Social Icons

Selasa, 29 Januari 2013

Budaya Elektronik


            2004 adalah awal bagi kami berkenalan dan bekerja sama dengan media elektronik. Bekerja sama dalam sponsorship peliputan dan promosi acara. Bukan acara seni budaya melainkan perpaduan petualangan, olah raga dan wisata.
Berangkatlah kami menuju Jalan Wonosari  kilo meter 5 dengan sepeda motor. Kami sepenuhnya sadar ketika mengendarai motor. Seolah daya magnetik begitu kuat menarik kami pada suatu tempat. Sebuah tempat yang kehijauan di perbatasan sebuah dusun. Pohon Beringin tua begitu gagah, di sekelilingnya dipagari. Daerah itu sering digunakan untuk tirakat. Banyak bekas Kemenyan, bungkus Dupa, Hio. Menurut warga setempat, Beringin akan tumbuh rindang kehijauan saat Musim Kemarau. Musim Hujan daunnya berguguran. Bersemi kembali ketika Kemarau. Tidak lama kami di tempat itu.
Setelah agak jauh meninggalkan area itu, lamat – lamat tempat itu ternyata berada di bawah Bukit Candi Boko.
Kami lanjutkan perjalanan menuju studio tv lokal. Tv lokal tersebut tergolong pioneer di daerah kami. Baru berbenah segi fisik dan teknis. Bangunan fisik untuk studio masih dikerjakan. Bahkan ketika kami melobby B. Dwi Apriyanti ( sekretaris ), para pekerja masih mengerjakan bangunan bagian dalam.

       
            Mengangkat lokalitas menjadi kekhasan tv lokal, disamping faktor kedekatan geografis ( sense of place ) dan phsikologis ( sense of belonging ).
“ Tradisi Tiada Henti “ begitulah tag line Jogja TV. Tradisi merupakan sistem yang terduplikasi secara turun temurun tentang kebudayaan manusia. Sistem, pranata, kebiasaan, kelakuan kelompok masyarakat dalam jangka waktu dan tempat tertentu. Hal ini tidak serta merta digeneralisir menjadi rumusan yang universal. Setiap orang, tempat mempunyai kebiasaan masing – masing. Orang Jepang terbiasa makan menggunakan sumpit, Orang Jawa menggunakan tangan langsung. Bahkan seluruh daerah di Indonesiapun mempunyai kebiasaan – kebiasaan tersendiri. Multi kultur.
Ruang, waktu, objek yang menjadi setting kebudayaan selalu bergerak dinamis ( tradisi tiada henti ). Dalam pergulatannya, hanya akan terjadi 3 kemungkinan ; sintesa ( budaya baru ), asimilasi ( budaya campuran ), akulturasi ( budaya gabungan ). Ataupun variasi dari ketiganya, pseudo- asimilasi bahkan mengagamakan budaya dan membudayakan agama.


Program Pertukaran Budaya Melalui Media Elektronik


            Budaya Elektronik --- sekiranya begitu saya menyebutnya --- dalam arus gelombang informasi dewasa ini. Ketergantungan atau sebutlah kebutuhan manusia akan Media Elektronik begitu besar. Bagaimana sehari tanpa Media Elektronik ?!.
Masyarakat primitif, ya. Situasi dan kondisi seperti itu tidak bisa di copy paste ( salin tempel ) dalam berbagai lingkungan yang semakin kompleks dan dinamis. Seturut dengan Mc Luhan dengan apa yang disebut “ Media Elektrik “ ( The Electric Media ) yang mengacu pada telegraf, telepon, film, rekaman audio, radio, tv, tv kabel, satelit, kaset video, komputer, fax, telepon seluler, e-mail, data digital, serat optik dan aneka teknologi berbasis komputer yang terkait. Sekarang ini orang karam dan larut dalam tayangan warna – warna, citra, suara, kesan, data cerai berai yang berpusar – pusar menanarkan.
Kita melihat tv hanyalah satu titik cahaya yang bergerak di sepanjang layar dengan sangat cepat hingga menggambarkan suatu objek tertentu ratusan kali sebelum kita sempat menelan cemilan. Kebiasaan orang ketika menonton film ( tv ), selalu ditemani cemilan ( pop corn dan sejenisnya ). menurut Blumler ( 1991 ) ; Television is a business, more or less like any other and broadcasting market, shaped by consumers viewing dicisions, is analogous to a popular democracy, governed by citizens voting decisions.

            Pertukaran merupakan barter. Dalam situasi dan kondisi seperti ini muncullah daya permintaan dan daya tawar terhadap suatu objek ( dalam hal ini ; budaya ). Kecepatan pertukaran informasi mendorong pemahaman yang menyeluruh. Meminimalisir sikap Egosentris dan Etnosentris. Etnosentris menghalangi tumbuhnya pengertian tentang adat istiadat orang lain juga menghalangi tumbuhnya pengertian yang kreatif mengenai kebiasaan dalam kebudayaannya sendiri.
Remaja putri NAD ( Nangroe Aceh Darussalam ) diuber – uber aparat karena tidak memakai jilbab di luar rumah. Hal ini wajar sebab di NAD diterapkan Perda Syari'ah. Orang lain menganggap, berbusana saja kog diatur. Setali dua tali dengan pemilihan kepala daerah di Jogja yang ditetapkan bukan melalui pemilihan. Apakah dengan begitu, Jogja tidak demokratis ?!.
Atau kasus yang lebih hangat tentang pembatalan konser musik Lady Gaga di Indonesia.
Kecepatan pemahaman menimbulkan sikap yang adaptif, persuasif tanpa harus ' merasa ' kehilangan identitas.

