Social Icons

Selasa, 30 Juli 2013

Pertautan Study Islam dan Antropologi [ 1 ]


Benarkah Ada Bid'ah Dalam Kebudayaan ? :
Pertautan Dirasat Islamiyyah ( Study Islam ) dan Antropologi

Agama selalu mencakup dua entitas yang tidak dapat dipisahkan tetapi bisa dibedakan. Yaitu normativitas ( teks, ajaran, beliefs, dogma ) dan juga historisitas ( praktik dan pelaksanaan ajaran, teks, beliefs, dogma tersebut dalam kehidupan konkret di lapangan, seperti di lingkungan kehidupan komunitas ( organisasi sosial keagamaan, organisasi profesi ), masyarakat pedesaan ( rural ) atau masyarakat perkotaan ( urban ), situasi konteks politik ( rezim pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi ), jaman yang berbeda ( abad tengah, modern, post modern ), tingkat pendidikan yang berbeda ( Pesantren, MI, MTS, Aliyah, atau SD, SMP, dan SMA dan lebih - lebih S1, 2, dan 3 di perguruan tinggi dan otodidak ), pelatihan atau training ( halaqah, tarbiyah, pengajian majlis taklim ), pendidikan umum dan pendidikan agama, pesantren kilat dan begitu seterusnya. Bahkan sekarang ada yang merasa cukup lewat internet, situs - situs, e book dan begitu seterusnya.
 
Nyadran, Tradisi Menyambut Ramadhan
Studi Agama dan Studi Islam kontemporer perlu memperhatikan dua entitas tersebut dengan cermat, sehingga para dosen, mahasiswa dan peminat studi agama dan studi Islam tidak terkejut - kejut dan tidak perlu kecewa. Apalagi marah - marah meluapkan emosi, jika terjadi dan menjumpai " perbedaan tafsir keagamaan " pada level historisitas, meskipun idealnya memang tidak perlu adanya perpecahan karena bersumber dari sumber ajaran normative yang sama, yaitu teks - teks dan nash - nash Al Qur'an dan Al Sunnah. Realitas seperti ini berlaku untuk semua penganut - penganut agama besar dunia, baik yang Abrahamik ( Yahudi, Kristen, Islam ) maupun agama - agama non Abrahamik ( Hindu, Budha, Konghucu, Sikh, Bahai dan lain - lain ), serta tradisi - tradisi atau agama lokal yang lain selain yang disebut diatas.

Lantaran rumit dan kompleksnya situasi yang dihadapi maka pendekatan antropologi terhadap agama diperlukan untuk memberi wawasan keilmuan yang lebih komprehensif tentang entitas dan substansi agama yang sampai sekarang masih dianggap sangat penting untuk membangun kehidupan pribadi, komunitas, sosial, politik, maupun budaya para penganutnya. Diperlukan 'peta' wilayah yang cukup jelas sebelum masuk ke jantung kota yang sangat kompleks, minimal untuk mengetahui jalan - jalan protokol supaya tidak tersesat jalan, syukur kalau dapat diperoleh dan dilengkapi peta yang lebih detil sampai menjangkau jalan - jalan kecil, gang - gang, nomor rumah yang dituju begitu seterusnya. Pendekatan Antropologi terhadap entitas keberagaman dan entitas ke-Islaman adalah ibarat pembuatan peta yang dimaksud.
Pendekatan Antropologi bersifat deskriptif, melukiskan apa adanya dari realitas yang ada, dan bukannya normatif, dalam arti tidak ada keinginan dari si pembuat peta untuk mencoret, menutup atau tidak menggambar atau menampilkan alur jalan yang dianggap kira - kira tidak enak atau berbahaya untuk dilalui. Pendekatan Antropologi bersifat jujur, apa adanya, tanpa adanya muatan interes - interes atau kepentingan tertentu ( golongan, sekte, organisasi, ras, etnis, agama, gender, minoritas-mayoritas ) untuk tidak membuat peta ( keagamaan manusia ) apa adanya. Disini bedanya dari corak pendekatan Teologi ( dalam Kristen ) atau Kalam dan Fiqih ( dalam Islam ) lama, yang kadang tidak ingin menampilkan gambar dan peta keagamaan apa adanya karena adanya interes - interes golongan keagamaan ( sekte, mahdzab, organisasi politik keagamaan ) seperti penekanan pentingnya pada sejarah penyelamatan ( salvation history ) yang ditawarkan dan diklaim hanya dimiliki oleh agama tertentu dengan mengesampingkan agama - agama lain, sehingga peta atau gambar yang dibuat menjadi kabur dan tidak begitu jelas untuk melihat agama - agama secara utuh-komprehensif.


