Social Icons

Sabtu, 22 Juni 2013

NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional III


; Sebuah Peta Kultur Megalitik

Pola Pemukiman, Arsitektur dan Sistem Kepercayaan

Perwujudan nyata dari budaya dan kehidupan Zaman Megalitik di Nias ( terutama di Nias Selatan ) dapat dilihat masih lengkap hingga sekarang ini 10. Sering upacara serupa diselenggarakan dan dilakukan secara bersama – sama yang terdiri dari beberapa banua 11 disebut Ori. Saat itu juga upacara keagamaan berlangsung dengan menceritakan mitos kejadian ( kosmogoni dan etnogoni ), tentang pohon kehidupan, tentang dunia atas dan dunia bawah, tentang roh leluhur. Upacara dipimpin oleh ere, atau imam. Selama upacara berlangsung orang tidak boleh bekerja di ladang, dan perang antar suku ( banua ) atau desa dihentikan.
Kepercayaan kepada roh leluhur merupakan salah satu yang paling sentral dalam kehidupan Masyarakat Nias. Roh ini dipuja dan dihormati, sekaligus ditakuti. Kita dapat temukan begitu banyak patung – patung nenek moyang ( adu zatua ) yang didewakan terbuat dari batu yang monumental disetiap desa tua di Nias yang dipuja dan disembah.
Terdapat rumah tradisional yang besar, omo hada, terutama rumah raja dan struktur banua ( desa ) yang merupakan refleksi dari makro kosmos 12. Rumah dan pilarnya dibuat secara cermat dengan arsitektur yang sangat estetik ( berbentuk perahu ) hingga ke atapnya yang menjulang tinggi hingga 20 meter. Ditengah Desa Bawomatoluo ( Nias Selatan ) terdapat omo gorahua ( balai ) sebagai tempat berbagai upaacara dan ritual keagamaan disertai dengan berbagai bentuk nyanyian dan tarian. Upacara keagamaan seperti Owasa terkait erat dengan pesta peneguhan prestige tingkat sosial dan gelar, “ Feasts of merit “ , untuk itu dibuat bangunan monolitik sebagai batu peringatan bahwa pemiliknya pernah menyelenggarakan pesta tadi.
Di pulau – pulau batu dan Nias Selatan kita bisa lihat kursi mahligai dengan sandaran tangan dan punggung yang diukir berupa manusia dan buaya ( antropomorphi dan zoomorphi ). Juga terdapat lukisan dan pahatan nenek moyang dikedua lapisan belanga.
Desain interior rumah adat di Nias Selatan terdiri dari kamar ( ruang ) untuk bersama ( komunal ), terdapat ruang tidur bagi anak lelaki yang belum menikah, dan kamar bagi yang sudah menikah. Di Nias Utara misalnya di Onolimbu, berbentuk bundar dengan pola pemukiman yang sama dengan Bawomatoluo.

Stratifikasi Sosial dan Legitimasi Kekuasaan

Budaya Nias
Ksatria Nias

Salah satu ciri khas dari kebudayaan megalitik adalah kepercayaan yang dualistik-monisme, antara dunia atas ( langit ) dengan dunia bawah ( bumi ), antara makro kosmos dengan mikro kosmos. Di Nias diungkapkan antara Lawalangi dan Laturedano 13, sebagai dua dewa tertinggi, yang tinggal di Teteholi ana'a dan Laturedano sebagai penguasa dewa dunia bawah. Dewa ketiga adalah Silewe Nazarata sebagai dewa penghubung antara dunia atas dan dunia bawah.
Konon di Teteholi ana'a berkuasa seorang raja bernama Sirao yang mempunyai anak sembilan. Delapan orang diturunkan ke bumi yang kemudian menjadi asal usul anak manusia di nias, Ono Niha.
Bagi Orang Nias banua dipahami dalam 3 pengertian ;

  1. Sebagai refleksi dari Teteholi ana'a ( langit )
  2. Sebagai desa atau kampung ( bumi )
  3. Sebagai kelompok manusia yang tersusun yang dipimpin oleh seorang Salawa

