Marilah sejenak kembali ke alam selepas Lebaran ini. Yang seharusnya Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia, sekarang Sumber Daya Alam versus Sumber Daya Manusia. Hopo tumon ?!.
Konservasi alam sudah dirasa begitu pentingnya sampai pemerintahpun perlu menjadikan kegiatan tersebut sebagai bagian integral dan berkesinambungan dalam proses pembangunan di tanah air . Termaktub dalam Undang Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.
Semua unsur-unsur yang berada di alam merupakan sahabat dekat bagi peradaban manusia. Nilai-nilai kearifan lokal, menempatkan penghargaan terhadap alam juga harmonisasi manusia, alam dan Tuhan.
Penyebab itu semua menurut saya, bermula dari tingkat pertumbuhan penduduk yang tak terkendali (over populated). Artinya, kebutuhan manusia menjadi ancaman bagi ekosistem itu sendiri. Buntutnya, terjadi seleksi alam. Manusia dengan segala kearifan didukung ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjaga alam tetap lestari bagi generasi mendatang. Menjaga, memanfaatkan dengan mengolah tanpa eksploitasi yang berlebihan yang berdampak pada alam itu sendiri juga kelangsungan makhluk hidup.
Yunitasari Amalia
Konservasi marak diperbincangkan saat manusia merasa kehilangan hal yang pernah dia rasakan dengan alam, seperti yang terjadi di Inggris saat gencar dalam revolusi Industri: fenomena "The Silent Spring" dan kabut asap di pagi hari.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sangat diperlukan dalam mengembangkan program konservasi alam, seperti kultur jaringan tanaman untuk perbanyakan tanaman. Pada dasarnya, IPTEK seperti pisau. Mari pertajam pisau untuk memasak !.
(Diambil dari Catatan Facebook Panji Cybersufi dengan revisi seperlunya, 31 Agustus dan 1 September 2011).
Catatan
Sejarah Samin : Geger Samin
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.
Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengmbangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, yaitu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan beliau meninggal di luar Jawa tahun 1914. Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya di distrik Jawa, Madiun. Orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan. Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial Belanda menaikkan pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.
Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan polisi di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh.
Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan berjudul Serat Punjer Kawitan, disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto. Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang waktu kecilnya bernama Raden Kohar , adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara lain.
(Sumber : www.blorakab.go.id/03_Samin.php diakses pada 10 Agustus 2014, pukul 20:44:34)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.