Social Icons

Jumat, 15 Maret 2013

Dolorosa Sinaga : Sebuah Tafsir Dan Praktik


Pematung ini mengaku tak pernah riset untuk sebuah penciptaan karya. Tetapi dengan caranya sendiri ia telah menunjukkan bagaimana ` proses riset ` itu menjadi bagian dari proses kretifnya.

Seniman Patung IndonesiaDolorosa Sinaga : Sebuah Tafsir Dan Praktik Untuk Riset Seni

Orangnya mungil, tubuhnya kurus. Itulah dia sejak dulu, tak pernah “ bengkak “, walau kini sudah lewat setengah baya. Ia tidak sibuk ke fitness centre, pengobatan atau diet yang menguruskan badan. Tapi ia sangat sibuk dengan berbagai kegiatan ; seniman, dosen, gerakan reformasi, pemikiran baru dan macam – macam lagi. Ia tak betah “ diam “.
Seniman patung yang lahir di Sibolga, Sumatra Utara itu lincah dalam bergerak, lancar bicaranya dan tampak segar, tangguh. Tipe Srikandi bukan Subadra, andai kita boleh memakai Wayang Jawa.
Karirnya telah menjulang dalam seni patung --- produktif, karyanya hadir diberbagai pameran dalam dan luar negeri --- sebagian mengisi rumah kolektor, galeri, museum dan sebagian lagi di rumahnya.
Patung – patungnya hampir semua mengenai perempuan, menyendiri maupun berkelompok. Tidak sekedar  “ perempuan “, tentu. Ada sesuatu yang khusus, khas terucap dari karyanya ; kuatnya daya ungkap tubuh walau ukuran – ukurannya kecil.
I. Wibowo mwnuliskan, dalam booklet pamerannya di Galeri Nasional tahun 2001 ; ... “ bukan manusia asal manusia ... manusia yang bergerak dari tari yang gemulai hingga geliat kesakitan “.

Lebih dari itu menurut pengamatan Gong, karyanya yang puluhan itu bukan sebagian sakit dan sebagian lagi gemulai, melainkan gemulai dan sakit sering menyatu, sehingga dari setiap patung terlahir empati yang kompleks. Dalam kegemulaian terkandung ketegangan ( semangat juang ), dan dalam kekerasan ( tekanan, derita ) terkandung kehalusan ( harapan, kasih ) melalui kelenturan visual.

    “ Ada apa dengan tubuh, seolah anda mau mengungkapkannya habis – habisan ? “ tanya Gong.
    “ Pusat perhatianku sejak dulu memang pada tubuh “. Jawabnya tenang dengan suara khas, sedikit parau tapi tajam.
    “ Tubuh itu sumber gerak. Anda tahu, patung itu barang mati. Untuk menjadi ` hidup `, walau diam freezing moment, ia harus punya daya gerak “.
    “ Caranya ? “.
    “ Wah bung, itu susah dijawab singkat. Kupelajari hal itu puluhan tahun dengan sungguh – sungguh. Itukan perjalanan panjang dan kompleks !. Kuajarkan pada mahasiswa dalam kuliah, latihan dan bimbingan beberapa semester. Itupun masih kurang “.

Perjalanan Dolo memang panjang. Pendidikannya mulai dari Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta ( LPK, kini IKJ ), St. Martin`s School of Art di Inggris, kemudian Piero`s Art Foundry, dan beberapa sekolah seni lainnya di USA. Di IKJ, ia belajar anatomi yang orientasinya pada bentuk ( tubuh ). Ketika di Inggris, ia bilang pelajaran tubuh itu sampai kedalam, bukan sebatas bentuk melainkan sampai pada susunan tulang.

    “ Kuingat ketika menganalisis konstruksi tulang itu sampai mual rasanya karena begitu detail.  Tapi hanya melalui studi seperti itu kita  bisa memahami secara mendalam. Bukan sekedar yang nampak dari luar, melainkan juga yang terjadi disebaliknya.
Pada suatu posisi tubuh, kita harus paham bagian – bagian mana yang tegang dan yang rileks. Luar dan dalamnya “.
    “ Tapi hal itu baru merupakan studi dasar, yang katakanlah sisi objektifnya. Setelah itu kita harus masuk pada tataran interpretasi. Wilayah rasa dan ungkap “ lanjutnya.
    “ Kita sering melewatkan hal yang dasar. Mau ambil jalan pintas seperti menggampangkan hal yang dasar. Akibatnya pemahaman tak mendalam, hasil interpretasinya superfisial. Kita butuh disiplin, kerja serius dan tekun “.
    “ Anda melakukan penelitian untuk itu ? “ Gong bertanya.
Ia sejenak tertegun seperti kena teror psikologis.
    “ Kalo penelitian itu kan akademis “, katanya lirih, “ mungkin tak pernah ya ... aku tak berminat ... anda tahu aku lebih seorang aktivis ketimbang peneliti “.
    “ Tapi “ , sela Gong lagi, “ bukankah untuk melahirkan karya yang banyak itu anda melakukan studi atau pengamatan, baik bentuk maupun isi ? “.
    “ Oh ya ... jelaslah “ seketika Dolo beringas, kemudian menyampaikan seribu-satu  cara, pendekatan bagaimana ia melakukan pengamatan selama puluhan tahun.
Pertanyaan Gong yang tadinya seperti teror, kini balik diberondong dengan seribu peluru pernyataan.


