Social Icons

Selasa, 29 Januari 2013

NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional



            “ Kegagalan pembangunan di banyak negara berkembang disebabkan oleh ketidak mampuannya menghubungkan masa lalu dengan masa kini secara hermeneutik... “

Menelusuri Jejak Leluhur Orang Nias

Budaya nias, asal usul suku nias Penggalan kalimat pengantar diatas mengingatkan kita semua bahwa kehidupan manusia merupakan suatu kesinambungan, suatu mata rantai yang saling terkait. Dengan demikian tidak ada yang benar – benar baru, yang ada sekarang terpaut dengan yang sebelumnya atau masa lalu.
Mitologi Yunani lebih cerdas memformulasikan keterkaitan itu dengan mengambil sebuah perumpamaan tentang seekor ular yang besar, Hydra, yang jika kepalanya dipotong akan segera tumbuh 2 kepala yang baru, begitu seterusnya. Itulah hukum perkembangan atau pertumbuhan. Artinya, satu penemuan baru akan melahirkan lebih banyak penemuan baru pula.
Untuk “ mengejar “ ketertinggalannya banyak negara berkembang berusaha mengakselerasikan pertumbuhannya dengan jalan short cut. Jalan pintas atau terobosan, dan melupakan jejak sejarahnya. Pada umumnya berujung kegagalan. Di Asia eks negara berkembang, termasuk Jepang dan China memahami dan memanfaatkan secara baik arti “ belajar dari sejarah “. dalam hal ini kultur, tata nilai dan etika dalam sistem religi mereka seperti Bushido ( Jepang ) dan Li ( China ) yang pada dasarnya adalah kode etik dalam berperilaku.
Dalam sejarah umat manusia ( bangsa – bangsa ) tidak ada negara yang brhasil meraih ( mengisi ) cita – cita masa depannya tanpa mengkaitkannya dengan “ semangat “ masa lalu secara kontekstual.
Itulah sebabnya kenapa dalam tulisan ini, masyarakat tradisional Nias ditempatkan pada bagian pertama. Maksudnya ;

  1. Merekonstruksi kehidupan sosio-kultural-historis masyarakat Nias sebelum kehadiran peradaban asing, termasuk perubahan – perubahannya secara endogen ( Enkulturasi ).
  2. Mengetahui penyebab perubahan, gerak dan arahnya dalam dimensi ruang dan waktu ( Lebensraum und Zeitgeist ).
  3. Mengamati apa yang terjadi dalam masyarakat setelah terjadi perubahan, sebagai konsekuensi logis dampaknya terhadap sosial dan kultural.
Dengan demikian memahami Orang Nias masa kini diperlukan pengetahuan tentang sejarah Nias masa lalu. Perubahan sosial kultural tidak terjadi serta merta, bersifat sinambung, bertahap dan tidak brdiri sendiri.


1. Perspektif Kultur – Historis – Anthropologis

Masyarakat Nias menamakan dirinya sebagai ono Niha ( anak manusia ), dan daerah mereka disebut tano Niha ( bumi manusia ).
Tano Niha terletak sebelah Barat Sumatra, terdiri dari 110 pulau dengan luas 5.625 km2 ( Pulau Nias, Pulau – pulau Hinko 8, Pulau – pulau Batu 101 ). jumlah penduduknya 716.796 jiwa, sebagian besar berada dibagian Utara Pulau Nias. Terdiri dari 2 kabupaten ( Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan ) dengan masing – masing ibu kota Gunung Sitoli dan Teluk Dalam.
Batas - batas ;
  1. Sebelah Utara berbatasan dengan Pulau- pulau Banyak  ( Propinsi NAD )
  2. Sebelah Timur berbatasan dengan Pulau – pulau Mursala Kabupaten Tapanuli Tengah dan Natal ( Kabupaten Mandailing Natal )
  3. Sebelah Selatan  berbatasan dengan Mentawai kepulauan
  4. Sebelah Barat  berbatasan dengan Samudra Hindia

1     Ono Niha : Meniti Jejak Leluhur

Kita hanya mengenal Pulau Nias dan Orang Nias, tetapi kita kurang mengetahui dariman asal mereka, pandangan hidupnya dan dunia “ kemudian “ ( konsep diri tentang agama dan kepercayaan ).
uraian tentang Orang Nias dan kebudayaannya menjadi pembicaraan dan penelitian yang tak kunjung “ selesai “. Terjadi silang pendapat, kompromi dan kontras dengan berbagai versi literatur dan wawasan1.


