Social Icons

Kamis, 11 April 2013

Tiga Sekawan Mencari Wayang


Globalisasi menawarkan rute – rute mobilitas baru untuk proses perpindahan, pertukaran, perlintasan berupa gagasan ataupun bersifat material. Semua bergerak, materi dan non materi. Terlalu sering kita melewati, berhenti dan berpindah lagi pada sebuah stasiun namun kita hanya menganggapnya sebatas fisik ( material ) saja.
“ Turun dimana ?! “
Buku terbitan Republika, Buku Politik, kebobrokan Indonesia
Pilpres Priesiden Abal - Abal Republik Amburadul
( dok : koleksi pribadi, pemberian dari Arai )

Ya, kita sedang membicarakan kedekatan geografis dan psykologis.
Perjalananku ini dimulai dari sebuah ' Republik Amburadul ', 22 Maret – 01 April 2013 menuju Jabodetabek ( minus Bogor ). Saya tidak kira, akhirnya bisa Kopi Darat ( Kopdar ) dengan teman – teman yang sebelumnya hanya kenal melalui Jejaring Media Sosial. Yuni, Arai, Mas Imam, Mas Nur Arif dan Mbak Endah. Khususnya Mas Imam, aku sudah akrab di darat dulu sebelum di Media Sosial. Pertemuan aneh dipinggir jalan, sambil ngopi, ngerokok, mendengarkan musik – musik instrumental dari hand phone ku. Ternyata musik membawa kita pada sebentuk relasi persahabatan. Ketika semua gelombang saling bertangkapan.
“ Dave Koz, Together Again “ kata Mas Imam menebak lagu instrumental itu.
“ Yap ! “
Pertemuan aneh di warung kopi + gorengan pinggir jalan, Cikupa ( Tangerang ) sekitar tahun 2010.


Perjumpaan dan relasi persahabatan yang diawali dari WWW ( World Wide Web ), tampaknya lagi menggejala. Model Budaya Web, HTTP ( Hyper Text Transfer Protocol ) menjerat orang dalam berbagai hubungan yang terus berubah – ubah, perkaitan sesaat, ikatan sementara, jaringan cyber, ambiguitas sosial, anarkhi informasi, pekerjaan tak tetap, dominasi teknologi, dan penipisan tanggung jawab. Orang menjalin hubungan yang satu lalu pindah ke hubungan yang lain. Orang memperhatikan aliansi yang ini, kemudian yang itu. Orang memikirkan pola – pola baru, mengeksplorasi, lantas meninggalkannya. Orang terhela kesini, kemudian tertarik kesana. Orang tidak tahu pasti akan terbawa kemana ketika menjelajahi web.
Perpindahan geografis orang mencapai tingkat kecepatan yang tak terbayangkan oleh generasi sebelumnya 1.
Mobilitas seperti ini jika dihadapkan dengan realitas ( bukan Budaya Web ), sedikit banyak mempunyai korelasi dengan psykologi perkotaan. Atau bandingkan saja misalnya urbanisasi, dengan psykologi Orang Udik ( geografis, psykologis ) 2.
Bagi saya, perjalanan ini ( mobilitas ) tak lebih merupakan ; psykologi orang udik ketemu psykologi orang  perkotaan3.
“ Media sosial telah menjadi Media Kapital “ kata Yuni disela – sela pembicaraan kita.
Kumpulan Cerpen Hungaria, Fuad Hassan
Sang Mahasiswa dan Sang Wanita ( dok : koleksi pribadi,
pemberian dari Imam Marsus )
Tampaknya tidak perlu memperpanjang mobilitas fisik dalam perjalananku kali ini, karena memang harus ada yang disimpan. Sebagai bukti bahwa kita telah melakukan perjalanan. Akan lebih baik dipergunakan untuk berbagi oleh – oleh ( lagi ) yang saya dapatkan dan kuanggap penting dan mendesak untuk sekedar dibagikan ( kembali ) ;

