Klaim
identitas atau status dalam kaos oblong bersifat ambigu, dalam
terminologi
Umberto Eco { 1979 }
,
representasinya selalu bersifat under
coded.
Berhubungan secara synecdochical { satu bagian dari kaos mewakili
keseluruhan
kepribadian seseorang } dengan pengalaman, relasi sosial,
nilai
atau status yang diklaim secara eksplisit maupun implisit oleh
pemakainya.
Senada
dengan hal itu, Orang Jawa sering menilai kepribadian seseorang dari
pakaian yang dikenakan. Tidak serta merta pilihan itu berkorelasi
dengan benar atau salah. Lebih pada persoalan penerapan antara pas
tidak pas, sesuai dan tidak sesuai. Ketersesuaian dengan waktu,
tempat, subjek, objek dan fungsinya. Aturan, norma – norna yang
berlaku di masyarakat, kebiasaan, agama turut memperkaya penilaian
dan identitas kaos oblong. Mode dan budaya konsumtif.
Mode
merupakan satu kecenderungan berperilaku yang sedang mewabah (
nge-trend ) di masyarakat. Menyangkut berbagai hal ; mode fashion,
mode kegiatan – kegiatan outdoor, mode rambut, dll. Dalam budaya
konsumtif yang berlebihan dan arti yang lebih luas, kita secara sadar
dan terus – menerus diseret kedalam arus mode. Seolah mode
merupakan salah satu cara mengidentifikasikan diri agar
eksisitensinya diakui. Semacam proses yang dinamakan " pencarian
jati diri ".
namun
hal itu juga yang diharapkan dari para pelaku bisnis. Menjadikan
manusia sebagai korban mode. Lebih tepatnya, menjadikan wanita
sebagai korban mode ( khususnya fashion ). bukan lagi konsep ada uang
ada barang, melainkan berkembang kearah ada ide bisa dijadikan barang
dan uang.
Mode
adalah gaya dan perilaku, sedangkan perilaku ditentukan oleh
pemikiran ( ide, gagasan ) yang akhirnya menjadi kerutinan, kebiasaan
yang membudaya. Membudaya, terus berkembang dan dinamis.
Sejarah
Kaos Oblong
Kaos
diknal dunia lewat John Wayne, Marlon Brando dan James Dean yang
memakai pakaian dalam tersebut untuk pakaian luar di film – film
mereka. Dalam A Street Car Named Desire ( 1951 ), Marlon Brando
membuat gadis – gadis histeris dengan kaos oblongnya yang sobek.
Membiarkan bahunya terbuka. Pada waktu itu adegan tersebut masih "
wah " dan " wow " gitu.
James
Dean mengenakan kaos oblong sebagai simbol pemberontakan kaum muda
dalam Rebel Without A Cause ( 1955 ).
Sementara
sejarah kaos oblong masuk Indonesia dibawa Belanda. Walaupun
perkembangannya belum pesat, namun kaos mempunyai nilai dan gengsi
tinggi. Saat itu pula teknologi pemintalan belum maju. Akibatnya kaos
menjadi salah satu barang yang tergolong mahal. Baru sekitar 1970 -an
mulai berkembang. Itupun bentuk kaos masih konvensional ; putih,
Kain Katun halus tipis, melekat ketat di badan dan hanya untuk kaum
lelaki saja.
Kaos
dengan Merk Swan, 77, Cabe Rawit dan Kembang Manggis mendominasi
pasaran.
Merajut
Asa Ekonomi Dari Hulu Sampai Hilir
Dalam
sejarahnya, Indonesia pernah menjadi Negara Maritim dan Negara
Agraris yang seutuhnya. Sistem Pelayaran ( navigasi dan Ilmu
perbintangan ), teknologi kapal Pinishi yang akhirnya melahirkan
budaya maritim. Ditandai dengan armada laut yang kuat, pelabuhan yang
ramai sebagai sumber lalu lintas perdagangan dan pemanfaatan sumber –
sumber kekayaan laut. Hal serupa juga terjadi pada sistem agraris.
Pertanian yang dijiwai local wisdom, ternyata lebih ramah lingkungan
dan memaksimalkan hasil pertanian. Tengoklah Konsep Tri Hita Karana di
Bali, ritual – ritual budaya pertanian di Jawa dan segala mitos
yang segaja selalu direproduksi untuk tetap menjaga keselarasan
hubungan manusia dengan alam. Wajarlah jika alam mengeluarkan
berkahnya secara melimpah.
