Social Icons

Selasa, 27 November 2012

Rumah Kita Sendiri


Seperti memutar kembali kisah – kisah lama ; Romeo – Juliet, Laila – Majnun, Sampek – Engtay, Pronocitro – Roro Mendut, Rama – Shinta, Panji – Candra Kirana, Panji – Prasasti. Yang terakhir pasti masih asing karena memang tidak terkenal. Sejarah luput mencatatnya. Padahal, “ Semua mendapat tempat, semua harus dicatat “ seloroh Chairil Anwar.
Memaknai rahasia tentang relasi manusia antar manusia, manusia dengan Sang Penguasa ( pemimpin, Tuhan ) juga keterkaitan dengan alam sebagai setting cerita. Sebuah cerita yang selalu direproduksi oleh zaman untuk menimbulkan harapan. Mungkin segelintir manusia sudah terlalu bosan dengan cerita yang itu – itu saja. Namun itulah balutan emosi.
Cerita ini dimulai dari sebuah rumah tradisional. Konsep konstruksi bangunan rumah nenek moyang yang sederhana namun tahan gempa. Joglo, Kampungan ( Pelana ), Limasan merupakan bentuk rumah tradisional Jawa. Senthong, gandhok, pendapa, emper, pringgitan, patehan merupakan bagian dalam Rumah Tradisional Jawa yang khas.
Jika kita perhatikan bangunan rumah, ada sebuah ruang yang terbentuk dari “ ketiadaan “. Terbentuk secara otomatis dari “ keadaan “ ruang sebelumnya. Bahkan kita akan kesulitan menjelaskan bentuknya. Bentuknya menurut bentuk sebelumnya yang tercipta ataupun menurut otak kita masing – masing. Ruang itu adalah “ longan dan tritisan “. Saya sulit mencari padanan kata yang pas untuk “ longan “ ( Bahasa Jawa ) kedalam Bahasa Indonesia. Kata yang paling mendekati “ longan “ adalah “ kolong “. Pada kasus “ kolong meja, kolong tempat tidur, kolong jembatan “. Kata “ kolong “ ketika ditransfer kedalam Bahasa Inggris berarti “ under “.
Secara sederhana “ longan ( kolong ) “ merupakan ruang yang terbentuk dibawah benda lain yang berongga ( dipan, meja, kursi, dll ). Dalam Tata Bahasa Jawa sering dijumpai kata yang sebenarnya salah kaprah tetapi telah menjadi kebiasaan, dimengerti untuk itu dimaklumi saja penggunaannya. Sebagai contoh ; sor longan. Menurut definisi sederhana mengenai “ longan ( kolong ) “, jelaslah bahwa ruang itu terletak dibawah ( sor ) benda lain yang berongga. Sor longan ( dibawah longan atau kolong ). Longan ( kolong ) bukan hanya masalah pendekatan bahasa ataupun menunjuk letak ( atas, tengah, bawah, samping, dsb ) seperti arah mata angin.
Lalu kita akan bermain – main antara ; ketiadaan --- ke-ada-an --- keberadaan dengan pembahasan yang lebih meluas dan mendalam lagi.
Longan dan tritisan. Tritisan terbentuk dengan masih adanya sedikit ( terkadang memang ) menggunakan rumus perhitungan dalam konstruksi atap rumah. Bisa dikatakan semi otomatis terbentuk.
Dalam pola pikir matrealis, suatu bentuk ( rumah ) harus memiliki rumus perhitungan yang pasti tentang konstruksinya. Petungan Jawi tentang rumah merupakan rumus pasti yang memuat unsur fisik, emosi ( batin ) dan spiritual ( Tuhan, alam ). “ Pasti “ disini dapat berarti bisa dijadikan acuan dasar. Mirip dengan Metode Feng Shui.
Bukankah yang dinamakan logis itu adalah sesuatu yang memiliki rumus – rumus tertentu ?!.
Seluruh komponen dalam pembangunan rumah tradisional di Indonesia selalu berusaha disinergikan dengan alam. Bahan – bahan alam yang dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi. Kayu, bambu, batu, tanah, Rumbia ( Daun Tebu ), Duk ( Tali Ijuk ) dan lainnya.