  1. Satu malam aku menginap di tempat Arai ( Manggarai ). Harus kuakui, Arai dan papanya ; Bapak Indra Munazwar ( begitu Arai memanggilnya dengan sebutan ' Papa ' ), seorang pejuang sosial yang tanpa pamrih. Terus berupaya bagaimana Serikat Buruh itu dibangun ( diorganisir, diedukasi ) untuk memperjuangkan hak – haknya ( kesejahteraan sosial ) dalam dinamika politik dan ekonomi dewasa ini. 
    Bagiku persahabatan dengan Arai adalah bentuk pemahaman yang lahir dari berbagai ide dan gagasan. Bagi Arai dan Papanya ( serta setiap orang yang memperjuangkan hal yang sama ), bentuk pemahaman itu berupa ; buruh --- pengusaha --- pemerintah4.
Sudah sepantasnya lah, orang – orang yang memperjuangkan hal itu mendapat tempat yang layak di negeri ini.
  1. Paling lama aku tinggal di Tangerang, kontrakan Mas Imam Marsus. Seorang yang nomaden. Menghabiskan 87 jam 15' 08''. Seorang yang telah menemukan dunianya ( sastra, fotografi dan sosial kemanusiaan ). Orang yang hidup dan dihidupi dari idealismenya. Hanya saja sekarang cenderung bergiat di bidang sosial kemanusiaan dengan mengurusi anak – anak yatim di Yayasan Satu Benih ( Bogor ). Jika orang berfokus pada tujuan sosial, kemasyarakatan dan kemanusiaan, hidupnya akan tercukupi ( material dan non material ). Kita harus mengalaminya sendiri untuk dapat mempercayainya. Aku sangat menikmati ketika tidur beralaskan selembar Tikar Pandan ( hari itu Mas Imam pergi ke Bogor ), sambil mendengarkan musik – musik klasik dari computer ditambah sound yang manteb ( walaupun lirih karena sudah malam ), waktu seolah menjadi mewah. Seperti menuntun kembali pada suasana pedesaannya Bibhutibhushan Banerji dalam Pater Panchali.
    Persahabatan kami begitu nJawani ( asal Mas Imam dipinggiran Purwokerto ), setidaknya bentuk ini yang saya rasakan.
    “ Ajari anak – anak yatim untuk menulis kisahnya, mas “ lanjutku sambil pamitan.
  1. Mas Nur Arif, benar – benar sang pendongeng sejati !. Beberapa inti dari perkataannya kutemukan kembali pada Buku “ Pilpres Presiden  Abal – Abal Republik Amburadul “ dan “ Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi ; Akar Tasawuf di Indonesia “.
    Alwi Shihab, buku agama
    Akar Tasawuf Di Indonesia ( dok : koleksi pribadi,
     pemberian dari Endah )
  1. Yuni dan Mbak Endah, jika saya ceritakan akan banyak menyita ruang dan waktu. Biarlah waktu yang akan menceritakan ulang.
Dari pengalaman tersebut, sejenak saya perlu untuk merenungkan mengenai relasi persahabatan.
  1. Persahabatan yang didasari atas kesamaan, kecocokan ( ide, gagasan, hobby, profesi, wilayah, ras, suku, agama, nasib, dan lainnya ) dengan mencampurkan hubungan privat masing – masing.
  1. Persahabatan yang didasari atas kesamaan, kecocokan ( ide, gagasan, hobby, profesi, wilayah, ras, suku, agama, nasib, dan lainnya ) dengan memberi garis tegas antara persahabatan dan hubungan privat masing – masing.
  1. Persahabatan ( relasi ) yang didasari suatu kepentingan tertentu, bisa bersifat sementara, permanen ataupun keterpaksaan.
    Pas kiranya jika relasi ini disangkutkan politik dengan frasa “ Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi “.
  1. Bersahabat just having fun saja.
  1. Hubungan relasi persahabatan merupakan proses awal penjajakan untuk membangun hubungan yang lebih serius.
    Dengan nada yang agak sinis, bolehlah mengatakan ; ' teman makan teman '. Definisi dari pengertian ini tergantung dari setiap individu yang menjalaninya. Tipe ini bisa merupakan perkembangan dari no.1.
  1. Bersahabat karena memang ingin menjalin persahabatan, karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, berkelompok, berelasi dan berkomunikasi.
  1. Percampuran dan turunan dari ke-6 tipe tersebut.

Dalam suasana serius tapi santai, relasi ini juga dapat dibedakan melalui jarak ; dekat ( geografis dan atau psykologis ), menengah, hubungan jarak jauh ( geografis, bahkan bersifat imajiner --- saking jauh tak terjangkaunya --- barangkali ), dan hubungan yang menjaga jarak.
Terminologi dalam Bahasa Indonesia pun mempunyai sinonim yang beragam mengenai ikatan relasi ini, sebut saja ; teman, sahabat, sobat, karib, kawan, rekan, saudara, dan lainnya.

