Pola
Pemukiman, Arsitektur dan Sistem Kepercayaan
Perwujudan
nyata dari budaya dan kehidupan Zaman Megalitik di Nias ( terutama di
Nias Selatan ) dapat dilihat masih lengkap hingga sekarang ini 10.
Sering upacara serupa diselenggarakan dan dilakukan secara bersama –
sama yang terdiri dari beberapa banua
11
disebut Ori.
Saat itu juga upacara keagamaan berlangsung dengan menceritakan mitos
kejadian ( kosmogoni
dan
etnogoni
), tentang pohon kehidupan, tentang dunia atas dan dunia bawah,
tentang roh leluhur. Upacara dipimpin oleh ere,
atau
imam.
Selama
upacara berlangsung orang tidak boleh bekerja di ladang, dan perang
antar suku (
banua
) atau desa dihentikan.
Kepercayaan
kepada roh leluhur merupakan salah satu yang paling sentral dalam
kehidupan Masyarakat Nias. Roh ini dipuja dan dihormati, sekaligus
ditakuti. Kita dapat temukan begitu banyak patung – patung nenek
moyang ( adu
zatua )
yang didewakan terbuat dari batu yang monumental disetiap desa tua di
Nias yang dipuja dan disembah.
Terdapat
rumah tradisional yang besar, omo
hada,
terutama rumah raja dan struktur banua
( desa ) yang merupakan refleksi dari makro kosmos 12.
Rumah dan pilarnya dibuat secara cermat dengan arsitektur yang sangat
estetik ( berbentuk perahu ) hingga ke atapnya yang menjulang tinggi
hingga 20 meter. Ditengah Desa Bawomatoluo
( Nias Selatan ) terdapat omo
gorahua
( balai ) sebagai tempat berbagai upaacara dan ritual keagamaan
disertai dengan berbagai bentuk nyanyian dan tarian. Upacara
keagamaan seperti Owasa
terkait erat dengan pesta peneguhan prestige
tingkat sosial dan gelar, “
Feasts of merit “
, untuk itu dibuat bangunan monolitik sebagai batu peringatan bahwa
pemiliknya pernah menyelenggarakan pesta tadi.
Di
pulau – pulau batu dan Nias Selatan kita bisa lihat kursi mahligai
dengan sandaran tangan dan punggung yang diukir berupa manusia dan
buaya ( antropomorphi
dan
zoomorphi
). Juga terdapat lukisan dan pahatan nenek moyang dikedua lapisan
belanga.
Desain
interior rumah adat di Nias Selatan terdiri dari kamar ( ruang )
untuk bersama ( komunal ), terdapat ruang tidur bagi anak lelaki
yang belum menikah, dan kamar bagi yang sudah menikah. Di Nias Utara
misalnya di Onolimbu,
berbentuk bundar dengan pola pemukiman yang sama dengan Bawomatoluo.
Stratifikasi
Sosial dan Legitimasi Kekuasaan
Ksatria Nias |
Salah
satu ciri khas dari kebudayaan megalitik adalah kepercayaan yang
dualistik-monisme, antara dunia atas ( langit ) dengan dunia bawah (
bumi ), antara makro kosmos dengan mikro kosmos. Di Nias diungkapkan
antara Lawalangi
dan Laturedano
13,
sebagai dua dewa tertinggi, yang tinggal di Teteholi
ana'a
dan Laturedano
sebagai penguasa dewa dunia bawah. Dewa ketiga adalah Silewe
Nazarata sebagai
dewa penghubung antara dunia atas dan dunia bawah.
Konon
di Teteholi
ana'a
berkuasa seorang raja bernama Sirao
yang mempunyai anak sembilan. Delapan orang diturunkan ke bumi yang
kemudian menjadi asal usul anak manusia di nias, Ono
Niha.
Bagi
Orang Nias banua
dipahami dalam 3 pengertian ;
- Sebagai refleksi dari Teteholi ana'a ( langit )
- Sebagai desa atau kampung ( bumi )
- Sebagai kelompok manusia yang tersusun yang dipimpin oleh seorang Salawa
Banua
dipimpin oleh seorang Salawa
( yang tertinggi dan berkuasa ) sebagai refleksi dari penguasa
kosmos. Ia dibantu oleh orang – orang yang disebut sebagai
Tambalina.