Banua dipimpin oleh seorang Salawa ( yang tertinggi dan berkuasa ) sebagai refleksi dari penguasa kosmos. Ia dibantu oleh orang – orang yang disebut sebagai Tambalina. Para Tambalina ini membentuk kelompok yang disebut sebagai Ono Zalawa ( seperti hanya gentry di Inggris, Lehnsmann di Jerman ).
Oleh banyak hal banua ini membentuk semacam federasi yang disebut sebagai Ori yang dipimpin oleh Si 'ulu ( yang berkuasa, mengepalai, memimpin ) atau Tuhenori.
Kelompok lapisa terahir ( ketiga ) adalah Sifao ( yang turut serta ) dan Solo'o ( pengikut ), Sato ( massa ) atau Sihono ( ribuan ) 14.
Stratifikasi sosial diatas terkait masalah kekuasaan, Macht und Herrschaft, kekuasaan dan otoritas, yang dalam konteks Nias dapat dikategorikan sebagai Tradisionale Herrschaft ( Max Webber ), kekuasaan tradisional yang legitimasinya diperoleh dari dan berdasarkan tradisi yang dipatuhi bersama 15. Kekuasaan ini diwariskan berdasarkan keturunan dan kesakralan tradisi, dan perintahnya dipatuhi sebagai sebuah prinsip yang berifat imperatif. Atas dasar ini tidak ada lagi persamaan natar manusia.
Bahkan dalam derajad sosial yang sama pun terdapat perbedaan, yaitu berdasarkan jenis kelamin : kehidupan publik, kultus dan perang, hukum dan upacara, pewaris jabatan, pemimpin banua, tau Ori merupakan ' wilayah ' dan kewenangan laki - laki ( mulier taceat in ecclesia ).
Tentang pembagian kerja lainnya antara keduanya tidak begitu jelas dan hanya digambarkan secara umum : kaum laki – laki bekerja dibidang yang terkait dengan peternakan ( hewan ) dan berburu, sedangkan perempuan dibidang yang menyangkut pertanaman ( pertanian ).
Jika kita amati dan analisis pembagian kerja ini maka secara hipotesis dapat dikatakan bahwa pekerjaan perempuan lebih berat ketimbang laki – laki.
Semua makhluk hidup mempunyai peringkat ini, dan manusia adalah yang paling menonjol, valuing animal, paling pandai menilai berdasarkan skala yang berbeda. Pada masyarakat tradisional Nias perbedaan antara kaum bangsawan dan yang bukan bangsawan tidak saja oleh kelahiran, tetapi juga beda dalam penampakan, misalnya deformasi pakaian, perhiasan atau ornamen, tata letak dan bentuk rumah tinggal, tempat duduk, bentuk dan warna senjata, dan berbagai ritus dari lahir hingga upacara pemakaman.
Hubungan antara kaum aristokrat dengan rakyat biasa seperti layaknya hubungan antara kreditor dan debitor : petani asal bangsawan meminjamkan barang, ternak atau uang, kepada rakyat biasa dan lama – kelamaan tidak dapat dibayar dan menjadikannya tetap debitor dan tergantung. Oleh kareni itu sering mereka dipekerjakan kebun atau ladang orang ningrat, dan bagi kaum bangsawan tadi hal ini merupakan simbol dan prestige tersendiri.
Otoritas kekuasaan tradisional seperti itu tumbuh subur di lingkungan masyarakat feodal-agraris, dimana mereka sebagai tuan tanah, dan golongan bawah menjadi pekerja. Hubungan antara para aristokrat ( Bahasa Yunani : pemerintahan orang – orang terbaik ) dengan golongan non-bangsawan terjalin seperti patron dan klientel. Di Jerman hubungan ini seperti antara Herr ( tuan, penguasa, pemilik ) dan Vasal ( pengikut ) atau Lehnsmann. Sistem ini diperkirakan dimulai di Inggris pada abad ke-9, dibagian Eropa lainnya lebih kemudian dan berakhir di penghujung abad 17 16.
Stratifikasi sosial dan legitimasi kekuasaan seperti diuraikan diatas merupakan analisis berdasarkan “ teologi- suku “, dan bukan versi sosio-etnologis.
Untuk tema ini kita perlu ingatkan kembali teori tentang asimilasi dan akulturasi antar etnik, baik kala kedatangan Ono Niha di Nias maupun asimilasi dan akulturasi yang bertahap tadi, yang pada gilirannya membentuk stratifikasi sosial sebagi berikut :

