Genre
musik ini dicetuskan tahun 60-an oleh seorang ahli Etnomusikologi,
Robert E. Brown. Namun baru dikenal secara luas tahun 80-an.
Merupakan musik tradisional dan folk yang dimainkan musisi – musisi
daerah tertentu. Bukan Genre Pop ataupun Klasik.
“
Musik etnik atau when
east meet west “
menurut Viky Sianipar.
Indonesia
mempunyai potensi yang besar untuk mengembangkan genre musik ini.
Negara Kepulauan ( archipelago ), multi etnik, multi kultur. Terdiri
sekitar 500-an kelompok etnis, 33 propinsi, 39 kabupaten kota dan 98
kota yang masih dibagi lagi dalam kecamatan, kelurahan, dusun. Setiap
propinsi memiliki musik tradisional masing – masing. Semakin
menambah daftar panjang musik khas Indonesia.
Keroncong
yang terinspirasi Bangsa Portugis, Dangdut yang merupakan asimilasi
musik India, Terbangan dan Sholawatan yang sejenis dengan Qawwali (
musik sufi dari Pakistan ), Macapatan ataupun bentuknya yang lebih
nge-pop dalam Campursari. Campursari dipopulerkan oleh Ki Dalang
Nartosabda, Manthous dan Didi Kempot.
Idealisme,
Budaya dan Industrialisasi Musik
Dalam
perkembangannya Etnomusikologi telah diajarkan dalam mata kuliah
bidang kesenian. Tak dipungkiri semakin memperluas perkembangan musik
etnik. Baik sebagai pelaku
ataupun
pengamat akademisi.
“
Kapan musik Indonesia go
international
?! “ pertanyaan serupa sering terdengar.
Musisi
?!, beberapa memang sudah go
international,
musik Indonesia ?!.
Lain
lagi ceritanya. Kebanyakan musisi rekaman ataupun harus tinggal di
luar negeri untuk memudahkan go
international.
Major Label di Indonesia mungkin belum mempunyai jaringan bisnis yang
luas disamping teknologi audio visual yang belum memadai. Teringat
Justin Bieber rekaman di
Negeri Random.
Ataupun
sudah merasa puas ( katakanlah untung ) memasarkan tingkat nasional,
paleng banter ASEAN. Indie Label bisa menjadi alternatif dalam hal
menikmati musik. Selama ini memang hanya bisa menjadi alternatif,
belum mampu bersaing dengan Major Label. Namun menikmati musik itupun
suatu pilihan bebas ; selera musik ataupun selera pasar.
Musikalitas
terdiri dari beberapa unsur ; musikus, instrumen musik, komposer,
nada, irama dan lain – lain. Harusnya instrumen musik etnik
Indonesia bisa lebih bergaung dan dieksplorasi.
Angklung
yang telah terdaftar sebagai karya agung warisan budaya lisan dan non
bendawi manusia Indonesia oleh UNESCO pada November 2010. Itupun
gara – gara terdesak klaim negara tetangga dengan dalih budaya
serumpun.
Gamelan
Jawa, Bende, Calung, Dermenan, Gandang Tabuik, Gendang Bali, Gondang
Batak, Gong Kemada, Gong Lambus, Jidor, Kecapi, Suling, Kulcapi
Batak, Kendang Jawa, Kenong, Kulintang, Rebab, Rebana, Saluang,
Saron, Sasando, Serunai, Seurune Kale, Suling Lembang, Sulim Batak,
Suling Sunda, Tanggetong, Tifa dan lainnya.
Setiap
orang butuh pengakuan untuk bereksisitensi, mengeksplorasi diri. Juga
dalam bermusik. Sedangkan industrialisasi musik butuh keuntungan
karena merupakn bisnis.
Bukannya
World Music di Indonesia tidak mendapat tempat. Masih termarjinalkan,
berada dalam tempat yang sepi tanpa tepukan. Aransemen Musik Etnik
Batak oleh Viky Sianipar, diapresiasi dengan beragam. Penyebabnya
lagi – lagi stigma yang melekat, ketika tradisi bertemu
modernisasi.
Nilai
kesakralan, keaslian dan proses re-inventing
dalam aransemen baru. Walaupun begitu, Musikus etnik terus bergiat.
Solo
International Ethnic Music Festival,
Pagelaran Musik Kolintang dan Musik Bambu ( Manahasa, Sulawesi
Utara ) menjadi sebagian tanda eksistensi bermusik mereka. Musik
Kolintang dan Musik Bambu tercatat dalam Guiness Book World of
Records. Lucia Sinigagliesi mengungkapkan hasil penelitian Guiness
Book World of Records yang berkantor di London, Inggris ; “
Instrumen, melodi, irama Kolintang dan Musik Bambu di Indonesia belum
ada yang menyamai di dunia “.
Selain
Viky Sianipar yang mengusung Musik Etnik Batak ( terus bereksplorasi
musik etnik lainnya ), Kua Etnika yang digawangi Djaduk Ferianto (
Jogja ), Grup Suarasama. Yang terakhir mungkin masih terasa asing.
Maklum industrialisasi musik di negeri ini lebih nge-pop. 3 album
telah dilepas ke pasaran. Album Fajar Diatas Awan ( 1988 ), Rites of
Passage ( 2002 ) dan Lebah ( 2008 ). Ada yang menarik dari segi
personal dan instrumen yang dimainkan grup ini. Harmonisasi yang
apik antara Irwansyah Harahap ( Gambus, Gitar akustik elektrik ),
Rithaony Hutajulu ( vokal ), Syainul Irwan ( vokal, Harmonium ),
Horas Panjaitan ( Mandolin, Jembe Afrika ), Muhammad Amin ( Jembe
Afrika, Dumbek Timur Tengah, Perkusi ), Andre Farouk ( symbal set dan
snare drum ) dan Ophiryanto ( Hasapi Toba, backing vokal ).
Rithaony
Hutajulu pernah belajar langsung pada almarhum Nusrat Ali Fateh
Khan. Pemusik Qawwali dari Pakistan yang lebih populer dengan Musik
Sufi. Musik yang harmonis mencapai tingkat ekstase dalam nada, irama,
kesan dan gerak. Semuanya lenyap.
Lagu
“ Bahtera “ didedikasikan khusus untuk Sang Musikus Sufi.
Jauh
sebelum Etnomusikologi dicetuskan, sekali lagi kita selalu gagap
memaknai, menggali akar tradisi sendiri.
Hmm,
... Musik Etnik.
Tapi
entahlah studio musik di Indonesia memandang genre musik ini ;
menguntungkan atau bermain aman saja sesuai selera penikmat musik
terbesar ( genre Pop ).
Musik
adalah alat pemersatu, ungkapan yang berharmonis jika segala lambang
pemersatu telah dianggap lapuk.
Bantul,
05 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.