Para Tambalina
ini membentuk kelompok yang disebut sebagai Ono
Zalawa (
seperti hanya gentry
di Inggris, Lehnsmann
di Jerman ).
Oleh
banyak hal banua
ini membentuk semacam federasi yang disebut sebagai Ori
yang dipimpin oleh Si
'ulu
( yang berkuasa, mengepalai, memimpin ) atau Tuhenori.
Kelompok
lapisa terahir ( ketiga ) adalah Sifao
( yang turut serta ) dan Solo'o
(
pengikut ), Sato
( massa ) atau Sihono
( ribuan ) 14.
Stratifikasi
sosial diatas terkait masalah kekuasaan, Macht
und Herrschaft,
kekuasaan dan otoritas, yang dalam konteks Nias dapat dikategorikan
sebagai Tradisionale
Herrschaft
( Max Webber ), kekuasaan tradisional yang legitimasinya diperoleh
dari dan berdasarkan tradisi yang dipatuhi bersama 15.
Kekuasaan ini diwariskan berdasarkan keturunan dan kesakralan
tradisi, dan perintahnya dipatuhi sebagai sebuah prinsip yang berifat
imperatif. Atas dasar ini tidak ada lagi persamaan natar manusia.
Bahkan
dalam derajad sosial yang sama pun terdapat perbedaan, yaitu
berdasarkan jenis kelamin : kehidupan publik, kultus dan perang,
hukum dan upacara, pewaris jabatan, pemimpin banua,
tau Ori
merupakan ' wilayah ' dan kewenangan laki - laki ( mulier
taceat in ecclesia
).
Tentang
pembagian kerja lainnya antara keduanya tidak begitu jelas dan hanya
digambarkan secara umum : kaum laki – laki bekerja dibidang yang
terkait dengan peternakan ( hewan ) dan berburu, sedangkan perempuan
dibidang yang menyangkut pertanaman ( pertanian ).
Jika
kita amati dan analisis pembagian kerja ini maka secara hipotesis
dapat dikatakan bahwa pekerjaan perempuan lebih berat ketimbang laki
– laki.
Semua
makhluk hidup mempunyai peringkat ini, dan manusia adalah yang paling
menonjol, valuing
animal,
paling pandai menilai berdasarkan skala yang berbeda. Pada masyarakat
tradisional Nias perbedaan antara kaum bangsawan dan yang bukan
bangsawan tidak saja oleh kelahiran, tetapi juga beda dalam
penampakan, misalnya deformasi pakaian, perhiasan atau ornamen, tata
letak dan bentuk rumah tinggal, tempat duduk, bentuk dan warna
senjata, dan berbagai ritus dari lahir hingga upacara pemakaman.
Hubungan
antara kaum aristokrat dengan rakyat biasa seperti layaknya hubungan
antara kreditor dan debitor : petani asal bangsawan meminjamkan
barang, ternak atau uang, kepada rakyat biasa dan lama – kelamaan
tidak dapat dibayar dan menjadikannya tetap debitor dan tergantung.
Oleh kareni itu sering mereka dipekerjakan kebun atau ladang orang
ningrat, dan bagi kaum bangsawan tadi hal ini merupakan simbol dan
prestige
tersendiri.
Otoritas
kekuasaan tradisional seperti itu tumbuh subur di lingkungan
masyarakat feodal-agraris, dimana mereka sebagai tuan tanah, dan
golongan bawah menjadi pekerja. Hubungan antara para aristokrat (
Bahasa Yunani : pemerintahan orang – orang terbaik ) dengan
golongan non-bangsawan terjalin seperti patron
dan klientel.
Di Jerman hubungan ini seperti antara Herr
( tuan, penguasa, pemilik ) dan Vasal
( pengikut ) atau Lehnsmann.
Sistem ini diperkirakan dimulai di Inggris pada abad ke-9, dibagian
Eropa lainnya lebih kemudian dan berakhir di penghujung abad 17 16.
Stratifikasi
sosial dan legitimasi kekuasaan seperti diuraikan diatas merupakan
analisis berdasarkan “ teologi- suku “, dan bukan versi
sosio-etnologis.