Pendatang pertama penduduk Nias adalah mereka yang datang dengan peralatan dan kultur yang sangat sederhana ( primitif ), yang oleh pendatang berikutnya yang lebih tinggi tingkat budaya dan jumlahnya lebih banyak dengan mudah dapat menguasai mereka.
Pertemuan antar budaya dan manusia yang tak seimbang kemudian secara otoritas membentuk stratifikasi sosial dalam masyarakat hingga terbentuk golongan atas, menengah dan bawah. Proses asimilasi dan akulturasi ini tidak selalu berjalan mulus dan damai, tetapi juga melalui perang. Golongan bawah biasanya berasal dari tawanan perang dan dijadikan budak ( Nias Selatan : Sawayu atau Harakana ) yang terdiri dari 3 kriteria ; karena perang ( binu ), tidak sanggup membayar hutang ( Sondrara hare ), atau karena ditebus dari hukuman ( Holito ). Lembaga ( adat ) Owasa dapat menjadikan golongan menengah ke atas, jika ia sanggup membiayai pesata ( jasa ) yang sangat mahal itu, untuk memperoleh gelar Balugu.

Melaui proses asimilasi, suatu kelompok berbaur dan berinteraksi dengan kelompok lain sehingga anggota kelompok tadi kehilangan jati dirinya baik secara sosial maupun kultural. Psikologis, dalam hal yang ekstrim mereka malu jika disebut asal usul aslinya, bahkan untuk itu ada yang mengganti nama aslinya dengan nama ( identitas ) barunya. Sementara akulturasi penyerapan budaya asing juga berlangsung namun kesadaran kelompok tetap dijaga dan dipelihara, tidak kehilangan identitas aslinya.
Lewat kedua proses sosial dan kultural --- terlepas dari proses lainnya --- telah terjadi perubahan sosial dan kultural secara signifikan. Kedua mekanisme itulah --- membentuk berbagai sub etnik, logat bahasa ( yang dimengerti oleh kedua kelompok ), menyebarnya pemukiman dan terbentuknya banua dan klan dengan Weltanschauung ( pandangan hidup ) lainnya yang berbeda namun memiliki kesamaan yang mendasar. Tebal dan tipis kesamaan ini ( termasuk fisik ) tergantung dengan intensitas dan kumulasi proses diatas.
Proses yang sama berlangsung kala kedatangan gelombang migrasi ketiga di Nias yang jauh lebih “ modern “ yang hipotesis menguasai posisi teratas dari seluruh masyarakat. Mereka yang datang lebih dahulu dikuasai melalui perang dan damai, antara yang kuat dan lemah ( survival of the fittest ). Proses terjadinya kelompok elite seperti ini ( lahir dan terbentuknya kelompok aristokrat ) bersifat transkultural, terutama tumbuh subur di Eropa hingga terbentuknya feodalisme.
Proses ini kemudian dilembagakan melalui “ teologi suku “ yang disampaikan dari generasi ke generasi dan dipercayai kebenarannya. Manusia adalah makhluk religius.
Dalam hal ini kita dapat mempertanyakan ; apakah masuk akal golongan bangsawan dari asal negerinya bermigrasi ketempat lain ?, dan kenapa ?.

BERSAMBUNG : NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional IV, 
Perang dan Konflik ; Fungsi Integratif dan Pembaharuan

Sumber Tulisan : Garang, Phil J. 2007. Nias Membangun Harapan Menapak Masa Depan : 
Studi Tentang Perubahan Sosial dan Kultural. Jakarta : Yayasan Tanggul Bencana Indonesia 
 ( YTBI ), h. 11 – 19.


