Doelah
Buntut 1
Seorang
buruh bangunan, tukang batu, tukang kayu, tukang besi ataupun menjadi
tenaga tukangpun dijalaninya. Demi menafkahi keluarga, istrinya dan
2 orang anaknya. Sarwan masuk SMP sedang adiknya Warti sudah kelas 5
SD.
Keluarga
itu juga menpunyai sebidang sawah namun diburuhkan. Di kerjakan oleh
tetangganya dengan sistem bagi hasil. Mungkin karena malasnya Pak
Doelah atau hasil dari pertanian sekarang tidak bisa untuk
menghidupi. Kedua anaknya pun tidak mau menggarap sawah dengan alasan
masih sekolah. Ketularan anak - anak muda jaman sekarang. Istrinya
tidak tahan panas dan gatal. Di rumah saja menjadi ibu rumah tangga
dan pengatur keuangan. Memasak, mencuci, dan bersih - bersih.
*
Sabtu
sore sekitar pukul 17.00 WIB, Pak Doelah telah
laut2
dari ngalajunya ke kota. Setiap Sabtu sore di Jogja masih banyak
ditemui, orang - orang bersepeda cepat sekali kearah selatan. Senin –
Rabu pagi orang - orang mengayuh sepeda menuju kota dengan cepat.
Kamis pagi apalagi sore, kayuhannya sudah mulai loyo.
Pagi
tadi dan setiap pagi, istrinya selalu setia membuatkan nasi bungkus
untuk bekal suaminya kerja. Lebih ngirit dari pada jajan. Di proyek
bangunan tidak ada jatah makan kecuali kerja di bangunan person3.
Hanya ada minuman, itupun pekerja harus giliran merebus air.
“
Dari pada harus jajan. Pakne sudah tua,
Tidak
pantas jajan seperti anak kecil “ kata istrinya setiap pagi sambil
memberikan nasi bungkus.
Selera
makan Pak Doelah pun gampang. Nasi liwet yang banyak ditambah sayur
dengan santan atau kuah yang banyak juga.
Tidak
ada menu masakan spesial di keluarga itu. Kecuali setiap malam Minggu
keluarga berkumpul makan bersama. Mie instant dicampur daunan hijau,
Kubis, Daun Ubi atau Selada. Mie yang masih terbungkus dipatahkan
menjadi 2 kali, secara vertikal dan horizontal, lalu direbus dahulu
dengan air panas tanpa bumbu. Daunan hijau dan Lombok yang diiris
tipis miring dimasukkan 3 menit setelah direbus. Tidak perlu matang
kira - kira 5 menit, ditiriskan. Air rebusan pertama dibuang karena
tercampur zat pengawet mie lalu diganti air panas dari termos. Mie
akan mengembang saat bumbu dimasukkan. Terlalu lama merebus juga akan
menghilangkan sari - sari vitamin dalam daunan hijau. Sering juga
ditambah Bumbu Gulai, Bawang Putih, Merah goreng, kecap dan saos.
Irisan Wortel juga telor.
Warti
paling jago membuat saos dari tomat. 2 bungkus Mie Instant untuk 4
orang. Cara makannya harus memakai sumpit, Pak Doelah meniru
juragannya yang Cina. Terang saja makannya lama, karena semuanya
belum mahir menggunakannya.
Tel
hangat selalu tak ketinggalan.
Didalam
kamar, istrinya sedang tidur - tiduran terlentang dialasi beberapa
lembar matras merah dan bantal. Pak Doelah masuk dan rebahan
disamping istrinya.
Setelah
mandi di sumur telanjang, mengguyur tubuhnya. Bau keringat khas
pekerja bercampur sabun.
“
Bune, besok Senen aku diajak Babahe4
pergi ke Gunung Kemukus. Berangkat setelah laut5,
esoknya prei6
“.
“
Apa pekerja lainnya juga diajak, Pakne?! ”.
“
Banyak “.
“
Kurasa pakne jangan ikut ”
“
Lha ngopo7
?!
“ beringsut memiringkan badan, memandang istrinya.
Beberapa
menit terdiam.
“
Dik Warti tahu Gunung Kemukus ?! “
“
Tidak tahu mas “.
“ Wah
pelajaran IPS kok, punya ATLAS ?! “
“ Punya,
Punya “.
Warti
beringsut menuju kamarnya. Sesaat kemudian Warti telah membawa buku
ATLAS Indonesia. Kakak beradik itu membuka - buka lembar demi lembar.
“
Ini mas “
Keduanya
berpandangan.
Kumparan
asap ringan membumbung dari kamar Bu Doelah. Bau Tembakau Kedu yang
matang. Kertas - kertas sigaret cap Bocah Nyuling terbakar. Manis dan
gurih. Bau khas keringat buruh bangunan.
“
Aku ngerti Bune “.
Bu
Doelah tampak lega.
“
Aku tak betah lagi kerja disana, Babahe itu cerewet apalagi istrinya.