Untuk
tema ini kita perlu ingatkan kembali teori tentang asimilasi dan
akulturasi antar etnik, baik kala kedatangan
Ono Niha
di Nias maupun asimilasi dan akulturasi yang bertahap tadi, yang pada
gilirannya membentuk stratifikasi sosial sebagi berikut :
Pendatang
pertama penduduk Nias adalah mereka yang datang dengan peralatan dan
kultur yang sangat sederhana ( primitif ), yang oleh pendatang
berikutnya yang lebih tinggi tingkat budaya dan jumlahnya lebih
banyak dengan mudah dapat menguasai mereka.
Pertemuan
antar budaya dan manusia yang tak seimbang kemudian secara otoritas
membentuk stratifikasi sosial dalam masyarakat hingga terbentuk
golongan atas, menengah dan bawah. Proses asimilasi dan akulturasi
ini tidak selalu berjalan mulus dan damai, tetapi juga melalui
perang. Golongan bawah biasanya berasal dari tawanan perang dan
dijadikan budak ( Nias Selatan : Sawayu
atau Harakana
) yang terdiri dari 3 kriteria ; karena perang ( binu
), tidak sanggup membayar hutang ( Sondrara
hare
), atau karena ditebus dari hukuman ( Holito
).
Lembaga ( adat ) Owasa
dapat menjadikan golongan menengah ke atas, jika ia sanggup
membiayai pesata ( jasa ) yang sangat mahal itu, untuk memperoleh
gelar Balugu.
Melaui
proses asimilasi, suatu kelompok berbaur dan berinteraksi dengan
kelompok lain sehingga anggota kelompok tadi kehilangan jati dirinya
baik secara sosial maupun kultural. Psikologis, dalam hal yang
ekstrim mereka malu jika disebut asal usul aslinya, bahkan untuk itu
ada yang mengganti nama aslinya dengan nama ( identitas ) barunya.
Sementara akulturasi penyerapan budaya asing juga berlangsung namun
kesadaran kelompok tetap dijaga dan dipelihara, tidak kehilangan
identitas aslinya.
Lewat
kedua proses sosial dan kultural --- terlepas dari proses lainnya ---
telah terjadi perubahan sosial dan kultural secara signifikan. Kedua
mekanisme itulah --- membentuk berbagai sub etnik, logat bahasa (
yang dimengerti oleh kedua kelompok ), menyebarnya pemukiman dan
terbentuknya banua
dan klan dengan Weltanschauung
( pandangan hidup ) lainnya yang berbeda namun memiliki kesamaan yang
mendasar. Tebal dan tipis kesamaan ini ( termasuk fisik ) tergantung
dengan intensitas dan kumulasi proses diatas.
Proses
yang sama berlangsung kala kedatangan gelombang migrasi ketiga di
Nias yang jauh lebih “ modern “ yang hipotesis menguasai posisi
teratas dari seluruh masyarakat. Mereka yang datang lebih dahulu
dikuasai melalui perang dan damai, antara yang kuat dan lemah (
survival
of the fittest
). Proses terjadinya kelompok elite seperti ini ( lahir dan
terbentuknya kelompok aristokrat ) bersifat transkultural, terutama
tumbuh subur di Eropa hingga terbentuknya feodalisme.
Proses
ini kemudian dilembagakan melalui “ teologi suku “ yang
disampaikan dari generasi ke generasi dan dipercayai kebenarannya.
Manusia adalah makhluk religius.
Dalam
hal ini kita dapat mempertanyakan ; apakah masuk akal golongan
bangsawan dari asal negerinya bermigrasi ketempat lain ?, dan kenapa
?.
BERSAMBUNG : NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional IV,Perang dan Konflik ; Fungsi Integratif dan Pembaharuan
Sumber
Tulisan : Garang, Phil J. 2007. Nias
Membangun Harapan Menapak Masa Depan :
Studi Tentang Perubahan Sosial
dan Kultural.
Jakarta : Yayasan Tanggul Bencana Indonesia
( YTBI ), h. 11 – 19.
