Social Icons

Kamis, 20 Desember 2012

World Music


Genre musik ini dicetuskan tahun 60-an oleh seorang ahli Etnomusikologi, Robert E. Brown. Namun baru dikenal secara luas tahun 80-an. Merupakan musik tradisional dan folk yang dimainkan musisi – musisi daerah tertentu. Bukan Genre Pop ataupun Klasik.
“ Musik etnik atau when east meet west “ menurut Viky Sianipar.
Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk mengembangkan genre musik ini. Negara Kepulauan ( archipelago ), multi etnik, multi kultur. Terdiri sekitar 500-an kelompok etnis, 33 propinsi, 39 kabupaten kota dan 98 kota yang masih dibagi lagi dalam kecamatan, kelurahan, dusun. Setiap propinsi memiliki musik tradisional masing – masing. Semakin menambah daftar panjang musik khas Indonesia.
Keroncong yang terinspirasi Bangsa Portugis, Dangdut yang merupakan asimilasi musik India, Terbangan dan Sholawatan yang sejenis dengan Qawwali ( musik sufi dari Pakistan ), Macapatan ataupun bentuknya yang lebih nge-pop dalam Campursari. Campursari dipopulerkan oleh Ki Dalang Nartosabda, Manthous dan Didi Kempot.


Idealisme, Budaya dan Industrialisasi Musik


Dalam perkembangannya Etnomusikologi telah diajarkan dalam mata kuliah bidang kesenian. Tak dipungkiri semakin memperluas perkembangan musik etnik. Baik sebagai pelaku
ataupun pengamat akademisi.
“ Kapan musik Indonesia go international ?! “ pertanyaan serupa sering terdengar.
Musisi ?!, beberapa memang sudah go international, musik Indonesia ?!.
Lain lagi ceritanya. Kebanyakan musisi rekaman ataupun harus tinggal di luar negeri untuk memudahkan go international. Major Label di Indonesia mungkin belum mempunyai jaringan bisnis yang luas disamping teknologi audio visual yang belum memadai. Teringat Justin Bieber rekaman di Negeri Random.
Ataupun sudah merasa puas ( katakanlah untung ) memasarkan tingkat nasional, paleng banter ASEAN. Indie Label bisa menjadi alternatif dalam hal menikmati musik. Selama ini memang hanya bisa menjadi alternatif, belum mampu bersaing dengan Major Label. Namun menikmati musik itupun suatu pilihan bebas ; selera musik ataupun selera pasar.
Musikalitas terdiri dari beberapa unsur ; musikus, instrumen musik, komposer, nada, irama dan lain – lain. Harusnya instrumen musik etnik Indonesia bisa lebih bergaung dan dieksplorasi.
Angklung yang telah terdaftar sebagai karya agung warisan budaya lisan dan non bendawi manusia Indonesia oleh UNESCO pada November 2010. Itupun gara – gara terdesak klaim negara tetangga dengan dalih budaya serumpun.
Gamelan Jawa, Bende, Calung, Dermenan, Gandang Tabuik, Gendang Bali, Gondang Batak, Gong Kemada, Gong Lambus, Jidor, Kecapi, Suling, Kulcapi Batak, Kendang Jawa, Kenong, Kulintang, Rebab, Rebana, Saluang, Saron, Sasando, Serunai, Seurune Kale, Suling Lembang, Sulim Batak, Suling Sunda, Tanggetong, Tifa dan lainnya.

Setiap orang butuh pengakuan untuk bereksisitensi, mengeksplorasi diri. Juga dalam bermusik. Sedangkan industrialisasi musik butuh keuntungan karena merupakn bisnis.
Bukannya World Music di Indonesia tidak mendapat tempat. Masih termarjinalkan, berada dalam tempat yang sepi tanpa tepukan. Aransemen Musik Etnik Batak oleh Viky Sianipar, diapresiasi dengan beragam. Penyebabnya lagi – lagi stigma yang melekat, ketika tradisi bertemu modernisasi.
Nilai kesakralan, keaslian dan proses re-inventing dalam aransemen baru. Walaupun begitu, Musikus etnik terus bergiat. Solo International Ethnic Music Festival, Pagelaran Musik Kolintang dan Musik Bambu ( Manahasa, Sulawesi Utara ) menjadi sebagian tanda eksistensi bermusik mereka. Musik Kolintang dan Musik Bambu tercatat dalam Guiness Book World of Records. Lucia Sinigagliesi mengungkapkan hasil penelitian Guiness Book World of Records yang berkantor di London, Inggris ; “ Instrumen, melodi, irama Kolintang dan Musik Bambu di Indonesia belum ada yang menyamai di dunia “.
Selain Viky Sianipar yang mengusung Musik Etnik Batak ( terus bereksplorasi musik etnik lainnya ), Kua Etnika yang digawangi Djaduk Ferianto ( Jogja ), Grup Suarasama. Yang terakhir mungkin masih terasa asing. Maklum industrialisasi musik di negeri ini lebih nge-pop. 3 album telah dilepas ke pasaran. Album Fajar Diatas Awan ( 1988 ), Rites of Passage ( 2002 ) dan Lebah ( 2008 ). Ada yang menarik dari segi personal dan instrumen yang dimainkan grup ini. Harmonisasi yang apik antara Irwansyah Harahap ( Gambus, Gitar akustik elektrik ), Rithaony Hutajulu ( vokal ), Syainul Irwan ( vokal, Harmonium ), Horas Panjaitan ( Mandolin, Jembe Afrika ), Muhammad Amin ( Jembe Afrika, Dumbek Timur Tengah, Perkusi ), Andre Farouk ( symbal set dan snare drum ) dan Ophiryanto ( Hasapi Toba, backing vokal ).
Rithaony Hutajulu pernah belajar langsung pada almarhum Nusrat Ali Fateh Khan. Pemusik Qawwali dari Pakistan yang lebih populer dengan Musik Sufi. Musik yang harmonis mencapai tingkat ekstase dalam nada, irama, kesan dan gerak. Semuanya lenyap.
Lagu “ Bahtera “ didedikasikan khusus untuk Sang Musikus Sufi.

Jauh sebelum Etnomusikologi dicetuskan, sekali lagi kita selalu gagap memaknai, menggali akar tradisi sendiri.
Hmm, ... Musik Etnik.
Tapi entahlah studio musik di Indonesia memandang genre musik ini ; menguntungkan atau bermain aman saja sesuai selera penikmat musik terbesar ( genre Pop ).
Musik adalah alat pemersatu, ungkapan yang berharmonis jika segala lambang pemersatu telah dianggap lapuk.


Bantul, 05 Juni 2012.



by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.