Social Icons

Rabu, 09 Juli 2014

Membaca Komik I

Panel candi
Wayang Watu. Panel Pada Dinding Candi
Tulisan Mesir Kuno, Tulisan Kuno, Mesir
Hieroglyph

Panel demi panel pada candi memutar searah jarum jam. Batuan slalu bicara pada manusia dari zaman batu bisu, paleolitikum, mesolitikum, megalitikum, hingga neolitikum. Sekarang zaman batu ego, dari kerikil-kerikil sugesti, kerikil-kerikil jumrah beserta nisan.
Dunia yang bulat menjadi panel-panel komik, dunia yang terkotak-kotak. Seperti teka-teki menyusun kotak berurutan dalam sekejapan.
Otak membagi kotak, kotak mengurung otak. Segalanya berisi peristiwa.
Memang sejak kanak-kanak slalu diajari mendengar serta meniru, bercerita, melagu dan menggambar.
Mendengar batuan bicara bahkan menangis menetes dari stalagtit membentuki suiseki, jika direnungi pembicaraan batuan itu mengental tersendimen membulat diujung jari, batuan akik itu.
Lalu bercakap dengan akik itu, hukum-hukum permintaan, hukum-hukum penawaran lalu kebutuhan untuk mendengar. Batu-batu, panel-panel.
Mendengar cengkrama hewan betapa lucunya anak-anak itu mendengar percakapan ayam. Ayam betina kehilangan telor yang dierami, mengadu pada jago. Betapa kecewanya betina itu.
Kanak-kanak meniru gerakan binatang pada pentas drama fabel, gerakan silat juga prototipe suatu barang.
Ia mulai gambar simbol kehidupan, icon, favicon, emoticon, visual semiotika dalam otaknya lalu menceritakannya.
Seolah dengan jiwa murninya, anak mrnyampaikan pesan murni batuan, hewan, alam, Tuhan, segenap yang terbungkam. Kita lalu menyebutnya tahayul yang kekanakan.

Hidup kita slalu dekat dg gambar. Mata yang menggambarkan, mulut menceritakan gambar-gambar yang ditangkap telinga, hidung, tangan, segenap inderawi.
Persis pementasan Wayang Beber. Bayangan bercerita asal muasal bayangan yang melekati badan materi.
Bocah kampung menggambari tanah pelataran rumah, tetanahan warisan. Mereka mewarisi cerita. Tapi tanah-tanah kini dicemari kimiawi, sedang modal asal manusia hanyalah tanah.
Tak kita lihati lagi bocah menggambari tanah asyik dengan teman sepermainan menangkapi petir. Muncullah Gundala kecil putra petir besar. Ya, petir dan listrik !.
Kita hanya lihati, anak-anak sibuk melukisi kanvas elektronik. Kanvas langit bergemintang mengajak berlagu "Bintang Kecil".
Akan seperti apa gambar anak-anak kita ?!
Mereka pasti pandai menggambar serta menganggap pemimpin negeri ini super hero.

Manusia begitu lama dijajah gambar, citraan tunggal.
Penguasa media adalah super hero, penjahat super yang menyamar super hero.
Nietzsche super menjelma Hitler, lalu Chaplin, Jojon dalam persamaan kumisnya.
Para pahlawan super lahir di komik, bukan di dunia. Lahir bersama imajinasi kanak-kanak.
Jangan pernah bermimpi negeri ini dipimpin Ratu Adil, keadilan berada pada imajinasi anak-anak. Sedang anak-anak terlantar tanpa panduan gambar.
Hukum ?!, dalam komik hanya ada hukum garis dan titik.







Jogja, 24 April 2014
by Facebook Comment

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda akan memperkaya wawasan.