Social Icons

Kamis, 01 Januari 2015

Edelweiss dan Krisan Kuning

Bunga yang tumbuh di dataran tinggi. Para pendaki gunung akrab dengan bunga ini, saking akrabnya timbul rasa ingin memiliki. Edelweiss sebagai simbol keabadian, bunga yang abadi walaupun dipetik dari tangkainya, ia tetaplah bisa berkembang.
"Jangan ambil apapun kecuali gambar, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak, jangan bunuh apapun kecuali waktu".
Bagaimana rasa memiliki itu?!.

Bunga ini takkan berbuah, tapi abadi dalam bentuk kembang. Sari-sari yang melekat pada filamen rasa. Angin membuka kesadaran, "Bagaimana mencintai tumbuhan yang terus berkembang?!".

Bunga Gunung, Bunga abadi

Krisan Kuning: Berjalan Untuk Berkembang


Tadi siang aku berjalan-jalan bersama bunga (bukan nama sebenarnya), personifikasi. Berjalan bersama karena bunga tumbuh di hati, mekar dalam pikiran. Berjalan untuk menyejukkan diri.
Kau lihat Bunga Krisan Kuning mekar?!.
Jika kau tidak bisa merasakan gelombang getaran yang dipancarkan bunga-bunga, mungkin gelombang tubuhmu sedang terganggu. Kesehatanmu mungkin sedang terganggu pula. Kesehatan fisik juga rohani.
Krisan, Seruni, Golden Flower ( Chrysantemum Indicum) termasuk famili kenikir-kenikiran (Asteraceae).
Krisan Putih dan Kuning bisa dijadikan minuman, Chrysantemum Tea.
Kau lihat Bunga Krisan Kuning mekar dalam perjalanan?!.Jika kau bosan warnanya, lihatlah baunya.

Seruni, Golden Flower, Chrysantemum Indicum

Bunga Rampai

Ketika melihat tetumbuhan, mengingatkanku pada beberapa bait dalam Sholawat Burdah.

5. Kalaulah bukan karena cinta, tidaklah mungkin engkau teteskan air mata diatas pepuingan dan tak pula jaga sepanjang malam karena mengingat Pepohonan Bani dan Pegunungan ‘Alam.
7. Dan kerinduan telah menorehkan dua garis air mata dan derita, seperti Mawar Kuning dan Mawar Merah pada kedua pipimu.
131. Ksatria yang mahir dalam senjata memiliki ciri yang membedakannya dengan Mawar pun berbeda dengan Bunga Salam dengan cirinya.
132. Angin kemenangan membawa berita keksatriaan para sahabat sehingga engkau menduga setiap ksatria itu ibarat bunga dan kelopaknya.
133. Diatas punggung kuda, mereka ibarat Pohon Ruba, karena kukuhnya keyakinan mereka dan bukan karena kokohnya pelana.
160. Selama angin Shaba berhembus menggoyangkan Pohon-pohon Bani, dan selama penggembala menghibur Ontanya dengan kidung nan merdu.


Bunga merupakan manifestasi keindahan, perjuangan (perkembangan), dan keragaman (aroma, warna, dan jenis). “Keharuman” aroma bunga merupakan ciri khas. Manusia harus terus menjaga “keharuman” jati diri dari generasi ke generasi. Manusia Jawa (untuk tidak menyebut paham kesukuan berlebihan, tetapi mengenali akar diri sendiri) kerap menempatkan bunga (kembang, puspa, sekar) sebagai simbolisasi (Homo Symbolicum, Homo Educondum).
Kembang Mawar, Mawi-Arsa (dengan kehendak atau niat). Segalanya dimulai dari nawaitu (niat), sejak dari dalam pikiran dan hati. Sensorik lalu motorik. Ketika gerakan motorik tak terkontrol, sensoriknya sedang bermasalah. Dalam Ilmu fiqih, perbuatanlah yang dikenai nilai (hukum), tetapi dalam tasawuf, sejak berpikir kotor walaupun tidak direalisasikan pemikiran tersebut, sudah merupakan nilai kecacatan (cela).
Mawar, awar-awar ben tawar. Membuat hati menjadi tawar (tulus). Niat tersebut haruslah berdasar ketulusan, tanpa pamrih. Sekalipun pamrih mengharapkan pahala atas pembacaan sholawat. Pamrih masih terkait dengan ego diri, seperti berjudi saja dengan Tuhan. Berbuat baik karena ingin mendapatkan pahala, sanjungan yang banyak, dst. Lalu apakah perbedaan pamrih, tujuan, dan imbal balik?!.
Maka yang sering terjadi adalah orang membaca sholawat lebih focus pada fadilahnya, bukannya sanjungan yang tulus.
Ketulusan pada dasarnya berada pada kondisi nihil, tiada batas, duwe rasa, ora duwe rasa duwe (memiliki rasa, tetapi tidak mempunyai rasa memiliki). Bukankah semuanya hanya titipan?!.