Patung karya Dolorosa Sinaga
Dancing With Joy
    “ Manusia selalu bergerak dengan tubuhnya untuk mengungkapkan beragam ekspresi. Kucoba menangkapnya melalui kepekaanku, mata dan hatiku. Kurenungkan, kukunyah, dan kuinterpretasikan. Mungkin benar, mungkin salah, aku tak tahu. Tapi aku mau jujur dengan kata hatiku. Kejujuran menurutku adalah kebenaran pertama yang bisa kupegang.
Datanglah ke studioku, agar anda lihat langsung karya – karyaku. Disana anda akan tahu apa yang kumaksud. Semangatku selalu menggebu kalau ditanya karya. Tapi ` penelitian `, aku tak tahu maksudnya ! “.
Bagi Dolo, kesadaran dan impiannya adalah karya bukan penelitian. Tetapi jelas bukan berarti ia tidak mencari pengetahuan atau mendalami fenomena. Melalui pengamatan dan perenungan terhadap kondisi sosial, misalnya. Ia bisa melihat bagaimana ganasnya kekerasan politik ( dan militer ).

    “ Kemudian aku dengar suara nuraniku. Tumbuh sikap pribadiku. Teknik patung yang kupelajari, memberi kemampuan ` bahasa ` padaku untuk menyampaikan kata hatiku “.

Ia keliling mengamati realitas sosial, fenomena budaya. Datang ke berbagai wilayah, sengaja maupun tidak. Ia ingin mengetahui hidup, karena hanya dengan itu kita bisa mengerti manusia. Dengan itupula cita – cita yang ingin diraihpun, esensinya adalah kemanusiaan.
Isu pokok yang ia tangkap yang menjadi dasar perjuangannya adalah ketidak adilan. “ Perempuan “ juga menjadi tema utama  karya – karyanya karena banyaknya perlakuan tidak adil tehadap kaum ini ; diskriminasi, kekerasan, manipulasi dan lainnya. Perempuan dianggap kaum lemah, sehingga banyak dijadikan objek bagi kepentingan kaum kuat.
Tari, menurutnya adalah salah satu kesenian yang membutuhkan stamina, endurance tinggi. 

    “ Dengan itu kita bisa menantang asumsi orang banyak terhadap kelemahan fisik perempuan. Lapisan berikutnya, asumsi kelemahan itu bukan hanya pada  fisik, tetapi juga pada kultur, derajat, politik dan lainnya “.
    “ Dari seluruh karyaku, ada 2 patung laki – laki. Salah satunya Wiji Thukul, seorang pejuang demokrasi yang hilang diculik. Wiji juga sama merupakan korban ketidak adilan. Ia dianggap orang kecil, lemah, dianggap tak punya harkat, tetapi membahayakan kokohnya kekuasaan politik “.
    “ Jadi bagiku, intinya bukanlah untuk memenangkan perempuan dari laki – laki  melainkan bagaimana memperjuangkan hak kemanusiaan, melakukan pembelaan terhadap kaum tertindas “.

Jika kita cermati karya – karya Dolo, yang tercuat bukan hanya derita ( suffering ) yang merengek, tetapi juga semacam persuasi untuk menumbuhkan cinta kasih. Keindahan seninya menumbuhkan empati. Itulah pula yang membedakan karya seni dengan demonstrasi politik, atau apalagi perang. Seni memiliki bahasa tersendiri ; bahasa yang mendalam, yang setiap seniman menemukannya berbeda – beda.
Alasan itupula yang membuat Dolo asyik dengan patung kecil. “ Jika kecil, it`s within your reach seperti dalam genggaman. Ketika membuat patung besar, bagiku rasa atau kedekatan diri mulai terintervensi, menjadi lebih berjarak, sehingga spontanitas berkurang “.

Uraian Dolo itu menegaskan bahwa karya seni itu adalah pribadi ; kepribadian yang ditumbuhkan dari interaksi dinamis kemanusiaan, mendidih dalam kancah sosial yang kompleks. Dan, menurutnya juga semangat kasihlah yang bisa membuat didih itu menjadi indah sesuai dengan fitrah umat.


Riwayat Tulisan “ Dolorosa Sinaga : Sebuah Tafsir Dan Praktik “ ;

Diambil dari tulisan “ Dolorosa Sinaga : Sebuah Tafsir Dan Praktik Untuk Riset Seni “    
oleh Endo Suanda, Majalah Gong Edisi 85/VIII/2006.
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.