Tetapi
itu semua hanya cerita zaman dahulu tentang Negeri Maritim dan Negeri
Agraris.
Slogan
" Berdikari " ( Berdiri diatas kaki sendiri ) yang selalu
digelorakan Bung Karno, seolah ditelan zaman begitu saja. Akibat Neo
Imperialisme, Kapitalisme, Liberalisme, kebijakan pemerintah yang (
sungguh ) tidak bijak, penjualan aset – aset negara yang menguasai
hajat hidup orang banyak --- akhirnya inilah penjajahan ekonomi !.
Suatu
bangsa yang memperjuangkan kemerdekaannya melalui proses panjang,
dengan enteng saja mengisi kemerdekaan secara instant. Cara berpikir
instan. Kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi atau tidak ada,
solusinya langsung import. Bukannya berpikir menyiapkan proses
produksi suatu barang secara bertahap. Dengan begitu kebutuhan dalam
negeri dapat terpenuhi, syukur – syukur bisa ditingkatkan untuk
bisa eksport. Tetapi mungkin juga kebijaksanaan ekonomi terbuka.
Mungkin bangsa ini sudah amnesia tentang berproses. Berdikari tinggal
slogan masa lalu.
Tanaman
kapas menghasilkan serat alam yang merupakan bahan baku Industri
Tekstile dan Produksi Tekstile ( ITPT ). ITPT berkembang dengan pesat
dan terintegrasi dari hulu ( serat )--- Intermediate ( stapel dan
filamen, tenun, rajut ) --- produk akhir ( garment dan tekstile ).
kebutuhankain khususnya serat Kapas ( Katun ) 95 % masih disuplai import dari
India, China dan Amerika. Hanya 5 % saja produksi Kapas mencukupi
kebutuhan nasional. Jika diurai lebih lanjut, banyak penyebab serta
akar permasalahannya. Kurang maksimalnya "
good will "
pemerintah, petani, pelaku bisnis, dll. Kurang ngotot
mengaplikasikannya. Pada dasarnya petani akan menanam komoditas
pertanian yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Ini alasan klasik
!. Tidak terlalu sulit memberdayakan kelompok petani untuk menguasai
teknologi pertanian dari hulu sampai hilir. Lagi – lagi "
good will " dan
kurang ngotot dalam beraplikasi. Walaupun kita juga tidak menutup
mata terhadap program – program pemerintah yang telah digalakkan
dalam rangka pengembangan Pertanian Kapas. Sebutlah ProgramIntensifikasi Kapas Rakyat ( IKR ) tahun 1978, pola kemitraan
pemerintah dengan petani atau pemodal asing, Program AkselerasiPengembangan Kapas ( 2007 ).
Intensifikasi
pertanian yang berlebihan menimbulkan dampak lingkungan yang merugikan. Kapas yang terlihat natural sebenarnya paling tidak ramah
lingkungan. Secara rutin disemprot pestisida dan bahan kimia lainnya.
Efek pestisida mempengaruhi ekosistem karena membunuh banyak
tanaman dan hewan – hewan ( mikro organisme ) disekitarnya. Dampak
ini menimbulkan ketidakseimbangan ekosistem.
Secara
umum, pertanian di Indonesia masih menggunakan ( mengandalkan ) bahan
kimia dalam pengolahannya. Secara sadar, terus – menerus, kita
mengkonsumsi hasil – hasil pertanian yang mengandung bahan kimia.
Lalu dapatlah kita hitung secara matematis, generasi penerus bangsa
yang tercemar bahan kimia. Kesehatan fisik dan rohanipun mulai
diragukan.
Pertanian Organik, Pertanian Ekologis, Pertanian Biologis, Pertanian Bio
dinamika, Pertanian Alami dan Perma culture akhirnya menjadi pilihan.
Jauh sebelum konsep Eco-Fashion ( menjaga hubungan harmonis dengan
alam ) digembar – gemborkan Masyarakat Barat, Indonesia telah
memulainya dengan local
wisdom.
Tri
Hita Karana
di Bali, Hamemayu
hayuning Bawana,
Mitos Dewi Sri, Nyi Pohaci di Jawa, proses
pembuatan Batik tradisional, Pupuk Kompos, dll.
Akhirnya
semua kembali ke alam, temasuk mode. Apakah Padi dan Kapas hanya
simbol belaka ?!.
Bantul,
20 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.