Aku tlah buang jam tanganku, kini tanganku hampa. Akan kuhitung perjalaanan dengan napasku saja.
Dengan langkah gontai kugulung lengan baju, terasa merinding tercekam kehampaan.
Dengan atau tanpa waktu, tanganku tetap hampa. Berjalan tanpa senjata. Bukan, memang aku bukan hendak pergi perang atau pesta.
"Aku tlah lewati jalan ini" bisikku
Remang bayang-bayang
Aku tlah buang arloji itu, yang menyimpan angka-angka cantik, detak detik yang mendetak misterius, seperti angka-angka suci, sebuah perhitungan mutlak !.
Orang sudah tak tanya lagi, "Jam berapa sekarang ?!" sebab jam tanganku tlah kubuang
mereka pikir aku gila, "Jam berapa kau buang arlojimu ?!"
Mereka mengumpulkan angka demi angka untuk dijadikan bilangan lalu rumus-rumus persamaan
Jam analog lalu jam digital mengurung ruang dalam perputaran
Aku masih melangkah gontai menyaruk-nyaruk debuan basah, rumput-rumput jarum kering menjarum pada ujung celana hitam seolah menusukkan angka-angka suci.
Aku akan berjalan tanpa jam sebab jam-jam biologis hapal kerutinan dan mampu menjawab tepat, "Jam berapa sekarang ?!".
Siapa lagi memunguti mengumpulkan waktu kedalam arlojiku ?!
Jam ini tak mau lepas dari pergelangan tangan padahal tlah kukosongkan angka-angkanya, kulonggarkan lingkarannya agar mudah mbrojol tapi lagi-lagi angkanya masih suci, perawan, pejal mencengkram kulit-kulit tipis bukankah angka juga elastis ?!
Waktu dipepat bulatkan diremas-remas menjadi putaran lingkaran diremas-remas menjadi gas, napas-napas kita.
Bagaimana ini, aku sudah jalan jauh untuk membuang arloji
Mengapa ia pas betul dikulit, bulu-bulu bahkan menerimai, kulit ari membekasi.
Keparat !
Atau kupotong saja tanganku, tapi bagaimana musti melambaikan tangan perpisahan atau cium jauh segenap bayangan ?!
O ya, aku masih punya satu tangan, tapi bukankah ia sama-sama hampa ?!
Jogja, 21 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.