Bersahabat bagiku adalah berbagi pemahaman, menghargai pribadi masing – masing. Saya tak perlu merasa paling hebat karena prinsip hidupku dengan berpikir bahwa orang lain pasti tidak akan bisa memahaminya. Terlalu sombong dan kekanakan !.

Bartleff menyandarkan diri ke kusen kamar mandi dan tersenyum, “ Aku memahami kamu dan aku tidak akan berusaha mengubah pikiranmu. Aku terlalu tua untuk mengambil tugas memperbaiki dunia. Aku telah memberikan pendapatku, dan, ya seperti itu. Aku akan tetap menjadi temanmu bahkan bila kamu mengabaikan nasihatku, dan aku akan membantumu bahkan bila aku tidak setuju denganmu “ ( Farewell Party by Milan Kundera, halaman 38 ).
Novel, Milan Kundera
The Farewell Party ( dok : koleksi pribadi,
pemberian dari Imam Marsus )
Hal paling mengasyikkan ketika saling bertemu, salah satunya adalah barter dan berbagi buku sebagai cindera mata ( seperti acara Kick Andy saja, berbagi buku ). Bagiku membaca dan menulis adalah jantung kedua.
Bagian awal kisah ini kutulis di rumah temanku ( Sigit ), Kota Bekasi. Sedangkan bagian akhir, kuselesaikan di Jogja, waktu hujan semakin menggila. Tampaknya memang, ' pembacaan ' ini harus diakhiri pada moment ' hujan '. Kehujanan, keblasuk, waktu di angkot, tak pernah kulupakan !.
Samar – samar terdengar suara Dhalang memainkan lakon5, menceritakan karakter masing – masing sekuen demi sekuen. Musik – musik dari ruang terjauh, mendekat. Kadang kala ada cerita yang harus disimpan, cerita yang tersembunyi itu butuh pemahaman.
Busway, Trans Jakarta
Tiket Jum'at Agung
[ lihat Nilai Instrinsik dan Ekstrinsiknya ]
( Bersambung )
Semoga pikiran yang baik datang dari segala arah “
Bekasi – Jogja, 30 Maret dan 07 April 2013.


Catatan Akhir “ Tiga Sekawan Mencari Wayang “

1 Pasca- Intelektualisme, Budaya Web ( terjemahan Landung Simatupang ), dicuplik dan diterjemahkan dari Donald N. Wood, Post-Intellectualism and The Decline of Democracy The Failure of Reason and Responsibility in Twentieth Century. West Port, Connecticut, London : PRAEGER, 1996, halaman 3 – 8.
2 Jika garis geografis dan psykologis itu ditarik menuju tempat asal ( Jogja ), konsep tata kota Jogja adalah Catur Gatra Tunggal. Meliputi Kraton ( pusat pemerintahan, cagar budaya ), Alun – alun, lapangan ( Public space ), Masjid ( hubungan spiritual ), Pasar ( pasar tradisional, pusat ekonomi, ekonomi yang berbasis kerakyatan ).
Mulai dari sinilah ( tempat asal ) kita akan mencoba memahami diri ( secara geografis, psykologis ) untuk belajar beradaptasi dengan lingkungan lain secara menyeluruh.
 
3 Tim American Psychological Association ( APA ) bahkan menganjurkan perlunya dikembangkan Psikologi Perkotaan ( Urban Psychology ). Kemajuan di perkotaan ternyata telah membawa juga bersamanya alienasi manusia modern dari dirinya sendiri. Pada puncaknya, hal ini meningkatkan anxiety, depresi dan problem – problem mental psikologis lainnya. Kekosongan yang dirasakan justru ketika manusia telah mencapai kemakmuran material, seolah menganjurkan betapa kebahagiaan sesungguhnya tidak terletak disana, melainkan dibagian lain yang lebih bersifat ruhani ( spiritual ).
Kondisi seperti itu dalam perkembangannya disebut Urban Sufism ( Sufisme Perkotaan ).
( Shihab, Alwi, 2009. Antara Tasawuf Suni dan Tasawuf Falsafi Akar Tasawuf Di Indonesia, diterjemahkan oleh Muhammad Nursamad dari Al Tashawwuf al Islami wa Atsaruhu fi Al Tashawwuf Al Indunisi al Mu'ashir. Depok : Pustaka IIman, h.x – xi ).