            Euforia UU Nomor 32 tahun 2002 diikuti Keputusan Menteri Perhubungan No. 76 Tahun 2003, memunculkan fenomena menjamurnya stasiun Tv Lokal di Indonesia. Sayangnya hal ini tidak diikuti oleh rencana bisnis yang matang (  Television is a business ), program tayang yang berbobot serta jelas dan rencana teknis dari stasiun Tv Lokal.
Banyak yang terinfeksi Jamur beneran karena tidak ada pemasukan dari pemasangan iklan. Spot iklan yang bisa diraup Tv Lokal hanyalah seharga Rp 50 ribu berdurasi 30 detik. Sedangkan untuk spot iklan dalam TV Nasional berdurasi 30 detik mencapai harga Rp 30 juta. Hayotoyoh ?!.
Spot iklan sekarang ini masih bersifat Jakarta centris. Untuk mengatasi kesenjangan itu dikeluarkanlah Peraturan Menkominfo Nomor 43 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Sistem Stasiun Jaringan. 10 stasiun Tv Swasta tidak bisa lagi me-relay langsung  tayangan suatu daerah, kecuali harus bekerja sama dengan Stasiun Tv Lokal setempat. Hal ini memberi kesempatan berbagi spot iklan. Sistem Stasiun jaringan ( SSJ ) bisa ditempuh dengan 3 cara :

  1. TV Swasta bersinergi dengan TV lokal

    Konten acara nasional dan lokal. Per Maret 2012 Kompas TV bersinergi, berjejaring dengan RBTV Jogja. Tayangan Kompas TV bisa dinikmati di RBTV, sementara konten lokal Jogja bisa ditayangkan di Kompas TV. Citra rasa lokal yang menasional. Sharing tentang rancangan teknis dalam penyiaranpun terjadi. TV Swasta yang lebih berpengalaman serta profesional  akan membantu peningkatan kualitas tayangan  TV lokal . Konten boleh lokal tetapi kualitas tetap standart nasional bahkan internasional. Permasalahan kurangnya pemasukan iklan yang sering dialami TV Lokalpun teratasi.
    Akan halnya dengan 10 stasiun Tv Swasta ( Trans TV, Trans 7, Metro TV, Global TV, RCTI, MNC TV,  ANTV, TV One, SCTV dan Indosiar ) masih enggan mempersiapkan Sistem Stasiun Jaringan ( SSJ ). Alasannya jelas, karena Television is a business. Hampir seluruh pelosok Indonesia telah terbangun menara Stasiun Relay dari 10 TV Nasional tesebut. Nilai investasinya sangat tinggi belum ditambah harga tanah. Kredibilatas TV Lokal juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi TV Swasta untuk bermitra.

  2. Jejaring dengan sesama TV Lokal

    Kelompok Media Bali Post dengan Bali TV nya telah memiliki anggota jaringan ; Jogja TV, Bandung TV, Semarang TV, Surabaya TV, Aceh TV, Sriwijaya TV. Program Berita “ Lintas Mancanegara “ dari Bali TV direlay oleh Jogja TV. Networking ini lebih mudah dilakukan ketimbang bersinergi dengan TV Nasional.
    Teknologi Live Streaming juga dipergunakan oleh TV Lokal sekarang ini. Acara Jogja TV juga bisa dinikmati di seluruh Indonesia melaui parabola.

  3. Jejaring TV lokal dengan Media Luar Negeri

    Kata  “ Networking “ sangat disukai oleh orang kaya dan pebisnis. Jaringan ini akan menimbulkan efek ekonomi, pariwisata, sosial dan budaya yang menguntungkan.
stasiun relay tv, menara, relay tv
Stasiun Relay Televisi


Sistem Stasiun jaringan ( SSJ ) merupakan perluasan Sistem Desentralisasi, otonomi daerah dalam bidang penyiaran. Menggali potensi khas suatu daerah untuk memperkaya pembangunan fisik dan mental kebangsaan yang majemuk. Pendekatan Multi kultur melalui Sistem informasi media.
Jikapun pemasukan iklan masih minim, TV lokal masih bisa menempuh cara selain Sistem Siaran Jaringan ( SSJ ). Kembali lagi pada lokalitas itu sendiri (  sense of place and  sense of belonging ), menggandeng Pemerintah daerah setempat untuk bloking acara. Pemerintah daerah pastilah memiliki program yang harus disosialosasikan dan untuk itu mereka membutuhkan media.
             
            Tv lokal setiap daerah akhirnya menjadi pioneer pertukaran acara budaya yang khas dan mendalam. 
Jaringan Kepariwisataan , kebudayaan yang terkonsep secara profesional dengan melibatkan kajian informasi media, Sosiologi, Anthropologi Budaya.
Program pertukaran budaya via Media Elektronik tidak hanya berhenti sebatas peliputan budaya lokal sepintas lalu. Melainkan seturut dengan Holistic Approch terhadap suatu kebudayaan, bersifat empiis, ilmiah kemudian  menjadi bagian dari memori dunia.
Think globally, act localy bukan sekedar wacana.


Bantul, 28 Mei 2012.
   
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.