Catatan Akhir “ NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional III
; Sebuah Peta Kultur Megalitik “

10 “ Monumen “ kultur Megalitik ( Saita Gari, Behu, Gowe Zalawa ) yang relatif utuh dapat kita temui, misalnya ratusan nak tangga yang menghubungi desa – desa yang berbeda ketinggiannya. Seperti dari Orahili ke Bawomatoluo ( 11 km dari Teluk Dalam ) terdiri dari 4 tingkat dengan 700 anak tangga ( sekarang hanya tinggal 1 tingkat ). Banua ( desa ) adalah mikro kosmik dimana pemukiman dibangun 2 baris saling berhadapan sehingga terdapat ruang yang luas diantara keduanya. Di ruang terbuka inilah kita temukan patung – patung batu berbentuk obelis ( pilar yang banyak seginya ), relief pada tembok dan jalan – jalan yang diplester dengan batu, terdapat begitu banyak dolmen, meja – meja bundar dan bangku yang terbuat dari batu sebagai tempat peristirahatan roh – roh orang yang sudah meninggal. Juga digunakan sebagai tempat pertemuan atau upacara adat. Bangunan monolitik juga dapat kita temukan di Onowaembo-Idanoi, Onolimbu-Lahomi, Hilisimaetano.

11 Banua orang Nias biasanya berada di daearah pedalaman dan didirikan diatas puncak bukit atau gunung. Jika di lembah maka letaknya ditengah bebebrapa lapisan bukit dan gunung yang sulit didatangi orang. Hal ini disebabkan waktu itu mereka masih suka berperang atau mengayau ( kepala ). perang juga mengakibatkan ditinggalkannya desa ( di Gomo misalnya banyak desa yang ditinggalkan ) dan membngun desa baru yang cenderung ke dataran rendah dan pesisir.

12 Desa adalah refleksi dari makro kosmos dan unit terkecil dari refleksi ini ( mikro kosmos ) adalah rumah adat Orang Nias yang terdiri dari 3 lapis ( susunan ) : lapis pertama adalah bagian bawah ( bagian tiang penunjang ), lapisan kedua adalah ruang yang ditunjang oleh tiang – tiang tadi, dan lapisan ketiga adalah bubungan ( atap ). Semuanya bermakna kosmologis : bagian bawah melambangkan dunia bawah, bagian tengan ( ruang tempat tinggal ) melambangkan dunia manusia ( bumi ), dan bagian teratas melambangkan dunia atas. Dari lapisan kedualah ( bumi manusia ) berasal anak manusia ( Ono Niha ) yang disebut sebagai Si Sawenaita.

Bandingkan ; P. Suzuki, The Religious System and Culture of Nias, Indonesia. Proefsschrift, Gravenhage, halaman 65-77 ; Hammerle, op.cit., halaman 49 dan seterusnya.

13 Dalam mitologi Nias Lawalangi adalah adik dari Laturedano karena ia datang lebih kemudian ( lihat catatan sebelumnya ). Kalau kita mendengar syair Hoho terutama tentang penciptaan manusia terkesan ada “ kedekatan “ dengan Kisah Kejadian dalam Al Kitab ( PL ) dalam Agama Kristen.
Menurut tradisi Nias, Ono Niha terdiri dari 4 kelompok etnik yang diciptakan secara berbeda namun memiliki kesamaan dengan Kitab Kejadian, misalnya salah satu etnogoni di Desa Sifalago Gomo Boronadu yang disampaikan oleh Ama Waigi Giawa.
Lihat ; P.J. Hammerle, op.cit., Halaman 51 dan seterusnya.
Banyak peneliti ( etnolog ) tentang mitologi ( etnogoni ) suku diberbagai masyarakat suku, khususnya di Afrika, menunjukkan danya “ versi Al Kitab “. Daerah yang mereka teliti ini Agama Kristen sudah berkembang. Ini berarti, kemungkinan besar mite – mite pada suku setempat “ menyerap “ budaya Kristiani dan dianggap kemudian sebagai “ milik “ suku ( sinkretisme ).
Artinya telah terjadi akulturasi, dimana sebuah kultur asing diambil alih sedemikian rupa namun kesadaran dan ciri khas suku tetap terjaga ( tidak hilang ).

