“ Kegagalan pembangunan di banyak negara berkembang
disebabkan oleh ketidak mampuannya menghubungkan masa lalu dengan masa kini
secara hermeneutik... “
Menelusuri Jejak Leluhur Orang Nias
Mitologi
Yunani lebih cerdas memformulasikan keterkaitan itu dengan mengambil sebuah
perumpamaan tentang seekor ular yang besar, Hydra, yang jika kepalanya dipotong
akan segera tumbuh 2 kepala yang baru, begitu seterusnya. Itulah hukum perkembangan
atau pertumbuhan. Artinya, satu penemuan baru akan melahirkan lebih banyak
penemuan baru pula.
Untuk
“ mengejar “ ketertinggalannya banyak negara berkembang berusaha
mengakselerasikan pertumbuhannya dengan jalan short cut. Jalan pintas atau
terobosan, dan melupakan jejak sejarahnya. Pada umumnya berujung kegagalan. Di
Asia eks negara berkembang, termasuk Jepang dan China memahami dan memanfaatkan
secara baik arti “ belajar dari sejarah “. dalam hal ini kultur, tata nilai dan
etika dalam sistem religi mereka seperti Bushido
( Jepang ) dan Li ( China ) yang pada
dasarnya adalah kode etik dalam berperilaku.
Dalam
sejarah umat manusia ( bangsa – bangsa ) tidak ada negara yang brhasil meraih (
mengisi ) cita – cita masa depannya tanpa mengkaitkannya dengan “ semangat “
masa lalu secara kontekstual.
Itulah
sebabnya kenapa dalam tulisan ini, masyarakat tradisional Nias ditempatkan pada
bagian pertama. Maksudnya ;
- Merekonstruksi kehidupan sosio-kultural-historis masyarakat
Nias sebelum kehadiran peradaban asing, termasuk perubahan – perubahannya
secara endogen ( Enkulturasi ).
- Mengetahui penyebab perubahan, gerak dan arahnya dalam dimensi
ruang dan waktu ( Lebensraum und
Zeitgeist ).
- Mengamati apa yang terjadi dalam masyarakat setelah terjadi perubahan, sebagai konsekuensi logis dampaknya terhadap sosial dan kultural.
Dengan
demikian memahami Orang Nias masa kini diperlukan pengetahuan tentang sejarah
Nias masa lalu. Perubahan sosial kultural tidak terjadi serta merta, bersifat
sinambung, bertahap dan tidak brdiri sendiri.
1. Perspektif Kultur – Historis – Anthropologis
Masyarakat
Nias menamakan dirinya sebagai ono Niha
( anak manusia ), dan daerah mereka disebut tano
Niha ( bumi manusia ).
Tano
Niha terletak sebelah Barat Sumatra, terdiri dari 110 pulau dengan luas 5.625
km2 ( Pulau Nias, Pulau – pulau Hinko 8, Pulau – pulau Batu 101 ). jumlah
penduduknya 716.796 jiwa, sebagian besar berada dibagian Utara Pulau Nias.
Terdiri dari 2 kabupaten ( Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan ) dengan
masing – masing ibu kota Gunung Sitoli dan Teluk Dalam.
Batas
- batas ;
- Sebelah Utara berbatasan dengan Pulau- pulau Banyak ( Propinsi NAD )
- Sebelah Timur berbatasan dengan Pulau – pulau Mursala
Kabupaten Tapanuli Tengah dan Natal ( Kabupaten Mandailing Natal )
- Sebelah Selatan
berbatasan dengan Mentawai kepulauan
- Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Hindia
1
Ono
Niha : Meniti Jejak Leluhur
Kita
hanya mengenal Pulau Nias dan Orang Nias, tetapi kita kurang mengetahui dariman
asal mereka, pandangan hidupnya dan dunia “ kemudian “ ( konsep diri tentang
agama dan kepercayaan ).
uraian
tentang Orang Nias dan kebudayaannya menjadi pembicaraan dan penelitian yang
tak kunjung “ selesai “. Terjadi silang pendapat, kompromi dan kontras dengan
berbagai versi literatur dan wawasan1.
Versi Kultural Historis
Orang
Nias sendiri menyebut dirinya sebagai Niha
( Manusia ) atau ono Niha ( anak
manusia ), dan negerinya disebut tano
Niha ( Bumi Manusia )2.
etnologis
dan phsikologis, jika suatu suku menyebut dirinya “ manusia “ atau “ anak
manusia “ mengindikasikan adanya manusia lain di sekitar mereka. Namun tidak
dianggap sepenuhnya sebagai manusia seperti mereka3.
Hal
ini perlu kita telusuri lebih ke belakang, artinya manusi yang ada sebelum
mereka. Menurut berbagai literatur tertulis yang tersedia da tersirat dalam
mite Masyarakat Nias sendiri yang disampaikan dalam bentuk tradisi lisan
berbentuk syair ( hoho ), bahwa
sebelum mereka ( ono Niha ) tiba di Nias telebih dahulu ada kelompok manusia yang
mereka sendiri sebut sebagai Bela
atau ono Mbela ( anak Bela ). Sesuai
dengan hoho, mereka ini hidup dan
berumah di atas pohon ( si so ba geu ) dan mereka anggap bukan
sebagai Niha atau ono Niha
dan sering tidak diperlakukan manusiawi, ditipu, dibodohi dan
dieksploitasi oleh mereka ( pendatang baru ).