Rumah Sebagai Investasi

Kebutuhan pokok manusia mengenan sandang, pangan, papan ( pakaian, bahan makanan, tempat tinggal ) semakin berkembang. Khususnya papan, merebaknya fenomena Perumnas ( Perumahan Umum Nasional ), Perum tipe RSS ( Rumah Sangat Sederhana ), Rusun ( Rumah Susun ), Ruko ( Rumah Toko ), Apartement ( kondominium ), hotel, villa, home stay, rumah kontrakan, kost – kostan ataupun jugend herberge ( pondok remaja ) penginapan murah yang berkembang di Jerman, Swiss dan sekitarnya.
Peluang dan kesempatan ini ditangkap begitu cepat oleh pelaku bisnis properti bahkan masyarakat awam. Tempat belajar ( sekolahan, kampus ), tempat kerja dan tmpat wisata memberikan nilai ekonomi tersendiri bagi masyarakat sekitarnya. Banyak OKB ( Orang Kaya Baru ) dengan menyulap rumahnya menjadi rumah kontrakan, kost ataupun home stay. Ada juga yang secara sengaja membangun fasilitas tersebut karena memang tergiur prospek bisnisnya.
Di Cikupa ( Tangerang ), pengembangan Perum Citra Raya semakin meminggirkan penduduk lokal. Penduduk lokal semakin terpojok di daerahnya sendiri. Tetapi itulah paradoksal pembangunan !.
Menarik dicermati mengenai pengembang besar yang gencar berpromosi di Media Massa dengn berbagai cara. Konsep hunian yang bertaraf internasional, menawarkan fasilitas – fasilitas lengkap, tempat yang strategis dan tentunya dengan sisitem kredit pembelian yang menggiurkan.
Sekitar 2010, saya datang ke Kantor Pemasaran Citra Raya. Pada awalnya memang hanya iseng. Ingin mencari informasi Ruko dua lantai yang terletak di kawasan strategis. Pihak marketing ( kebetulan wanita ) mengajak mensurvey langsung Ruko yang ditawarkan. Ruko dua lantai siap pakai, masih free ( satu – satunya yang belum dipesan ) dekat Hook kanan di kawasan Mardi Gras, Citra Raya. Saya berbincang – bincang cukup lama sambil observasi lapangan. Aku bermaksud membelinya secara tunai dan sah tentu saja. Cash lunak Ruko dua lantai ditawarkan dengan harga Rp 900 juta, padahal budgetku hanya Rp 500 – 600 juta. Lantas kredit ?!.
Pada akhirnya memang tetap hanya iseng saja. Namanya juga iseng.
Kebutuhan akan bangunan sebagai hunian ataupun bisnis yang meningkat berdampak melambungnya harga tanah. Sampai tidak menginjak tanah barangkali. Apalagi tanah di daerah strategis. Namun perkara rumah adalah masalah gaya hidup. Gaya hidup ditentukan kebiasaan. Kadang keterpaksaan menjadi kebiasaan.


Karana Wisma, Gesang Langkung Tumata

Pernahkah suatu ketika kita mengamati anak – anak yang sedang menggambar bebas ?!. Objek gambarnya pasti tidak jauh dari visualisasi gunung, sawah dan rumah. Atau anda lagi senyum – senyum sendiri mengingat masa kanak serta sering menggambar objek itu juga ?!.
Apa bagian terpenting yang harus ada dalam gambar ataupun membuat rumah ?!.
Pintu, jendela, atap, dinding dan pasti ada sesuatu yang terlupa. Ya, fondasi rumah !.
Apa artinya ?!. Silakan anda lanjutkan tersenyum lagi.
Kebutuhan akan sandang, pangan, papan ternyata ( setidaknya ) bisa dikemas dalam konsep 3 in 1. sandang, pangan, papan terpenuhi dalam media bambu.


