Social Icons

Rabu, 10 April 2013

NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional II


Dalam tulisan sebelumnya telah diuraikan asal - usul Orang Nias.

Proses Asimilasi dan Akulturasi : Hubungan Antar Etnik

Hanya dengan memahami proses diatas kita dapat meletakkan dasar asal – usul Orang Nias sekarang ini :
  1. Masa Mesolitikum ( Neolitik-Megalitik ) Pulau Nias telah dihuni oleh pendatang migrasi gelombang pertama yang dalam tradisi Hoho disebut sebagai orang yang tinggal dibawah tanah ( aro Dano ). Dengan postur tubuh kecil, warna kulit kehitam – hitaman ( ciri khas Weddid ), rambut ikal hingga keriting. Arkeologis, peninggalan mereka terdapat di gua – gua ( bawah tanah ) yang sekarang merupakan situs arkeologis-historis di Nias. Mereka ini disebut “ orang asing “, “ manusia bawah tanah “ ( ndrawa, aro dano ). Kita temukan peninggalan – peninggalan purbakala seperti peralatan dari batu dan serpihannya ( sebagai alat pukul ), bekas abu pembakaran dan berbagai fragmen tulang dan lain sebagainya. Budaya ini mirip dengan Budaya Paleotikum ( Hoabinh ) di Vietnam dan Thailand 5. Manusia yang tinggal dibawah tanah ( gua ) ini kemudian dalam mitologi dan religi di Nias dikaitkan dengan dewa bawah ( tanah ), yaitu Laturedano.

Asal usul Orang Nias
Lobo memanjat pohon dan ranting bambu untuk
 masuk ke pintu masuk utama gua
Foto : The Gentle Tasaday, New York, 1975.
  1. Sekitar 4000 tahun lalu ( Mesolitikum ) tiba di Nias gelombang migrasi kedua, kelompok Paleo-Mongolide. Seperti disebut sebelumnya, Ono Niha menyebut mereka sebagai manusia yang tinggal dan hidup diatas pohon. Mereka adalah kelompok Bela ( putih ) atau Ono Mbela ( anak manusia yang putih ). Kulit mereka memang relatif putih jika dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam tradisi Hoho, mereka ini mereka dikatakan menghilang karena terdesak oleh pendatang yang lebih kemudian. Ono Mbela diceritakan sebagai roh yang berdian di pohon – pohon atau Liana ( sarana untuk turun ) 6. Hal ini kemudian menjadi bagian sistem religi Masyarakat Nias, bahwa pohon dihuni dan dijaga oleh Ono Mbela.

  1. Pendatang ketiga, sebagai pendatang yang paling dominan di Nias adalah mereka yang datang masa Neo litikum sekitar 1500 SM. Mereka berasal dari Cina Selatan dengan membawa Budaya Dong-son ( Annam ) dengan ciri budaya ( telah mengenal ) bercocok tanam, memelihara Babi, Anjing, Ayam, pandai besi dan emas dan berkebun kelapa, dan lainnya. Dalam perjalan mereka dari negeri asalnya sebagian dari mereka tinggal diberbagai wilayah di daratan Benua Asia Tenggara dan membentuk kelompok tersendiri. Kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat hingga membentuk identitas tersendiri. Sebagian melanjutkan perjalanan ke berbagai wilayah Asia Tenggara lainnya, termasuk Nias. Ciri khas mereka berbeda dengan pendatang sebelumnya, yaitu ciri Mongoloide yang menonjol. Dalam Mite Nias, mereka disebut “ manusia dari atas “ ( Teteholi Ana`a ) dengan mengambil simbol keagamaan sebagai Lawalangi.
Ono Niha : Analisis Etno-Sosiologis

Untuk memahami secara lebih baik keberadaan Penduduk Nias sekarang ini, kita harus membahas proses asimilasi dan akulturasi diatas.

  1. Analisis berdasarkan Hoho saja tidak mencukupi, mengingat rentang waktu yang begitu lama ( ribuan tahun ). Kita dapat katakan bahwa semakin tua ( lama ) proses itu berlalu, semakin kabur dan rancu kisah masa lalu. Apalagi cerita yang termuat dalam Mite di Nias disampaikan secara lisan ( tradisi oral, dari mulut ke mulut, generasi ke generasi ). Kita juga perlu mencatat bahwa dalam cerita rakyat ( mitos ) selalu terkandung nilai – nilai kebenaran.

  1. Ketiga gelombang migrasi ke Asia Tenggara dan yang kemudian menjadi penduduk Pulau Nias menunjukkan berbagai perbedaan, baik postur tubuh ( fisik ), warna kulit dan kebudayaan mereka. Sangat mungkin jumlah pendatang yang kemudian lebih banyak ketimbang sebelumnya demikian juga tingkat peradabannya.

