2004 adalah awal bagi kami
berkenalan dan bekerja sama dengan media elektronik. Bekerja sama dalam
sponsorship peliputan dan promosi acara. Bukan acara seni budaya melainkan
perpaduan petualangan, olah raga dan wisata.
Berangkatlah kami menuju Jalan Wonosari kilo meter 5 dengan sepeda motor. Kami
sepenuhnya sadar ketika mengendarai motor. Seolah daya magnetik begitu kuat
menarik kami pada suatu tempat. Sebuah tempat yang kehijauan di perbatasan
sebuah dusun. Pohon Beringin tua begitu gagah, di sekelilingnya dipagari.
Daerah itu sering digunakan untuk tirakat. Banyak bekas Kemenyan, bungkus Dupa,
Hio. Menurut warga setempat, Beringin akan tumbuh rindang kehijauan saat Musim
Kemarau. Musim Hujan daunnya berguguran. Bersemi kembali ketika Kemarau. Tidak
lama kami di tempat itu.
Setelah agak jauh meninggalkan area itu, lamat – lamat tempat itu
ternyata berada di bawah Bukit Candi Boko.
Kami lanjutkan perjalanan menuju studio tv lokal. Tv lokal tersebut
tergolong pioneer di daerah kami. Baru berbenah segi fisik dan teknis. Bangunan
fisik untuk studio masih dikerjakan. Bahkan ketika kami melobby B. Dwi
Apriyanti ( sekretaris ), para pekerja masih mengerjakan bangunan bagian dalam.
Mengangkat lokalitas menjadi
kekhasan tv lokal, disamping faktor kedekatan geografis ( sense of place ) dan phsikologis ( sense of belonging ).
“ Tradisi Tiada Henti “ begitulah tag line Jogja TV.
Tradisi merupakan sistem yang terduplikasi secara turun temurun tentang
kebudayaan manusia. Sistem, pranata, kebiasaan, kelakuan kelompok masyarakat
dalam jangka waktu dan tempat tertentu. Hal ini tidak serta merta digeneralisir
menjadi rumusan yang universal. Setiap orang, tempat mempunyai kebiasaan masing
– masing. Orang Jepang terbiasa makan menggunakan sumpit, Orang Jawa
menggunakan tangan langsung. Bahkan seluruh daerah di Indonesiapun mempunyai
kebiasaan – kebiasaan tersendiri. Multi kultur.
Ruang,
waktu, objek yang menjadi setting kebudayaan selalu bergerak dinamis ( tradisi
tiada henti ). Dalam pergulatannya, hanya akan terjadi 3 kemungkinan ; sintesa
( budaya baru ), asimilasi ( budaya campuran ), akulturasi ( budaya gabungan ).
Ataupun variasi dari ketiganya, pseudo-
asimilasi bahkan mengagamakan budaya dan membudayakan agama.
Program Pertukaran Budaya Melalui Media Elektronik
Budaya
Elektronik --- sekiranya begitu saya menyebutnya --- dalam arus gelombang
informasi dewasa ini. Ketergantungan atau sebutlah kebutuhan manusia akan Media
Elektronik begitu besar. Bagaimana sehari tanpa Media Elektronik ?!.
Masyarakat
primitif, ya. Situasi dan kondisi seperti itu tidak bisa di copy paste ( salin tempel ) dalam
berbagai lingkungan yang semakin kompleks dan dinamis. Seturut dengan Mc Luhan
dengan apa yang disebut “ Media Elektrik “ ( The Electric Media ) yang mengacu pada telegraf, telepon, film,
rekaman audio, radio, tv, tv kabel, satelit, kaset video, komputer, fax,
telepon seluler, e-mail, data digital, serat optik dan aneka teknologi berbasis
komputer yang terkait. Sekarang ini orang karam dan larut dalam tayangan warna –
warna, citra, suara, kesan, data cerai berai yang berpusar – pusar menanarkan.
Kita
melihat tv hanyalah satu titik cahaya yang bergerak di sepanjang layar dengan
sangat cepat hingga menggambarkan suatu objek tertentu ratusan kali sebelum
kita sempat menelan cemilan. Kebiasaan orang ketika menonton film ( tv ),
selalu ditemani cemilan ( pop corn dan
sejenisnya ). menurut Blumler ( 1991 ) ; Television
is a business, more or less like any other and broadcasting market, shaped by
consumers viewing dicisions, is analogous to a popular democracy, governed by
citizens voting decisions.
Pertukaran merupakan barter. Dalam
situasi dan kondisi seperti ini muncullah daya permintaan dan daya tawar
terhadap suatu objek ( dalam hal ini ; budaya ). Kecepatan pertukaran informasi
mendorong pemahaman yang menyeluruh. Meminimalisir sikap Egosentris dan
Etnosentris. Etnosentris menghalangi tumbuhnya pengertian tentang adat istiadat
orang lain juga menghalangi tumbuhnya pengertian yang kreatif mengenai
kebiasaan dalam kebudayaannya sendiri.
Remaja
putri NAD ( Nangroe Aceh Darussalam ) diuber – uber aparat karena tidak memakai
jilbab di luar rumah. Hal ini wajar sebab di NAD diterapkan Perda Syari'ah.
Orang lain menganggap, berbusana saja kog diatur. Setali dua tali dengan
pemilihan kepala daerah di Jogja yang ditetapkan bukan melalui pemilihan.