4 Belajar dari pengalaman bangsa – bangsa lain di dunia menjadi penting, agar pikiran kita terbuka.
Hugo Chavez ketika mendapatkan kesempatan pidato pada sidang PBB dihadapan kepala negara seluruh dunia, mengacungkan Buku Noam Chomsky berjudul Necessary Illusions. Chavez mengatakan semua kepala negara wajib hukumnya memahami isi buku ini agar tidak menjadi boneka kepentingan – kepentingan diluar rakyatnya. Chavez menunjukkan keberanian untuk menasionalisasi tambang – tambang yang tadinya dikuasai asing untuk menyejahterakan rakyatnya.
China mengambil satu model yang awalnya tidak menganut hukum “ supply and demand “ sebagaimana sistem kapitalisme. Yang penting bagi China adalah bagaimana ia mengatur semua rakyatnya bekerja dari jam tujuh sampai jam lima. China pun terbukti bisa memproduksi barang apapun mulai dari peniti sampai satelit dengan tidak ikut model mekanisme pasar. Rakyatnya --- lebih dari 1,5 miliar --- makan semua. Kesehatan ditanggung negara. Pendidikan semua gratis. Semua anak sekolah. Semua rakyatnya bekerja.
Kalau China menerapkan sistem kompetisi bebas, seperti negara – negara barat, rakyat China bisa mati bunuh – bunuhan hanya untuk sekedar cari makan. Hun Jin Tao, berhasil memimpin RRC dengan menguasai 86 % perusahaan yang terdaftar di 10 beasar pasar uang dunia, yakni perusahaan – perusahaan China yang terdaftar diberbagai dunia. Dengan cara ini, China berhasil mengeruk devisa hampir 2 Triliun Dolar AS.
Prinsip PM Thaksin Shinawatra sejalan dengan prinsip PM Mahathir Mohammad dalam melihat peran negara. “ Negara punya segalanya. Punya sumber daya, punya rakyat, bisa membuat aturan, dll. Mengapa bisa tersisih oleh peran korporasi global dan nasional yang hanya mementingkan sedikit orang ?. Maka negara harus bisa berperan sebagaimana korporasi global atas nama kepentingan rakyat “.
Lalu dimana salahnya Indonesia ?. Indonesia tidak punya pilihan karena sisitem lama yang digunakan adalah jebakan internasional ala IMF ( International Monetery Fund ).
ini soal pemilihan model ekonomi.
( Massardi, Adhie M, et al. 2011. Pilpres Abal - Abal Republik Amburadul. Jakarta : Republika Penerbit, h. ix – x ).

5 Teks Centini V, 349-367
  1. Ing atitah kita puniki kawengku / ring budi diri ning urip / punapa kang kita temu/
puniku lakon ing ringgit / kita piambak katongton //

Demikianlah kita, makhluk – makhluk dikuasai budi, oleh kehidupan sendiri.
Segala sesuatu yang kita alami ialah lakon pertunjukan Wayang. Kita sendirilah tontonanya.
  1. Kang anonton dadya saksi ning tumuwuh / awon ( pe )neding rageki / suwur titi ning andulu / miteni solah ing urip / samya anandang lalakon //
Penonton menjadi saksi mengenai segala sesuatu yang hidup. Baik buruknya badan badan bagi penonton yang melihat dengan saksama dan jauh sekitarnya bagaimana hidup itu menampilkan diri, hanya berwujud mengalami secara pasif skema peristiwa yang sudah pasti ( lalakon ).
  • Lalakon, bisa juga diartikan lelakon ( interpretasi pribadi, Panji ). 
( Zoetmulder, PJ. 2000. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Satra Suluk Jawa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, h. 290 & 294 ).
Zoetmulder sendiri menambahkan catatan pada terjemahan teks – teks Jawa untuk mempertanggung jawabkan terjemahannya dalam Bahasa Belanda.
Bait 39
Seksi ning tumuwuh. Mungkin dimaksudkan Tuhan sendiri. Disini lalu dapat dibayangkan suatu gambaran seperti tercantum pada hlm. 301 ; Hyang Suksma bertindak sebagai tuan rumah. Tetapi perlu kita lalu membedakan antara “ kang anonton “ disini dan “ kang andulu “ dalam bab berikut.
Seksi ing tumuwuh “ dalam arti Tuhan rupanya juga dapat dibaca dalam Serat Rama, terbitan Bale Pustaka II, hlm. 22, “ Langit maksih ngauban / seksi ing tumuwuh “.
( Zoetmulder, PJ. Ibid., h. 422 ).
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.