Seperti
ingin mendaki kembali, tetapi dalam nuansa berbeda. Sebagai Homo
Symbolicum,
Homo
Educondum. Teringat
masa Sekolah Menengah Atas ( SMA ), kegiatan mendaki gunung
diidentikkan dengan
Pecinta Alam1
( baca ; Siswa Pecinta Alam--- Sispala, Pelajar Pecinta Alam---
Papala ). Para remaja yang selalu mencari jati dirinya, masih
bersemangat ingin mengukur diri dengan kekuatan alam.
“
Puncak atau mati, keduanya ; ku taklukkan ! “ begitulah kira –
kira semangat itu.
Sejak
Prof. G.H.R. Von Koenigswald ( Arkheolog Jerman ) menemukan fosil
rahang bawah Pithecantropus
Erectus,
salah satu spesies dalam taxon Homo
Erectus2
di
Situs Karanganyar, Sangiran ( kaki Gunung
Lawu,
17 kilo meter dari Solo ), pencarian mengenai asal – usul manusia
menemukan rentetan babak baru. Memperkuat Teori Evolusi Darwin3.
Walaupun sampai sekarang terus merangsang perdebatan, khususnya
tentang missing
link
dari teori evolusi tersebut.
Memaknai
( Kembali ) Pendakian Diri
Gunung
Lawu
( Wukir
Mahendra,
3265 Meter Diatas Permukaan Laut--- Mdpl ) yang terletak di
perbatasan Karanganyar, Wonogiri, Jawa Tengah dan Magetan, Jawa Timur
merupakan gunung api “ istirahat “. Bukan hanya keeksotikan alam,
tetapi juga sejarah yang diramu sedemikian rupa dengan mitologi
mengundang daya tariknya tersendiri. Gunung
Lawu
memiliki 3 puncak ; Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah
yang merupakan puncak tertinggi. Hargo Dalem diyakini merupakan
tempat moksanya4
Prabu
Brawijaya V. Bertepatan dengan keruntuhan Majapahit ditandai
sengkalan5
“
Sirna Ilang Kertaning Bumi “
oleh penyerbuan pasukan dibawah kepemimpinan Raden Patah6.
Prabu Brawijaya V memilih tidak mau berperang melawan Raden Patah
yang merupakan anaknya sendiri, beliau memutuskan menyingkir sampai
Lawu7.
Adapun
Hargo Dumiling merupakan tempat moksa
Ki Sabdopalon ( pengikut, penasehat spiritual Prabu Brawijaya V )
yang menemaninya menyingkir kala itu. Setelah Brawijaya V moksa,
Sabdopalon meneruskan perjalanan ke puncak.
Hargo
Dumilah adalah puncak tertinggi Lawu,
tempat yang penuh misteri, biasa digunakan untuk olah batin dan
meditasi.
Langkahku
pendek – pendek menapaki jalan setapak dari Cemoro Kandang ( Jawa
Tengah )8
berburu waktu di masa kini. Jalan semakin gelap. Pendek – pendek,
cepat – cepat. Memburu sunset,
sunrise
di masa mendatang. Jejak sejarah terinjak berulang – ulang.
Perjalanan memasuki batas antara.
Batas
antara lingkungan Jawa Timur yang cenderung kering dan gersang, Jawa
Tengah yang mulai basah, sebelum mencapai Jawa Barat yang basah dan
dingin. Semak belukar seolah menyibak rahasia waktu.
Cemara
– cemara gunung ( Casuarina
Junghunia
) berjejer rapi berebut cahaya, sedang bayanganku sedikit sengal
karena ketinggian. Bayangan dan cermin memperbanyak pikiran. Anggrek
Epifit ( Dendrobrium
Jacobsonii
) tumbuh bebas diketinggian 2000 Mdpl menambah ragam flora. Cahaya –
cahaya memutih, menguning, lalu juga Ungu, kehijauan. Tanah – tanah
lapang yang ditumbuhi bunga keabadian. Edelweis ungu Lawu ( Anaphalis
Javanica
). Pikiran demi pikiran mengembang dari pokok – pokok tunas jati
diri yang kokoh. Mereka tumbuh dari cahaya.
Sejenak
aku berhenti di Sendang Panguripan, sebab urip
mung mampir ngombe.
Hidup hanya mampir minum. Air mendingin, waktu
beku. Aku masih mengendong carrier
ku. Carrier
Merah
berbentuk kapsul 350 liter, terlindungi bag
cover
Biru Eiger. Masih dengan celana panjang kesayanganku, Hijau Lumut
dengan aksen garis – garis timbul. Konon menurut warga setempat,
warna Hijau merupakan pantangan ketika mendaki Lawu.