  1. Dari perspektif Hoho, pendatang gelombang kedua ( Ono Mbela ) menyatakan bahwa pendatang pertama ( manusia gua ) menghilang begitu saja, entah kemana. Demikian juga pendatang ketiga menyebutkan bahwa pendatang kedua juga tidak diketahui kemana rimbanya.

Tasaday, sejarah Nias
Tasaday pada pintu masuk ke gua
milik Balayam

Foto : The Gentle Tasaday, New York, 1975.
Proses dan kejadian sejarah diatas hanya mungkin dijelaskan secara Etno- Sosiologis, yaitu telah terjadi “ asimilasi-bertahap “ atau pembauran antar etnik demikian juga sistem sosial-kulturalnya, bahasa yang melahirkan berbagai logat ( idiom ), perubahan bentuk fisik dan sistem kepercayaan lainnya. Artinya : pendatang pertama berasimilasi ( dan ber-akulturasi ) dengan pendatang gelombang kedua ( yang lebih “ berbudaya “ ), jumlah lebih banyak atau kuat dari pendatang pertama. Pembauran atara pendatang pertama dan kedua kemudian di occupied oleh pendatang yang lebih maju, lebih banyak dominan dalam berbagai hal. Sesuai dengan teori maka hasil dari seluruh proses asimilasi dan akulturasi dalam tahapan waktu yang panjang diatas adalah penduduk Pulau Nias sekarang.
Kalau kita ingin membenarkan secara mutlak teori asimilasi yang berlangsung dalam tahapan diatas, dapat kita lihat bahwa Penduduk Nias sekarang ( Ono Niha ) pada dasarnya beraneka ragam dalam banyak hal, namun tetap memiliki kesamaan dasar yang tampak dalam kultur ( bahasa dan dialek ) yang dapat dipahami oleh semua penduduk Nias. Terdapat bahasa ( Li Nono Niha ), terdapat dialek ( Laraga atau Tello ) dan memiliki kultur Megalitik yang relatif sama, walaupun struktur dan desainnya berbeda ( misalnya antara Nias Utara-Timur-Tengah dan Selatan ) dan lain sebagainya. Persamaan ini berdasarkan garis asal usul yang sama dan lingkungan sekitarnya juga relatif sama.
Pra Pleistosen kepulauan Indonesia menyatu dengan dartan Asia dan dengan berakhirnya kala Pleistosen ( Zaman Es ) ketinggian laut naik sekitar 100 meter dan terbentuklah pulau – pulau di Asia Tenggara, termasuk Kepulauan Indonesia sekarang ini. Masing – masing penduduk hidup di pulau masing – masing, dan hubungan antar pulau, antar manusia dan antar kultur terpisah – pisah. Mengingat teknologi transportasi laut waktu itu hampir tidak memungkinkan.
Kebudayaan Megalitik di Nias mirip dengan kebudayaan Dayak ( Punan ), Flores, Sumba, Daerah Napu-Besona-Bada ( di Sulawesi Tengah ) 7, Suku Naga di Assam, Aeta di Filipina dan di daerah Poleinesia lainnya. Jejak Kebudayaan Megalitik yang paling mudah diamati berada di Nias. Sangat otentik dan lengkap berikut arsitektur dan desainnya. Misalnya terdapat Menhir yang berbentuk piramid dari batu, Dolmen, lingkaran ( geometris ) batu – batu besar, patung batu, tempat duduk ( Osa-osa, daro-daro, harefa ) dan bangunan monumental dari kayu sebagai ungkapan kompleksitas bentuk sosial dan religius, tempat upacara keagamaan dan pesta jasa ( owasa ) di Nias Selatan-Tengah dan ritual peralihan ( rite de passage ), Upacara Fondrako 8, dan lainnya.
Tradisi lain khas Kebudayaan Megalitik adalah pemotongan atau perataan gigi ( Lahozi atau Lafofo ) pada anak berusia 12 – 15 tahun laki – laki maupun perempuan, memotong kepala manusia ( Mengayau ) sebagai kurban dan kurban darah lainnya seperti untuk upacara kematian atau pemakaman seorang bangsawan. Kebudayaan dan ritual keagamaan seperti itu kita temui diberbagai belahan dunia, dan merupakan hal yang elementer. Kesamaan lahirnya kultur dalam waktu yang bersamaan, ditempat yang berbeda merupakan Elementargedanken ( A. Bastian ) 9, ide mendasar dari manusia. Artinya tidak harus ada pertemuan antara manusia dan budaya. Jadi sebagai paralelisme budaya.



