater ) lebih pada humor dan parodi teatrikal yang diinterpretasikan kedalam bentuk pertunjukan pantomim. Tema yang diangkat adalah bencana Merapi dan lahar dingin yang pernah mereka alami sebelumnya. Diharapkan dengan sesuatu yang pernah mereka alami, dari pengalaman traumatis yang mengendap, akan menjadi pengalaman estetis yang mereke ekspresikan kedalam teater. Giri yang penuh humor dalam proses pengajarannya, menjadikannya dekat dengan anak – anak, membuat kelucuan diantara mereka, dan saat berakting teater terlihat tidak ada kecanggungan dari mereka. Semuanya lepas, bebas melepaskan semua ekspresi, dan itu menyenangkan bagi mereka.

Performance by students of The Special-Needs Public School
SLB Negeri I Bantul, during the opening of [ DIS ] exhibition,
Decenber 11, 2011
Source
Post Event Catalogue Parallel Events and Festival
Equator Biennale Jogja XI Equator #1

Adapun Gita Kinanthi dan Rara--- panggilan akrab Ariyanti Sultan, yang menjadi pemateri seni tari --- lebih memperhatikan tingkat ketunaannya sebagai pendekatan proses, dan lebih bertumpu pada pendekatan secara personal. Dari pendekatan personal tersebut kemudian dileburkan dalam bentuk pertunjukan tari komunal dengan musik sebagai pengiringnya. Siswa Tuna Rungu belajar dengan ketukan dan melihat ketukan musik dari tepukan tangan pemateri. Rasa antusias mereka dalam belajar tari merupakan nilai yang penting hingga masuk ke tahapan proses kolaborasi.

Workshop lainnya adalah videografi. Andre Triadi dan Andri Yani, seniman video adalah pemateri yang memberikan workshop pada Komunitas Gerkatin, Komunitas Tuna Rungu di Yogyakarta. Bagus, selaku ketua komunitas tersebut menjadi penerjemah dari materi yang disampaikan Andre dan Andri. Pendekatan materinya lebih kepada interpretasi mereka pada tema yang diangkat. Mereka dilebur dalam kelompok – kelompok kecil, kemudian memaknai tema tersebut untuk dituangkan dalam story board. Mereka belajar menulis skenario, memainkan peran, belajar teknik mengambil gambar dengan menggunakan kamera video, dan ada yang berposisi sebagai sutradara. Semua dibebaskan untuk mengekspresikan gagasannya, bereksperimen dengan media rekam, dan ini menjadi pengalaman baru yang mengasyikkan bagi mereka walaupun hanya dalam waktu singkat, yakni 2 hari.
Dalam proses keseluruhan semua peserta yang terlibat dari pihak difabel, guru serta seniman terlihat semangat, gembira dan antusias. Mereka juga mendapatkan suatu pengalaman baru yang sangat berharga dalam berkesenian.

Seniman, Difabel, Perspektif

Seniman mempunyai substansi tertentu dalam menyikapi persoalan – persoalan yang mereka hadapi dan mentransformasikan dalam bentuk karya, baik berupa karya visual maupun pertunjukan. Kami menangkap hal – hal substantif tersebut berupa wujud yang sifatnya transendental, kognitif, kontemplatif, maupun ekspresi subjektif. Dalam [ DIS ] Pararell Event Biennale XI ini, kami berhadapan dengan situasi ketika empati memiliki pengaruh bagi seniman untuk menerjemahkan proses kreatif mereka melalui workshop kolaborasi maupun melalui pengendapan yang berakhir pada eksekusi karya untuk merespon tema [ DIS ].

Proses kerja kuratorial melalui skema diagramatikal, yang menempatkan pemikiran – pemikiran dasar para seniman serta rekan – rekan difabel ditangkap dan diserap melalui observasi, diskusi, dan dokumentasi. Pada akhirnya kami menemukan metode seniman dalam menyikapi persoalan [ DIS ] melalui proses kreatif mereka. Dengan berbagai pertimbangan tertentu, Mahdi Abdullah seniman yang memiliki cara pandang pemikiran stereotip Aceh, berusaha mendiskripsikan kekerasan dan konflik didalam karyanya. Instalasi karya Mahdi Abdullah, secara implisit bercerita tentang bagaimana negara berpengaruh terhadap difabilitas, akibat konflik yang diciptakan. Di sisi lain, Indra Basok berusaha menggambarkan harapan dan do`a melalui karya seni video dan pertunjukan. Chozin Mukti dan Putu Astagiri, mencoba mengolah sisi empati dalam karya seni bunyi dan musik eksperimental yang diolah melalui pertunjukan orchestra melibatkan penonton difabel, khususnya Tuna Rungu. HONF ( House of Natural Fiber ) yang telah malang melintang di seni media baru, berbagi pengalaman melalui dokumen, dan arsip mereka, kerja sama HONF dengan YAKKUM yang mencapai satu dasawarsa merupakan sebuah perjalanan yang cukup lama, dan merupakan sebuah kolaborasi unik antara seniman dan difabel.
Sudut pandang seniman asing yang cukup lama berdomisili di Indonesia, dalam merespon [ DIS ] juga layak diangkat, untuk memperluas sisi subjektifitas seniman. Andi Stiller, seniman yang berasal dari Jerman dan kini bekerja di Yogyakarta, mengangkat sisi perkembangan dan keindahan dari perbedaan, yang diolah dari instalasi cahaya. Sedangkan Lucie Wednesday, seniwati dari Republik Ceko memiliki pengalaman yang layak untuk dibagi melalui karya instalasi tangga dengan penempatan yang `nakal` dan konsep paradoksal. Proses – proses kreatif tersebut, dengan paradigma yang beragam dari seniman memang tidak dapat diambil, diterapkan ataupun dikembangkan secara langsung. Namun kita juga tidak dapat memprediksi, bagaimana efek yang tercipta dari karya – karya seniman dalam menyikapi persoalan [ DIS ].