“ Act
like the native “
begitulah point “ A “ dalam Survival.
Aku pun menggantinya dengan celana lapangan Biru, masih tetap dengan
gaiter
coklat kulit di kaki. Sambil mencuri napas. Pasti tak ketahuan, sebab
aku sendirian. Jujur, aku menapaki kesunyian itu ketika orang –
orang masih terlelap dalam hayalan.
Jalak Gading |
Tubuh
sudah mulai beradaptasi dengan ketinggian. Beberapa satwa hutan
melintas.
”
Demi waktu, seolah aku selalu lupa waktu “
“
Dan memang begitu “
Huruf
– huruf menggeliat memulai kembali, kalimat demi kalimat merapat,
pelan, semeter 2 meter berhenti. Tampaknya jinak, tetapi mereka hidup
bebas. Ku tatap matanya berusaha menyelam lebih dalam. Tubuhnya hitam
kecoklatan dan bagian dada coklat keputihan, paruh lancip, kaki
Kuning gading. Burung – burung pemandu para pendaki agar tak
tersesat. Jalak
Lawu
atau Jalak
Gading
( Sturnos
Sp
) spesies burung pemandu itu. Habitat dan spesies burung yang
dilindungi mitos sampai sekarang.
Aku
melangkah, Jalak
Gading
terbang rendah didepanku. Sejenak berhenti, kita sama – sama
menunggu. Sekumpulan lagi tiba terbang menuju Simurg9.
Entah
siapa yang akan sampai duluan, atau semua tidak betah bertahan dalam
perjalanan.
Bantul,
Jum'at Kliwon, 26 April 2013.
Catatan
Akhir
“ Lawu
dan Jalak Gading “
1
Kode Etik Pecinta Alam Indonesia
Pecinta
Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan
Yang Maha Esa
Pecinta
Alam Indonesia adalah bagian dari masyarakat Indonesia
sadar
akan tanggung jawab kepada Tuhan, bangsa dan tanah air
Pecinta
Alam Indonesia sadar bahwa Pecinta Alam adalah sebagian dari makhluk
yang mencintai alam sebagai anugrah yang Maha Kuasa
Sesuai
dengan hakikat diatas, kami dengan kesadaran menyatakan ;
- Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
- Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya
- Mengabdi kepada bangsa dan tanah air
- Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya
- Berusaha mempererat tali persaudaraan antara Pecinta Alam sesuai asas Pecinta Alam
- Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, bangsa dan tanah air
- Selesai
Disahkan
bersama dalam Gladian Nasional IV Pecinta Alam, Ujung pandang, 1974 (
P. Kahyangan, Tana Toraja ).
Sampai
sekarang Kode etik Pecinta Alam Indonesia ini masih dipergunakan.
2
Pithecanthropus Erectus ( sekarang disebut ; Pithecanthropus
Palaeojavanicus, Homo Erectus Palaeojavanicus ) yang ditemukan E.
Dubois di Trinil 1891 hanya berupa fosil tidak utuh. Terdiri dari
tengkorak, tulang paha atas dan gigi. Sampai sekarang belum ditemukan
bukti yang jeklas bahwa tulang tersebut dari spesies yang sama.
Sedangkan penemuan fosil oleh G.H.R. Von Koenigswald lebih utuh.
(
lihat
; Manusia Jawa dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas
).
G.H.R.
Von Koenigswald melakukan penelitian di Situs Sangiran secara
intensif dari 1934 – 1941. Telah banyak fosil manusia purba yang
ditemukan. Tahun 1941 fosil yang ditemukannya dinamakan Megantropus
Palaeojavanicus.
3
Darwin, Charles, 1859. On The Origin of Species By Means of Natural
Selection. Inggris : John Murray.
4
Agama
Hindu mempercayai 5 keyakinan ( Panca Srada ) ; brahman, atman,
karmapala, reinkarnasi dan moksa.
Moksa
( Sanskerta ), akar kata “ Muc “ bermakna bebas atau membebaskan.
Moksa juga dapat disebut mukti, mencapai kebebasan jiwatman atau
kebahagiaan ruhani yang langgeng.
Moksa
merupakan kepercayaan adanya kebebasan yaitu bersatunya atman dan
brahman. Orang yang moksa berarti terbebas dari ikatan keduniawian,
bebas dari hukum karma, dan bebas dari penjelmaan kembali (
reinkarnasi ) dan akan mengalamin Sat, Cit, Ananda ( kebenaran,
kesadaran dan kebahagiaan ).