Papan ( Tempat Tinggal )

Gempa Bumi DIY dan Jawa Tengah 27 Mei 2006 mengakibatkan kerugian materiil dan non materiil. Masyarakat banyak kehilangan tempat tinggal. Luluh lantak diterjang gempa.
Hunian sementara ( HS, Huntara ) harus segera dipenuhi sebelum masyarak menerima bantuan rekonstruksi dari pemerintah ( rumah permanen ). Menjawab kebutuhan tersebut, PMI ( Palang
Merah Indonesia ) bekerja sama dengan Japan Red Cross Society membuat serta mengaplikasikan Program Early Recovery “ Omang ing Mongso Rendheng “. Bertujuan memindahkan segera masyarakat yang masih tinggal di tenda kedalam Hunian Sementara ( yang lebih layak ditinggali ) sebelum Musim Penghujan tiba juga sebagai transit sambil menunggu bantuan rekonstruksi ( rumah permanen ) selesai dibangun. Tidak ada relokasi penduduk karena lokasi disekitar reruntuhan masih bisa dikondisikan dan bekas – bekas bahan bangunan masih bisa dimanfaatkan.
Bulan Juli, program tersebut mulai dilaksanakan. Mengambil Pilot Project di Kecamatan Dlingo, Bantul, DIY dan Kecamatan Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah. Hunian sementara 6 X 4 M, berbentuk Limasan bambu, beratap genting dan tentunya konstruksi tahan gempa. Model bangunan rakitan memungkinkan untuk dipindah ke tempat lain.
Sistem pengerjaannya dilakukan dengan gotong royong. Setiap RT ( Rukun Tetangga ) dibentuk Panitia Pelaksana ( 3 orang, salah satunya harus wanita ) untuk mengawasi penerjaan dan kegiatan yang bersifat administratif. Dana bantuan ditransfer ke rekening bersama panitia pelaksana masing – masing RT secara bertahap. Tahap pertama khusus alat penunjang pembangunan dan tahap selanjutnya dana pembangunan hunian sementara.
Relawan PMI bekerja sama dengan relawan dari Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta ( UAJY ) bertugas dalam pengumpulan data, survey penerima bantuan ( assessment ), tahap sosialisasi ( sosialisasi Program Early Recovery, pembentukan panitian pelaksana, pembukaan rekening bersama, pengajuan proposal, dll ) , memobilisasi masyarakat, monitoring ( administrasi dan pembangunan ), sampai tahap evaluasi pelaksanaan. Relawan tinggal 24 jam bersama penduduk. Mayoritas relawan juga korban gempa. Baik kehilangan tempat tinggal, keluarga ataupun harta benda. Menekan perasaan lalu dengan segera memunculkan jiwa – jiwa kerelawanan dan kemanusiaan. Hal ini merupakan bagian dari kesiap siagaan bencana.

Rumah Limasan Bambu Tahan Gempa, Rumah Tradisional Jawa, Shelter, Konstruksi Tahan Gempa, Bamboo System
Rumah Limasan Bambu Tahan Gempa

Di Indonesia hanya ada dua jenis bambu yang cocok untuk pembuatan hunian sementara. Bambu Petung atau Betong ( Dendrocalamus Asper ), baik untuk komponen struktur rumah. Misalnya kolom dan bagian – bagian lain dari bangunan yang akan menerima tekanan kuat. Diameter Bambu Petung lebar dan kuat.
Jenis yang kedua adalah Bambu Apus atau Bambu Tali ( Gigantochloa Apus ). Cocok untuk konstruksi dinding, pintu, jendela, perabot, kerangka atap dan bagian – bagian lain dari struktur yang mendapat tegangan kuat karena diameter Bambu Apus yang lebih kecil dan kelenturannya.
Kedua jenis bambu ini dapat bertahan sampai 7 tahun atau lebih tanpa perawatan, jika pemotongan dan pengeringan dilakukan secara benar.
Bambu menjawab kebutuhan akan papan. Jika dikaitkan dengan rumah sebagai investasipun, media bambu bisa dijadikan bahan baku konstruksi gazebo atau home stay di desa wisata. Juga nilai ekonomi lainnya.


Pangan ( Bahan Makanan )

Pernahkan anda mencicipi atau setidaknya mendengar tentang Sayur Rebung ( tunas bambu muda ) ?!.
ketahanan pangan nasional yang didukung oleh bahan pangan lokal. Bagi orang yang sinis, bolehlah mengatakan bahwa Sayur Rebung itu akibat saking gragas dan kere nya Masyarakat Jawa.
Begitulah manusia sebagai Omnivora.