14 Strata Masyarakat Nias terdiri, Balugu, Salawa ( Nias Utara, Tengah, Timur dan Barat ) atau Si'ulu ( sebutan untuk Nias Selatan ). Balugu, Salawa atau Si'ulu artinya yang tertinggi dan yang berkuasa, tergolong kaum bangsawan. Kelompok ini masih terbagi dua, yakni yang memegang tampuk pemerintahan dan yang tidak. Di Nias Selatan, pemegang tampuk pemerintahan dikenal dengan istilah Balo Zi'ulu. Kedua, sato atau sihono ( orang banyak ) dan mereka ini termasuk warga desa. Ketiga, budak ( Sawuyu atau Harakana ). Para budak ini pun terdiri dari 3 golongan, yakni Sondraha hare ( menjadi budak karena tidak sanggup bayar hutang ), Binu ( menjadi budak karena kalah perang ), dan holito ( menjadi budak karena ditebus dari hukuman mati oleh orang lain yang menjadi tuannya ). Dari ketiga golongan budak ini, binu-lah yang nasibnya sangat buruk karena mereka dipaksa kerja keras dan menjadi kurban bila ada upacara – upacara.
Stratifikasi sosial di Nias mempunyai pemahaman dan dasar agama suku. Dualisme para dewa tercermin dalam pelapisan sosial di Nias. Sifat dewa atas sebagai pencipta dan yang memerintah kosmos, itu yang dimiliki kaum bangsawan ( nga 'oto Zalawa atau Si'ulu ) dan sifat dewa bawah dimiliki oleh rakyat biasa ( nga 'oto Niha sato atau sito 'olo ). Sedangkan budak atau nga 'oto Zawuyu, pada konsep asli tata kemasyarakatan Nias tidak dijumpai. Kaum budak timbul kemudian, karena beberapa alasan misalnya ; tawanan perang, atau orang yang tidak sanggup membayar hutang lalu dijadikan budak, atau orang yang seyogianya dihukum mati karena kesalahannya yang cukup berat, lalu ditebus oleh kaum bangsawan dan kemudian dijadikan budak. Kaum bangsawan sebagai pencipta dan pemerintah banua, seperti halnya Lawalangi, mencipta dan memelihara kosmos. Kaum rakyat biasanya rela mati di medan perang karena mereka bertugas menjaga dan memelihara banua, seperti halnya Laturedano yang memlihara dan menjaga kosmos.
Talaumbanua, T., Tanggapan tertulis atas draft buku, “ Nias, Membangun Harapan, Menapak Masa Depam, Sebuah Studi Tentang Perubahan Sosial dan Kultural “, tulisan Dr. Phil J. Garang, Semiloka Nias, 8 Desember 2006, Gunung Sitoli, Nias. Tanggapan ini belum dipublikasikan.

15 3 jenis legitimasi kekuasaan yang menempatkan seseorang atau keturunannya memerintah, yaitu ; “ tradisionale herrschaft “ ( berdasarkan legitimasi tradisi ), “ charismatische herrschaft “ ( berdasarkan karisma seseorang, sebagai ' pemberian ' Tuhan ), dan “ legale herrschaft “ ( berdasarkan hukum yang berlaku, demokratis ). Ketiga jenis kekuasaan atau pemerintahan ini disebut sebagai “ Idealtypen “ oleh Max Webber.
Max Webber : “ Wirtschaft ung Gesellschaft “, 2. Halbband, Tubingen, 1956, halaman 157-179.

16 Di Eropa sistem feodal ( aristokrasi ) berlangsung sekitar abad ke-9 hingga abad ke-16 atau 17, Samurai di Jepang abad ke-14 dan China ( Shih ) abad ke-10 sebelum Masehi dan masing – masing mempunyai kode etik tersendiri ( Bushido di Jepang, Li di China ).
Di Eropa feodalisme merupakan gaya hidup, muncul setelah imperium disana berakhir, dan kaum feodal ini kemudian menjadi pendukung kerajaan dan monarkhi yang baru disana.
Sistem feodal diperkirakan berakhir karena pertumbuhan perdagangan, industri dan berdirinya kota – kota, ekonomi ( uang ) dan munculnya pemberontakan petani.
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.