Studi
tentang ono Mbela ( Bela : putih ) tidak pernah dilakukan
dan tidak diketahui bagaimana hubungan antara mereka dan pendatang baru (
hubungan antar etnik ). Diberitakan bahwa mereka menghilang dan dipercaya
mereka kembali ke asal muasal nya, yaitu pohon4. Hal ini kemudian
menjadi salah satu sistem religi, bahwa pohon tertentu atau Liana tertentu
merupakan tempat kediaman mereka ( sebagai roh halus, bekhu ).
Kalau kita telusuri lebih lanjut
tentang ono Niha, maka kita akan
menemukan sisa – sisa peradaban prasejarah tentang penduduk pertama di Pulau
Nias : Masa Mesolitikum sekitar 4000 tahun SM, Pulau Nias telah dihuni manusia
dengan ciri ( Khas ) ras weddid yang
tinggal di goa – goa. Juga tidak diketahui akhir dari ras ini dan hubungannya
dengan ras yang datang kemudian ( ono
Mbela dan kelompok migrasi terakhir sebelum berakhirnya Masa Pleistosen ).
Kita
coba untuk menganalisis keberadaan mereka ini setelah terjadinya benturan
kultural dengan kelompok pendatang lainnya.
1 Studi tentang asal usul Orang Nias telah banyak ditulis dan dibahas. Banyak
kesamaan namun tidak sedikit terdapat kontroversi. Oleh banyak hal keadaan
tersebut dapat dimengerti mengingat kehidupan pra-sejarah tetap merupakan
daerah “ abu – abu “ dan tetap terbuka bagi studi dan penelitian lebih lanjut.
Lihat : P.J. Hammerle, OFM Cap., Asal Usul Masyarakat Nias. Sebuah Interpretasi.Penerbit
Yayasan Pusaka Nias, Gunung Sitoli, 1999.
2 Penamaan Pulau Nias, selain tano niha,
terdapat banyak istilah atau penyebutan lain seperti hulu ge'e ( nama burung
), hulo sulaya-laya ( pulau yang
terapung- apung atau menai- nari ), uli
dano atau uli ndrao ( kulit bumi
), uli dano hae ( membuai anak agar
tidur ), olia ulidano ( dunia sejagat
). nama yang diungkapkan dalam tradisi lisan Nias ini ( syair hoho ) sangat puitis dan memerlukan uraian yang panjang. Dari hoho ini kita dapat katakan bahwa Pulau
Nias sering diguncang gempa bumi.
3 Sebagai analogi : Di Afrika ras pigmi (
rasasli, kecil, berambut keriting, kehitam- hitaman warna kulitnya ) hidup di
belantara Hutan Afrika oleh kelompok Neger tidak dianggap sebagai “ manusia “,
karena mereka hidup layaknya binatang liar. Mereka ini dieksploitasi secara
ekonomik oleh mereka yang lebih “ berbudaya “ dengan postur tubuh yang lebih
besar.
Hal yang tak jauh berbeda dapat kita cermati
hubungan antar etnik yang serupa, seperti hubungan antara Wedda dan Singalese
di Sri Lanka, antara kubu di Sumatra dan Toala di Sulawesi dengan Ras Deutro-
Melayu, Negritos ( Aeta ) dengan
Pilipinos ( Pilipina ), Bambuti dengan Bantu di Sudan.
Sebagian dari ras pertama diasimilir dan
diakulturir oleh kelompok kedua ( dominan ). jika tidak demikian maka mereka
tetap hidup sebagai kelompok marjinal dan sering dianggap sebagai “ bangsa tamu
“ ( Gastvolk ) dan menjadi objek
eksploitasi, perbudakan atau ditumpas.
Proses seperti ini tidak pernah berhenti sesuai
konteks waktu dan ruang. Ini dapat terjadi pada suku – suku yang kehidupan
sosial kulturalnya lemah. Ono Niha
yang sekarang ini dapat mengalami hal yang sama seperti pendahulunya jika tidak
mampu mengembangkan dirinya secara kontekstual ( melihat tanda – tanda zaman ).
Perlu kita catat pula bahwa penduduk asli ( aborigin, native ) diperkirakan berjumlah
sekitar 10 % dari seluruh penduduk
Indonesia ).
4 Menurut tradisi pegunungan Bawololo keturunan Bela tersebar ke
berbagai daerah dan hunian antara lain yang berada di sebelah Barat ( si so ba gaekhula : Sihi ), leluhur
mereka yang menghuni pohon ( Uwu mbelada
matano si so hogugeu ) dan ada leluhur yang tinggal di perbukitan ( Uwu mbelada ba hili-hili ).
lihat : Hammerle, op.cit. Halaman 62
* Sumber Tulisan : Garang,
phil J. Nias Membangun Harapan Menapak Masa Depan : Studi tentang Perubahan
Sosial dan Kultural, Jakarta ; Yayasan Tanggul Bencana Indonesia ( YTBI ), 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.