Apa saja di cacat.
Orang
budeg dan bodoh saja yang masih betah “.
“
Lantas nganggur ?! “
Tiba
- tiba Warti mengetuk pintu kamar.
“
Ada tamu Pak “
“
Siapa ?! ‘
“
Katanya Pak Sarno dari Colombo “.
“
Ya tunggu sebentar “.
Pak
Sarno memandang Warti dari belakang. Dari sela - sela asap yang
dihembuskannya, seolah bibirnya tersenyum. Sarwan masih membuka –
buka ATLAS Indonesia.
Diam
– diam Warti sering memperhatikan bapaknya setiap pagi ketika akan
pergi kerja.
Pak
Doelah selalu menuntun sepeda lanangnya yang sudah butut dengan cat
mulai melepuh, karena selalu diminyaki membuat selalu mengkilat juga
Velg dan ruji - rujinya. Dituntun dari rumah setelah sampai jalan
raya baru di naikinya. Jaraknya hanya beberapa meter. Pada setangnya
tercantel tas kecil yang lusuh. Bekas tas sekolah Sarwan untuk
membawa peralatan pertukangan. Juga sebuah spion bundar disebelah
kanan dan bel sebelah kiri. Lampunya masih menyala terpasang di depan
dan di belakang, semuanya double dynamo. Mungkin sepeda itu telah
dimodifikasi Sarwan.
Setelah
Bapaknya bersepeda di jalan raya, Warti dan Sarwan berangkat sekolah
jalan kaki.
*
Pak
Doelah sering mendapatkan nomer SDSB 8.
Ramalannya kerap jitu. Dua bulan lalu dia sudah tidak membeli nomor
lagi karena permintaan Warti. Tetapi kebiasaannya kambuh lagi setelah
ada model baru.
Sebenarnya
Sarwan juga tidak begitu suka dengan pekerjaan sampingan Bapaknya.
Hanya saja ia selalu diam.
“pun
ketika setiap sore Sarwan memergoki bapaknya mengendap - endap menuju
kuburan dekat rumah menuju cukup hijau. Dikenal sebagai cikal bakal.
Dengan mengendap pula diikutinya dari belakang. Kuburan itu msih
rimbun dengan Pohon Duwet yang besar. Sarwan berpikir, jangan -
jangan merupakan salah satu syaratnya. Disamping pedoman dasar yang
telah dibelinya dan tafsir mimpi ( sanepan, simbolisasi ).
Pak
Doelah juga hapal betul Mikrologi Jawa. Anak dan bapak itu jarang
sekali bercakap - cakap kecuali masalah Budaya Jawa.
Sebuah
gubug pada hamparan sawah yang luas menghijau dan lekas menguning.
Kelebihan beban, angin - angin menunduk. Terlihat orang - orngan
sawah berjumlah 4. Ada yang aneh, Bulan gentayangan seperti balon
raksasa melayang diantara sela Pohon Kelapa. Sarwan berusaha
menangkapnya, sementara Ibunya di halaman rumah menanam Kembang Cocor
Bebek. Setiap lembar daunnya menumbuhkan tunas - tunas baru.
4
orang – orangan sawah itu berusaha mengusir burung - burung yang
lekas terbang. Gerakan dituntun angin. Ringan seperti balon - balon.
Sarwan heran melihat Warti jongkok di kali.
Jongkok
disitu diam. Sarwan memperhatikan dari balik gerumbulan semak yang
lumayan lebat. Tangan kasar itu mulai mencoret - coret di tanah
berdebu dekat cungkup itu. Tak jelas tetapi ia tidak berani mendekat.
“
Yen, Yenthe, ngadeheg dhewe Yen, yenthe
Ngadeg
dhewe yen, yenthe ngadeg dewe yen,
Yenthe
ngadheg dhewe yen …”
yang dapat didengar Sarwan
hanya
suara itu.
Benar
sekali kerap buku pelajannya dan adiknya tidak ada di rak ataupun
tas. Rupanya bapak mencoret - coret untuk meramal. Bahkan sering
kehilangan Bollpoint juga. Angka - angka, huruf - huruf itu ?!
Diiringi
kepalanya yang terus mengalun jarinya terus mencoret - coret di
tanah.
Pikir
sarwan ; berjudi di bumi Tuhan yang mati. Cikal bakal kematiannya,
angka - angka keberuntungan. Modal tetap; tenaga kerja dan tanah.
Mengadu angka dan angka, huruf per hurufnya. Satu kesempatan, Tuhan
terletak pada satu bilangan. Tak mau berjudi di bumi Tuhan yang telah
mati. Senja, menggarisi nasib pada angka - angka, di tanah yang
dibentuk cikal bakalnya. Perjudian, keberuntungan, probabilitas dan
susunan pasti telah dimulai.
Kemudian
sebuah gubug pada hamparan sawah yang luas menghijau dan lekas
menguning. Kelebihan beban, angin - angin menunduk.