Sayur Rebung, Bahan Pangan Lokal, Rebung, Bambu
Sayur Rebung Pedas
Sayur Rebung, Rebung, bambu, bahan pangan Lokal,
Sayur Rebung Asam

Sandang ( Pakaian )


Budaya Back to nature, pola pikir dan perilaku yang serba organik sedang digandrungi. Kealamian lebih menyehatkan. Gaya hidup yang serba organik ini meluas ke segala bidang, tak terkecuali dalam mode berpakaian ( Eco Fashion ). Sudah banyak yang memanfaatkan Serat Bambu sebagai gaya berbusana yang ramah lingkungan.


Bambu, sesuatu yang murah ( tapi tidak murahan ), bersahabat, merakyat, mudah didapat, renewable dan bernilai ekonomi tinggi.
Sejak dahulu sampai sekarang, tempat kita tinggal sebenarnya adalah alam. Kembali ke alam menjadi alami dan manusiawi.
Terima kasih telah membaca cerita Panji – Prasasti membangun rumah tangga.



Bantul, Minggu Pon, 25 November 2012.



Catatan Akhir


  • Judul tulisan ini “ Rumah Kita Sendiri “ terinspirasi dari lagu ini
  • Bulan Juli – Agustus 2006, saya bersama beberapa relawan PMI Bantul ditugaskan ke Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah. Keadaan rumah waktu itu masih belum terkondisikan. Rumah kami hancur total. Nenek luka dikepala dengan beberapa jahitan, adikku terluka di kaki, walaupun sempat tertimpa reruntuhan bangunan rumah tapi Alhamdulillah, bapak masih terselamatkan, sedang ibu sehat – sehat saja. Saya sendiri tidak mengalami trauma, dan sebenarnya tidak “ mengalami “ gempa itu sendiri. Karena waktu gempa , aku sedang dalam perjalann pulang kerumah. Menyaksikan sendiri bangunan – bangunan roboh, darah, orang – orang menjerit terkapar di jalanan. Segala pikiran berkecamuk, bagaimana keaadaan di rumah ?!.

     
  • Dua hari sebelum gempa bumi terjadi, aku bermimpi masuk masjid ( tepatnya Mushola Al Fuqoro' ) di Jejeran, Plered ) dekat rumah temanku. Berniat akan sholat tapi tiba – tiba seluruh ruangan bergetar. Di rumah temanku ( Jejeran, Plered ) itu juga kejadian gempa itu terjadi 2 hari setelah mimpiku. Jika terlambat 5 menit saja, tidak keluar rumah pasti aku sudah terkubur rerutuhan bangunan. Keluarga temanku selamat kecuali ibunya. Saya begitu dekat dengan keluarga itu. Hubungan persahabatan kami lahir batin sampai anggota keluarga lainnya. Sudah seperti keluarga dekat.
  • Di Desa Muruh, Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah aku ditugaskan. Masyarakat mayoritas beragama Kristen dan Katholik. Perbedaan tidak penting, karena kita sama dihadapan kemanusiaan. Mungkin hanya bencana, sepak bola yang menyatukan seluruh emosi, pikiran dan tenaga Manusia Indonesia untuk bersatu. Tanpa mengecilkan orang – orang yang selalu menghargai dan memperjuangkan kemanusiaan, pluralisme yang mendalam. Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, sebab rumah kita sebenarnya adalah Indonesia. Indonesia yang semata wayang. Negeri yang sekarang kita kritik habis – habisan itu. Negeri yang masih ( tetap ) menyimpan berjuta harapan untuk terus tumbuh.
  • Pasca di Gatiwarno, berturut – turut aku ditugaskan ke Dlingo ( Bantul ), Imogiri ( Bantul ), Sewon ( Bantul ). Saya dan teman – teman relawan, mayoritas tidak mendapat bantuan hunian sementara dari PMI. Daerah kami juga termasuk daerah yang parah terkena dampak gempa. Tetapi kami mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai dari itu semua. Teramat banyak dan membekas berulang - ulang hingga kami terasa kelu untuk menyebutkannya satu demi satu.





by Facebook Comment

Artikel Terkait

2 komentar:

  1. Sungguh cerita yg haru !, realitas & imaji bergelut begitu ulet.
    Sudut pandang yg aneh !.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seaneh yang komen ya ?!. Kapan aku bisa mampir ke berandamu ?!.

      Hapus

Komentar anda akan memperkaya wawasan.