Versi Kultural Historis

Orang Nias sendiri menyebut dirinya sebagai Niha ( Manusia ) atau ono Niha ( anak manusia ), dan negerinya disebut tano Niha ( Bumi Manusia )2.
etnologis dan phsikologis, jika suatu suku menyebut dirinya “ manusia “ atau “ anak manusia “ mengindikasikan adanya manusia lain di sekitar mereka. Namun tidak dianggap sepenuhnya sebagai manusia seperti mereka3.
Hal ini perlu kita telusuri lebih ke belakang, artinya manusi yang ada sebelum mereka. Menurut berbagai literatur tertulis yang tersedia da tersirat dalam mite Masyarakat Nias sendiri yang disampaikan dalam bentuk tradisi lisan berbentuk syair ( hoho ), bahwa sebelum mereka  ( ono Niha ) tiba di Nias telebih dahulu ada kelompok manusia yang mereka sendiri sebut sebagai Bela atau ono Mbela ( anak Bela ). Sesuai dengan hoho, mereka ini hidup dan berumah di atas pohon ( si so ba geu ) dan mereka anggap bukan sebagai Niha atau ono Niha  dan sering tidak diperlakukan manusiawi, ditipu, dibodohi dan dieksploitasi oleh mereka ( pendatang baru ).
Studi tentang ono Mbela ( Bela : putih ) tidak pernah dilakukan dan tidak diketahui bagaimana hubungan antara mereka dan pendatang baru ( hubungan antar etnik ). Diberitakan bahwa mereka menghilang dan dipercaya mereka kembali ke asal muasal nya, yaitu pohon4. Hal ini kemudian menjadi salah satu sistem religi, bahwa pohon tertentu atau Liana tertentu merupakan tempat kediaman mereka ( sebagai roh halus, bekhu ).
            Kalau kita telusuri lebih lanjut tentang ono Niha, maka kita akan menemukan sisa – sisa peradaban prasejarah tentang penduduk pertama di Pulau Nias : Masa Mesolitikum sekitar 4000 tahun SM, Pulau Nias telah dihuni manusia dengan ciri ( Khas ) ras weddid yang tinggal di goa – goa. Juga tidak diketahui akhir dari ras ini dan hubungannya dengan ras yang datang kemudian ( ono Mbela dan kelompok migrasi terakhir sebelum berakhirnya Masa Pleistosen ).
Kita coba untuk menganalisis keberadaan mereka ini setelah terjadinya benturan kultural dengan kelompok pendatang lainnya.

    ( Bersambung ) 


1 Studi tentang asal usul Orang  Nias telah banyak ditulis dan dibahas. Banyak kesamaan namun tidak sedikit terdapat kontroversi. Oleh banyak hal keadaan tersebut dapat dimengerti mengingat kehidupan pra-sejarah tetap merupakan daerah “ abu – abu “ dan tetap terbuka bagi studi dan penelitian lebih lanjut. Lihat : P.J. Hammerle, OFM Cap., Asal Usul Masyarakat Nias. Sebuah Interpretasi.Penerbit Yayasan Pusaka Nias, Gunung Sitoli, 1999.
2 Penamaan Pulau Nias, selain tano niha, terdapat banyak istilah atau penyebutan lain seperti hulu ge'e ( nama burung ), hulo sulaya-laya ( pulau yang terapung- apung atau menai- nari ), uli dano atau uli ndrao ( kulit bumi ), uli dano hae ( membuai anak agar tidur ), olia ulidano ( dunia sejagat ). nama yang diungkapkan dalam tradisi lisan Nias ini ( syair hoho ) sangat puitis dan memerlukan  uraian yang panjang. Dari hoho ini kita dapat katakan bahwa Pulau Nias sering diguncang gempa bumi.
3 Sebagai analogi : Di Afrika ras pigmi ( rasasli, kecil, berambut keriting, kehitam- hitaman warna kulitnya ) hidup di belantara Hutan Afrika oleh kelompok Neger tidak dianggap sebagai “ manusia “, karena mereka hidup layaknya binatang liar. Mereka ini dieksploitasi secara ekonomik oleh mereka yang lebih “ berbudaya “ dengan postur tubuh yang lebih besar.
Hal yang tak jauh berbeda dapat kita cermati hubungan antar etnik yang serupa, seperti hubungan antara Wedda dan Singalese di Sri Lanka, antara kubu di Sumatra dan Toala di Sulawesi dengan Ras Deutro- Melayu, Negritos ( Aeta ) dengan Pilipinos ( Pilipina ), Bambuti dengan Bantu di Sudan.
Sebagian dari ras pertama diasimilir dan diakulturir oleh kelompok kedua ( dominan ). jika tidak demikian maka mereka tetap hidup sebagai kelompok marjinal dan sering dianggap sebagai “ bangsa tamu “ ( Gastvolk ) dan menjadi objek eksploitasi, perbudakan atau ditumpas.
Proses seperti ini tidak pernah berhenti sesuai konteks waktu dan ruang. Ini dapat terjadi pada suku – suku yang kehidupan sosial kulturalnya lemah. Ono Niha yang sekarang ini dapat mengalami hal yang sama seperti pendahulunya jika tidak mampu mengembangkan dirinya secara kontekstual ( melihat tanda – tanda zaman ).
Perlu kita catat pula bahwa penduduk asli ( aborigin, native ) diperkirakan berjumlah sekitar  10 % dari seluruh penduduk Indonesia ).
4 Menurut tradisi pegunungan Bawololo keturunan Bela tersebar ke berbagai daerah dan hunian antara lain yang berada di sebelah Barat ( si so ba gaekhula : Sihi ), leluhur mereka yang menghuni pohon ( Uwu mbelada matano si so hogugeu ) dan ada leluhur yang tinggal di perbukitan ( Uwu mbelada ba hili-hili ).
lihat : Hammerle, op.cit. Halaman 62


* Sumber Tulisan :  Garang, phil J. Nias Membangun Harapan Menapak Masa Depan : Studi tentang Perubahan Sosial dan Kultural, Jakarta ; Yayasan Tanggul Bencana Indonesia  ( YTBI ), 2007.
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.