Sebuah Peta Kultur Megalitik )


Catatan Akhir “ NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional II “ :

5 Bahasa yang digunakan adalah Austronesia dengan idiom ( logat ) Mon-Kmer. Mereka sudah menduduki Pulau Nias sekitar 2500-1500 SM pada Masa Pleistosen. Gelombang migrasi kedua berasal dari Cina Selatan, Yunan di Hulu Sungai Mekong, melalui Hindia-belakang. Sebagian bermigrasi ke India ( Suku Manaha dan Santali ) dan berbaur dengan penduduk setempat lalu menjadi Suku Bangsa Mon-Kmer.
Mon-Kmer adalah penamaan bagi suku – suku bangsa yang tinggal di Hindia-belakang yang memiliki kesatuan bahasa, namun secara kultural berbeda. Suku – suku ini antara lain ; Mon di Rangoon bagian Timur, Kmer di Kamboja, Khasi di Assam, Palaung di Birma ( bagian Utara Negara Schan ), Moa bagian Timur Hindia-belakang, Lawa di Utara Thailland.

6 Kita sering membaca dan mendengar tentang peri kehidupan leluhur kita era zaman batu. Mereka hidup di gua – gua ( Nias : Ndraha ) atau dibawah tanah ( Ono Ndraha ) atau tentang Bela ( Ono Mbela ) yang berumah diatas pohon yang kita ketahui dari situs peninggalan mereka ( peralatan dari batu ) atau dikatakan “ menghilang “ ( mite menurut Hoho ). Pada awal tahun 1970-an dengan ekspedisi “ Panamin “ di pedalaman Mindanao ( Filipina ) secara kebetulan ditemukan suku --- yang seharusnya “ sudah hilang “ --- yang masih eksisten dan hidup seperti zaman batu ( peralatan dari batu, tidak bercocok tanam, berburu dan mengumpulkan makanan dari hutan, dan seterusnya ) ; berumah didalam gua ( lereng bukit ) dan turun naik melalui akar ( liana ) atau pohon sekitarnya. Ciri mereka adalah Ras Paleo-Mongolide ( Weddid ) menggunakan bahasa Austronesia dengan idiom Mon-Kmer , seperti halnya bahasa pada suku – suku di Nias.
Dilihat dari kulturnya mereka ini ( Suku Tasaday ) telah “ ditinggalkan waktu “ lebih dari 2000 tahun lalu, tertutup dan terisolir, tidak terasimilasi dengan kelompok lain. Suku Toala di Sulawesi pedalaman ) --- yang sejak beberapa dasawarsa terakhir hampir tidak ditemui lagi --- perikehidupan mereka tidak jauh berbeda dengan Suku Tasaday.
Penulis berusaha untuk menemui mereka, namun gagal dan hanya meninggalkan jejaknya saja. Hal yang sama dengan Suku Dayak Punan di pedalaman Kalimantan yang `enggan` bertemu dengan orang asing ( luar ).
Sumber : Nance, John,. Tasaday. Steinzeitmenschen im Philippinischen Ragenwald. Munchen, 1977 ( Tasaday. Manusia Zaman Batu Di Hutan Tropis Filipina ).
Judul asli : The Gentle Tasaday, New York, 1975.

7 Untuk bacaan lebih lanjut tentang Kebudayaan Megalitik di Sulawesi Tengah,
lihat ; Kruyt, A.C, De West Toradjas op Midden Celebes, Deel I, Amsterdam, 1938.
Garang, J. Dunia Kulawi. Masyarakat-Budaya-Gereja di Sulawesi Tengah, Dept. Lit-bang PGI, 1983.

8 Upacara Fondrako pertama kali dilakukan oleh Hia di Gomo, sebagai awal terbentuknya lembaga “ konstitusi “ di Nias. Fondrako, sering juga disebut dengan berbagai nama sesuai daerahnya seperti fanaru gowe, fanago ana`a, fanaro ; upacara atau pesta jasa, owasa, diselenggarakan oleh seseorang dan penyelenggaranya memperoleh gelar Balugu, sebuah gelar setingkat bangsawan. Biaya ritual pesta gelar ini sangat mahal.

9 Adolf Bastian adalah Antropolog pertama yang membicarakan kesamaan dan perbedaan kultur berbagai suku yang berbeda di berbagai penjuru dunia. Adanya persamaan kebudayaan antar suku di dunia yang tidak pernah terjadi kontak sebelumnya disebabkan oleh gagasan ( akal ) yang elementar ( mendasar ) dari manusia itu sendiri ( Elementargedanken ). Sementara perbedaannya ditentukan oleh lingkungan alam dan ekologi ( sebagai penyesuaian ) disebutnya sebagai Volkergedanken ( pemikiran suku – suku bangsa ).
C.G Jung menamakan Elementargedanken diatas psikis `gambar asli ` bawah sadar yang disebutnya Archetypen ( tipe purba ) pada diri manusia.
Lihat ; Muhlmann, W.E. Homo Creator, Weisbaden, 1962, halaman 165, 167, 285.


Riwayat Tulisan “ NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional II “ ;

Sumber : Garang, Phil J., 2007. Nias Membangun Harapan Menapak Masa Depan : Studi Tentang Perubahan Sosial dan Kultural, Jakarta ; Yayasan Tanggul Bencana Indonesia ( YTBI ).
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.