Bunga yang tumbuh di dataran tinggi. Para pendaki gunung akrab dengan bunga ini, saking akrabnya timbul rasa ingin memiliki

Mawar Merah melambangkan proses terjadinya (kelahiran) manusia ke dunia fana. Mawar Merah merupakan lambang ibu. Proses jiwa raga diukir. Ketika teknologi mulai merusak keseimbangan alam dan kodrati, lahirlah manusia kloningan yang tak memiliki jiwa spiritual. Apakah kita telah menjadi robot-robot zaman atau manusia kloningan itu?!.
Perkembangan peradaban dewasa ini lebih pesat kearah tekno-ekonomi, yang menimbulkan dampak negative yang serius jika tidak dimbangi. Jiwa-jiwa yang kering, memandang bunga hanya sebatas kembang saja.

Jika kau tidak bisa merasakan gelombang getaran yang dipancarkan bunga-bunga, mungkin gelombang tubuhmu sedang terganggu. Kesehatanmu mungkin sedang terganggu pula. Kesehatan fisik juga rohani.

Mawar Putih merupakan lambang bapa. Bapa angkasa, ibu pertiwi. Percampuran ragawi antara lelaki dan perempuan dalam niat kasih sayang  yang tulus, diharapkan akan menghasilkan bibit generasi yang unggul. Keharuman bagi keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dan agama. 

26. Aku mohon ampun kepada Allah dari berkata tanpa berbuat. Sungguh telah kunisbahkan perkataan ini sebagai umpama keturunan bagi yang mandul.


Antara perkataan dan perbuatan lebih duluan dan berkembang perkataan. Pemikir dan pekerja. Ide-ide pemikiran yang tak bisa diterjemahkan dalam implementasi. Hanya terjatuh pada berani berpikir beda saja. Tong kosong nyaring bunyinya. Orang Jawa cukup membuat simbolisasi dari kutipan syair Sholawat Burdah tersebut dalam Bunga Kanthil.
Ngelmu iku kelakone kanthi laku. Untuk meraih ilmu spiritual dan kesuksesan lahir dan batin, setiap orang tidak cukup hanya dengan memohon (do'a). Kesadaran spiritual tidak bisa dialami secara lahir dan batin tanpa adanya penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari (laku utama atau perilaku yang utama). Perilaku yang utama tersebut diperlukan sebuah suri tauladan (Uswatun Khasanah).
Bunga Kanthil juga perlambang tali kasih sayang yang mendalam tanpa terputus-putus, tansah kumanthil-mantil ati.
Dalam syair tersebut, Imam Bushiri (pengarang Sholawat Burdah) membuat sindiran kepada para pembaca.
Manusia yang mempunyai kemampuan dan dapat bermanfaat pun hanya sekedar “dijalankan” oleh Tuhan.
Dalam tradisi Jawa, Ritual pembacaan sholawat dibarengi dengan terbangan (musik, tetabuhan) dengan segenap uba rampenya. Uba rampe tersebut adalah simbolisasi kembang (Kanthil, Mawar, Melati, Kenanga, dll), kemenyan (setanggi dan dupa), serta para peserta memakai wangi-wangian, dll.
Bunga merupakan manifestasi keindahan, perjuangan (perkembangan), dan keragaman (aroma, warna, dan jenis) sebagai bunga rampai yang dipersembahkan dari alam untuk makhluk hidup ataupun mati (Tradisi Nyekar dan tabur bunga).
Dengan bunga-bunga dan semesta alam, aku memuji, wahai kekasih. Dalam taman puspa ragam pertemuan. Masihkah bertanya, “Siapa aku?!”.


Riwayat Tulisan:

Diambil dari status Facebook Panji Cybersufi dengan revisi seperlunya.
Edelweiss (23/7/14), Krisan Kuning; Berjalan Untuk Berkembang (24/8/14).
Bunga Rampai ditulis 31 Desember 2014.
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.