Ciri Fundamental Cara Kerja Pendekatan Antropologi


Setidaknya ada 4 ciri fundamental cara kerja pendekatan antropologi terhadap agama.

Pertama, bercorak descriptive, bukannya normatif. Pendekatan Antropologi bermula dan diawali dari kerja lapangan ( field work ), berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang diamati dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam. Inilah yang biasa disebut sebagai thick description ( pengamatan dan observasi di lapangan yang dilakukan secara serius, terstruktur, mendalam dan berkesinambungan ). Thick description dilakukan dengan cara antara lain living in, yaitu hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari - hari mereka dalam waktu yang cukup lama. Bisa berhari - hari, berbulan - bulan, bahkan bisa bertahun - tahun, jika ingin memperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademik. John R Bowen, misalnya, melakukan penelitian antropologi Masyarakat Muslim Gayo, di Aceh, Sumatra, selama bertahun - tahun ( John R Bowen, 2002. Religions in Practice : An Approach to Anthropology of Religion. Boston : Ally and Bacon, h.2 ). Begitupula yang dilakukan oleh antropolog kenamaan yang lain, seperti Clifford Geertz. Field note research ( penelitian melalui pengumpulan catatan lapangan ) dan bukannya studi teks atau pilologi seperti yang biasa dilakukan oleh para oeientalis adalah adalan utama antropolog. Talal Asad menggambarkan kerja antropologi sebagai berikut ;
" Anthropologist who seek to describe rather than to moralize will consider each tradition in its own term-even as it has come to be reconstituted by modern force --- in order to compare and contrast it with others. More precisely, they will try to understand ways of reasoning characteristic of given traditions. Such anthropologist will also need to supress their personal distaste for particular traditions if they are to understand them. Beyond that, they should learn to treat some of their own enlightenment assumptions as belonging to specific kinds of reasoning- albeit kinds of reasoning that have largely shape our modern world- and not as the ground from which all understanding of non-enlightenment traditions must begin ". ( Talal Asad, 1993. Genealogist of Religion : Discipline and Reason of Power in Christianity and Islam. Baltimore and London : The Johns Hopkins University Press, h.200 ).
Kedua, yang terpokok dilihat oleh pendekatan antropologi adalah local practice, yaitu praktek konkret dan nyata di lapangan. Ketika disebut local practice ( praktik - praktik keagamaan lokal, sebagai hasil interpretasi para aktor di lapangan ketika berjumpa dengan tradisi dan adat setempat-lokal ), maka disinilah masalah terbesar --- untuk tidak menyebutnya ketegangan --- dalam studi Islam muncul.
Dalam Studi Islam, khususnya dalam literatur Hadits dikenal istilah " bid'ah "--- baik yang Hasanah maupun Sayyiah. Dengan sedikit menyederhanakan, praktik lokal dianggap keluar dari ajaran Islam yang otentik, sedangkan menurut antropologi justru praktik lokal inilah yang harus diteliti dan dicermati dengan sungguh - sungguh untuk dapat memahami tindakan dan kosmologi keagamaan manusia secara lebih utuh. Praktik hidup yang dilakukan sehari - hari, agenda mingguan, bulanan dan tahunan, lebih - lebih ketika manusia melewati hari - hari atau peristiwa - peristiwa penting dalam menjalani kehidupan. Ritus - ritus atau amalan - amalan apa saja yang dilakukan untuk melewati peristiwa - peristiwa penting dalam kehidupan tersebut ( rites de pessages ) ?. Peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian, penguburan. Apa yang dilakukan manuasia ketika menghadapi dan menjalani ritme kehidupan yang sangat penting tersebut ?.

Ketiga, antropologi selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antar berbagai kehidupan secara lebih utuh ( connections across socials domains ). Bagaimana hubungan anatara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya, dan politik. Kehidupan tidak dapat dipisah - pisah. Keutuhan dan saling keterkaitan antar berbagai domain kehidupan manusia. Hampir - hampir tak ada satu domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri, terlepas dan tanpa terkait dan terhubung dengan lainnya.





Riwayat Tulisan “ Pertautan Study Islam dan Antropologi [ 1 ] “

Diadaptasi dari : M. Amin Abdullah. 2011. “ Benarkah Ada Bid'ah dalam Kebudayaan ? : Pertautan Dirasat Islamiyyah dan Antropologi ( 1 ) “. Dalam : Majalah Suara Muhammadiyah ( Edisi No. 05/ Th. Ke-96, 1-15 Maret 2011 ), h. 56-57. Yogyakarta : Yayasan Badan Penerbit Pers Suara Muhammadiyah.
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.