*
Pak
Doelah sering mendapat nomor, lumayan walaupun jumlahnya tidak
terlalu besar. Karena hanya pasang kecil - kecilan. Pernah ia
mendapat hadiah uang dari nomor tersebut. Kalau dirata - rata cukup
untuk makan seminggu sekeluarga. Jika mendapat nomor, kebiasaan Pak
Doelah tidak masuk kerja 2-3 hari. Sekalian istirahat, kerja
dibangunan adalah kerja berat. Rezeki sudah ada yang ngatur katanya.
Sarwan
dan Warti sebenarnya tidak setuju. .Sesekali melarang bapaknya. Namun
kesukan Warti menonton Telenovela Maria Marcedes Si Gadis Penjual
Lotere.
“
Kau tahu kang, kabar terbaru Pak Doelah ?! “
“
Apalagi ?! “
“
Ia ditabrak ! “
“
Benarkah, jangan becanda kau ! “
“
Ditabrak ketika mau mangambil hadiah nomernya ?! “
“
Jangan becanda kau, Pak Doelah itu Panutan kita meramal
nomor
! “
“
Kata Surip begitu kang “ seorang menimpali.
“
Mana Surip ?! “
Sarno
mampir di warung itu, duduk sambil klempas - klempus. Sesekali
seperti menyungging senyuman mendengarkan percakapan mereka.
Pak
doelah korban tabrak lari. Ketika ia akan menukarkan hadiah yang
lumayan besar. Pikirnya cukup untuk hadiah terindah untuk keluarga,
khususnya kedua anaknya. Sarwan lulus SMP, Warti minta dibelikan
sepeda .
“
Aku tak yakin “
“
Naas betul nasibnya “
“ Kita
kehilangan panutan meramal “
“ Hus
! “
Warung
kopi semakin ramai. Pak Sarno mendengarkan dengan seksama.
*
Suatu
sore Sarwan menuju kuburan dekat rumahnya. Duduk bersimpuh pada
sebuah makam dengan kaki telanjang.
“
Pak, aku berhasil. Lihatlah Pak, anakmu berhasil “.
“
Sebentar Pak “.
Berbalik
menuju gerumbulan semak yang biasa di gunakannya bersembunyi
mengawasi Bapaknya, lalu keluar lagi dengan menuntun sebuah Sepeda
Gazelle baru. Distandarkan didekat gundukan baru.
“
Tenaglah Pak, ini sepeda baru untuk Bapak, aku tahu Bapak ingin
membelikan sepeda baru untukku dan Dik Warti. Aku sudah memesan
sepeda baru untuk Dik Warti di toko kemarin sore.
Sekarang
istirahatlah dengan tenang, biar aku,…”
Terdiam,
ada yang coba ditahan.
“
A - ku….”
Menarik
napas panjang, menghembuskan berulang – ulang. Pohon Duwet semakin
membesar, jatuh satu per satu bijinya yang terlalu masak, daun - daun
yang menguning turun pelan.
“
A- ku jan- ji, aku janji Pak, akan membiayai sekolah Dik Warti.”
“
Sepeda yang baru kupesan, akan mengantarkan Dik Warti menjadi
sarjana wanita pertama di dusun kita. Ini janji anakmu, Sarwan ! “
“
Pak, kami juga akan membuat kolam disawah dan memelihara ikan seperti
keinginan Bapak. Ibu memberitaukan itu padaku.”
“
Kami Bangga padamu, Bapakku “.
Menarik
napas panjang.
“
Yen, yenthe ngadheg dhewe yen, yenthe ngadheg dhewe yen, yenthe
ngadheg dhewe yen,.Yenthe ngadheg dhewe yen ….”.
Kepalanya
bergoyang sedang telunjuk kirinya meliuk menari - nari. Sarwan masih
duduk bersimpuh. Tanpa disadarinya Warti mengawasinya dari jarak
agak jauh.
**
Jogja,
2002 ( Versi II )
Catatan Akhir " Doelah
Buntut "
___________________
- Bahasa Jawa : Ekor, julukan yang diberikan oleh warga kepada Pak Doelah karena mahir meramal nomor. Contoh : 8707, 2 digit awal - kepala, 2 digit akhir - Ekor ( buntut ).
- Pulang Kerja ( Bahasa Buruh Bangunan di Jogja )
- Person ( Inggris : orang, seorang ). Buruh bangunan yang bekerja ( biasanya membuat rumah ) pada seseorang ( yang punya rumah ) tetapi bukan proyek besar.
- Babahe : juragan Cina, sudah menetap dan beranak - pinak di Indonesia
- Laut ( idem point 2 )
- Prei ( Bahasa Jawa, libur ).
- Bahasa Jawa, “mengapa ?! “kenapa ?! ‘
- SDSB ( Sumbangan Dana Sosial Berhadiah ), Loterai nomer, yang marak tahun 80-90 an, togel, Totor dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.