Apakah dengan begitu, Jogja tidak demokratis ?!.
Atau
kasus yang lebih hangat tentang pembatalan konser musik Lady Gaga di Indonesia.
Kecepatan
pemahaman menimbulkan sikap yang adaptif, persuasif tanpa harus ' merasa '
kehilangan identitas.
Euforia UU Nomor 32 tahun 2002
diikuti Keputusan Menteri Perhubungan No. 76 Tahun 2003, memunculkan fenomena
menjamurnya stasiun Tv Lokal di Indonesia. Sayangnya hal ini tidak diikuti oleh
rencana bisnis yang matang ( Television is a business ), program
tayang yang berbobot serta jelas dan rencana teknis dari stasiun Tv Lokal.
Banyak
yang terinfeksi Jamur beneran karena tidak ada pemasukan dari pemasangan iklan.
Spot iklan yang bisa diraup Tv Lokal hanyalah seharga Rp 50 ribu berdurasi 30
detik. Sedangkan untuk spot iklan dalam TV Nasional berdurasi 30 detik mencapai
harga Rp 30 juta. Hayotoyoh ?!.
Spot
iklan sekarang ini masih bersifat Jakarta centris. Untuk mengatasi kesenjangan
itu dikeluarkanlah Peraturan Menkominfo Nomor 43 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Sistem Stasiun Jaringan. 10 stasiun Tv Swasta tidak
bisa lagi me-relay langsung tayangan suatu daerah, kecuali harus bekerja
sama dengan Stasiun Tv Lokal setempat. Hal ini memberi kesempatan berbagi spot
iklan. Sistem Stasiun jaringan ( SSJ ) bisa ditempuh dengan 3 cara :
- TV Swasta bersinergi
dengan TV lokal
Konten acara nasional dan lokal. Per Maret 2012 Kompas TV bersinergi, berjejaring dengan RBTV Jogja. Tayangan Kompas TV bisa dinikmati di RBTV, sementara konten lokal Jogja bisa ditayangkan di Kompas TV. Citra rasa lokal yang menasional. Sharing tentang rancangan teknis dalam penyiaranpun terjadi. TV Swasta yang lebih berpengalaman serta profesional akan membantu peningkatan kualitas tayangan TV lokal . Konten boleh lokal tetapi kualitas tetap standart nasional bahkan internasional. Permasalahan kurangnya pemasukan iklan yang sering dialami TV Lokalpun teratasi.
Akan halnya dengan 10 stasiun Tv Swasta ( Trans TV, Trans 7, Metro TV, Global TV, RCTI, MNC TV, ANTV, TV One, SCTV dan Indosiar ) masih enggan mempersiapkan Sistem Stasiun Jaringan ( SSJ ). Alasannya jelas, karena Television is a business. Hampir seluruh pelosok Indonesia telah terbangun menara Stasiun Relay dari 10 TV Nasional tesebut. Nilai investasinya sangat tinggi belum ditambah harga tanah. Kredibilatas TV Lokal juga menjadi pertimbangan tersendiri bagi TV Swasta untuk bermitra.
- Jejaring dengan sesama
TV Lokal
Kelompok Media Bali Post dengan Bali TV nya telah memiliki anggota jaringan ; Jogja TV, Bandung TV, Semarang TV, Surabaya TV, Aceh TV, Sriwijaya TV. Program Berita “ Lintas Mancanegara “ dari Bali TV direlay oleh Jogja TV. Networking ini lebih mudah dilakukan ketimbang bersinergi dengan TV Nasional.
Teknologi Live Streaming juga dipergunakan oleh TV Lokal sekarang ini. Acara Jogja TV juga bisa dinikmati di seluruh Indonesia melaui parabola.
- Jejaring TV lokal dengan
Media Luar Negeri
Kata “ Networking “ sangat disukai oleh orang kaya dan pebisnis. Jaringan ini akan menimbulkan efek ekonomi, pariwisata, sosial dan budaya yang menguntungkan.
Sistem
Stasiun jaringan ( SSJ ) merupakan perluasan Sistem Desentralisasi, otonomi
daerah dalam bidang penyiaran. Menggali potensi khas suatu daerah untuk memperkaya
pembangunan fisik dan mental kebangsaan yang majemuk. Pendekatan Multi kultur
melalui Sistem informasi media.
Jikapun
pemasukan iklan masih minim, TV lokal masih bisa menempuh cara selain Sistem
Siaran Jaringan ( SSJ ). Kembali lagi pada lokalitas itu sendiri ( sense
of place and sense of belonging ), menggandeng
Pemerintah daerah setempat untuk bloking acara. Pemerintah daerah pastilah
memiliki program yang harus disosialosasikan dan untuk itu mereka membutuhkan
media.
Tv lokal setiap daerah akhirnya
menjadi pioneer pertukaran acara
budaya yang khas dan mendalam.
Jaringan
Kepariwisataan , kebudayaan yang terkonsep secara profesional dengan melibatkan
kajian informasi media, Sosiologi, Anthropologi Budaya.
Program
pertukaran budaya via Media Elektronik tidak hanya berhenti sebatas peliputan
budaya lokal sepintas lalu. Melainkan seturut dengan Holistic Approch terhadap suatu kebudayaan, bersifat empiis, ilmiah
kemudian menjadi bagian dari memori
dunia.
Think globally, act localy bukan sekedar wacana.
Bantul, 28 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.