Perhelatan [ DIS ] pun akhirnya terselenggara dari tanggal 11 – 17 Desember 2011 dengan maksimal, kerja keras proses kolaborasi antara seniman, difabel serta karya seniman undangan yang dipamerkan serta dipertunjukkan, mendapat apresiasi dari semua pihak, antara lain ; seniman, pecinta seni, budayawan, juga masyarakat umum. Semua mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari kegiatan ini, yaitu membuka perspektif baru, menumbuhkan rasa empati dalam keberagaman, saling menghargai, serta berkesenian tanpa batasan. Mereka berhak untuk menjadi kreatif dan berkarya seni.
[ DIS ] semi-permanent gallery at the south town square of  Yogyakarta Palace
Source : Post Event Catalogue Parallel Events and Festival Equator
Biennale Jogja XI Equator #1

( Tulisan “ Religiusitas, Keberagaman dan [ DIS ] “ diadaptasi dari ; tulisan “ [ DIS ] “, dalam 
Post Event Catalogue Parallel Events and Festival Equator Biennale Jogja XI Equator #1, halaman 74 – 81 ).


Catatan Akhir “ Religiusitas, Keberagaman dan [ DIS ] “ ;
Sengaja saya tambahkan catatan sebagai penjelas.

1 Pengertian religi sering terkacaukan dengan istilah agama, pada hal kedua istilah itu tidak identik. Religio, dari kata Latin relego yang artinya memeriksa lagi, menimbang – nimbang atau merenungkan keberatan hati nurani ( Purwodarminto, 1969 ). Relego umumnya diartikan menimbang kembali atau prihatin tentang sesuatu. Hal itu dapat dibandingkan dengan ucapan Cicero ( dalam Mangunwijaya, 1982 ) yang berarti ; orang disebut religius bila rajin mempelajari dan seolah serba prihatin tentang segala yang berkaitan dengan kebaktian kepada para dewa.
Ada yang berpendapat, religio berasal dari kata religo ( menambatkan kembali ). Mangunwijaya akhirnya memberi kesimpulan bahwa bagaimanapun manusia yang berhati nurani serius, saleh, teliti dalam pertimbangan batin, dan sebagainya. Jadi belum menyebutkan menganut agama tertentu.
Paul Tillich ( dalam Arif Budiman, 1976 ) mengemukakan bahwa seorang religius tidak harus menganut agama tertentu, seperti Kristen, Islam dan Hindu. Seorang yang religius dan mereka yang mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh dari pada batas – batas lahiriah saja. Dia adalah orang yang berusaha bergerak dalam dimensi yang vertikal dari kehidupan ini, dia berusaha mentransendir hidup ini. Dia bisa memeluk agama tertentu, tentu saja hal ini bukan suatu keharusan, karena meskipun seorang sudah menganut agama tertentu dia bisa saja tetap tidak religius. Oleh karena itu Mangunwijaya menghimbau agar religius jangan kontan dihubungkan dengan ketaatan ritual. Antara religiusitas dan perikemanusiaan tidak sama, tetapi secara esensial erat hubungannya.

Lihat selengkapnya ;
Jabrohim, ___ . Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib ; Sebuah Kajian Sosiologi Sastra. Yogya : Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Pusat Aktivitas dan Study Sastra Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ( halaman 14 – 16 ).

2 Metropolelightberry dibentuk di Yogyakarta oleh Eko Bambang Wisnu, Farhan Adityasmara, Iqi Qoror, dan Theresia Agustina Sitompul. Para seniman ini belajar di Institut Seni Indonesia, Yogya dari berbagai jurusan seni seperti lukis, grafis, dan fotografi. Mereka memiliki minat yang sama dalam seni media baru dan bekerja dengan media eksperimental.

3 Tentang visualisasi dan The law of Attraction, baca lebih lengkap dalam ; Byrne, Rhonda, . The Secret. Jakarta : Gramedia.
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.