5
Sengkalan ( Sanskerta ; Tahun Saka ), Chronogram
( Bahasa Yunani, kronos
;
waktu, gramma
; huruf atau aksara ). Bentuk sengkalan ;
- Sengkalan Lamba, yaitu peringatan atau penandaan tahun menggunakan kalimat ( huruf )
- Sengkalan Memet, yaitu peringatan atau penandaan tahun menggunakan gambar atau patung
Contoh
: Sirna
( 0 ) Ilang
( 0 ) Kertaning
( 4 ) Bumi
( 1 )
dibaca
1400 Saka atau 1478 Masehi. Untuk menandai keruntuhan Majapahit.
Sengkalan ini termasuk Sengkalan Lamba.
Setiap
kata mempunyai watak ( angka ) tersendiri, Lagu Dhandhanggulo ini
cukup sebagai titian ingatan ;
Janma
buweng wani tunggal
gusti,
Penganten
dwi
akekanthen
asta,
Geni
putri katelune,
Papat
agawe banyu,
Buta
lima
amanah angin,
Sad
rasa kayu obah,
Wiku
pitweng
gunung,
Gajah
wewolu
rumangkang,
Dewa
sanga
anggeganda trus manjing,
Dhuwur
wiyat tanpa das
Watak
kalimat juga mengacu pada dasanama
( sinonim ) nya masing – masing.
6
Banyak faktor yang menyebabkan keruntuhan Majapahit, dari faktor
internal dan eksternal.
- Sirna Ilang Kertaning Bumi ( 1400 Saka, 1478 Masehi ) bukan merupakan keruntuhan total Kerajaan Majapahit, melainkan penanda gugurnya Bhre Kertabumi ( Raja ke-11 Majapahit ) oleh penyerangan Girindrawardhana.
- Penyerbuan Raden Patah yang meruntuhkan Majapahit tersebut ( 1400 Saka ) banyak diambil dari referensi Kitab Darmogandhul tema Sabdopalon. Sedangkan ide cerita Darmagandhul dari Babad Kadhiri.
Simak
juga
:Novel Sabda Palon ( Kisah Nusantara Yang Disembunyikan ) karangan
Damar Shashangka.
- Dalam Pararaton, Runtuhnya Majapahit justru diserang oleh Samarawijaya dan saudaranya, karena menganggap raja yang berkuasa di Majapahit Dyah Suraprahawa tidak berhak atas tahta. Dyah Suraprahawa adalah adik bungsu raja sebelumnya ( Rajasawardhana ). Rajasawardhana wafat digantikan Girisawardhana, lalu digantikan Dyah Suraprahawa.
Menurut
peraturan kerajaan, yang berhak menggantikan raja adalah keturunanya
( anaknya ) dari isteri permaisuri.
Dyah
Suraprahawa dan Samarawijaya tewas dalam pertempuran tersebut.
(
sumber
;
dalam “ Latar belakang Sesungguhnya Keruntuhan Kerajaan Majapahit
“,
http
://terungkaplagi.blogspot.com ).
- Telusuri juga ; Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, MA. 2010. Genealogi Keruntuhan Majapahit, Islamisasi, Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindhu di Bali. Yogya : Pustaka Pelajar.
- Check dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas ; Daftar Raja Di Jawa, Majapahit,
7
Banyak versi cerita tentang Prabu Brawijaya V ( yang diyakini sebagai
Bhre Kertabumi ), mulai dari menyingkir ke Gunungkidul, Yogyakarta (
sekarang terkenal dengan Pantai Ngobaran ), lalu membakar diri dengan
istrinya. Hal ini mungkin sebagai kamuflase agar jejak pelariaannya
tak bisa dilacak lagi.
Moksa
di Gunung Lawu, bahkan sampai menyeberang ke Bali, Blambangan yang
akhirnya di- Islamkan oleh Sunan Kalijaga ( ? ).
8
Terdapat beberapa jalur pendakian Gunung Lawu : Rute Cemoro Kandang (
Tawangmangu, Jawa Tengah ), Cemoro Sewu ( Sarangan, Jawa Timur ),
Candi Cetho ( Karanganyar, Tawangmangu, Jawa Tengah ), Tambak ( Jawa
Tengah ), Jogorogo ( Jawa Timur ).
Semua
rute pendakian mempunyai karakteristik medan, jarak, waktu tempuh
yang bervariasi.
9
Mantiq Ut Thair ( Musyawarah Burung ) merupakan karya sastra penyair
sufi dari Persia, Fariduddin Attar ( 1132 – 1222 Masehi ). Kisah
perjalanan sekumpulan burung yang dipimpin Burung Hud Hud menuju Sang
Maharaja Simurg. Simbolisasi pencarian makhluk hidup terhadap Sang
Pencipta, sang Penguasa Hidup sejati ( bentuk dari pencarian dan
pendakian spiritual ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.