Catatan
Akhir “ NIAS
: Potret Sebuah Masyarakat Tradisional III
;
Sebuah Peta Kultur Megalitik “
10
“
Monumen “ kultur Megalitik ( Saita
Gari, Behu, Gowe Zalawa
) yang relatif utuh dapat kita temui, misalnya ratusan nak tangga
yang menghubungi desa – desa yang berbeda ketinggiannya. Seperti
dari Orahili
ke
Bawomatoluo
( 11 km dari Teluk Dalam ) terdiri dari 4 tingkat dengan 700 anak
tangga ( sekarang hanya tinggal 1 tingkat ). Banua
( desa ) adalah mikro kosmik dimana pemukiman dibangun 2 baris saling
berhadapan sehingga terdapat ruang yang luas diantara keduanya. Di
ruang terbuka inilah kita temukan patung – patung batu berbentuk
obelis ( pilar yang banyak seginya ), relief pada tembok dan jalan –
jalan yang diplester dengan batu, terdapat begitu banyak dolmen, meja
– meja bundar dan bangku yang terbuat dari batu sebagai tempat
peristirahatan roh – roh orang yang sudah meninggal. Juga digunakan
sebagai tempat
pertemuan atau upacara adat. Bangunan monolitik juga dapat kita
temukan
di Onowaembo-Idanoi, Onolimbu-Lahomi, Hilisimaetano.
11
Banua
orang Nias biasanya berada di daearah pedalaman dan didirikan diatas
puncak bukit atau gunung. Jika di lembah maka letaknya ditengah
bebebrapa lapisan bukit dan gunung yang sulit didatangi orang. Hal
ini disebabkan waktu itu mereka masih suka berperang atau mengayau
( kepala ). perang juga mengakibatkan ditinggalkannya desa ( di Gomo
misalnya banyak desa yang ditinggalkan ) dan membngun desa baru yang
cenderung ke dataran rendah dan pesisir.
12
Desa
adalah refleksi dari makro kosmos dan unit terkecil dari refleksi ini
( mikro kosmos ) adalah rumah adat Orang Nias yang terdiri dari 3
lapis ( susunan ) : lapis pertama adalah bagian bawah ( bagian tiang
penunjang ), lapisan kedua adalah ruang yang ditunjang oleh tiang –
tiang tadi, dan lapisan ketiga adalah bubungan ( atap ). Semuanya
bermakna kosmologis : bagian bawah melambangkan dunia bawah, bagian
tengan ( ruang tempat tinggal ) melambangkan dunia manusia ( bumi ),
dan bagian teratas melambangkan dunia atas. Dari lapisan kedualah (
bumi manusia ) berasal anak manusia ( Ono
Niha
) yang disebut sebagai Si
Sawenaita.
Bandingkan
; P. Suzuki, The
Religious System and Culture of Nias, Indonesia.
Proefsschrift, Gravenhage, halaman 65-77 ; Hammerle, op.cit.,
halaman 49 dan seterusnya.
13
Dalam mitologi Nias Lawalangi
adalah adik dari Laturedano
karena ia datang lebih kemudian ( lihat
catatan
sebelumnya
). Kalau
kita mendengar syair Hoho
terutama tentang penciptaan manusia terkesan ada “ kedekatan “
dengan Kisah Kejadian dalam Al Kitab ( PL ) dalam Agama Kristen.
Menurut
tradisi Nias, Ono
Niha
terdiri dari 4 kelompok etnik yang diciptakan secara berbeda namun
memiliki kesamaan dengan Kitab Kejadian, misalnya salah satu etnogoni
di Desa Sifalago
Gomo Boronadu
yang disampaikan oleh Ama
Waigi Giawa.
Lihat
; P.J. Hammerle, op.cit.,
Halaman 51 dan seterusnya.
Banyak
peneliti ( etnolog ) tentang mitologi ( etnogoni ) suku diberbagai
masyarakat suku, khususnya di Afrika, menunjukkan danya “ versi Al
Kitab “. Daerah yang mereka teliti ini Agama Kristen sudah
berkembang. Ini berarti, kemungkinan besar mite – mite pada suku
setempat “ menyerap “ budaya Kristiani dan dianggap kemudian
sebagai “ milik “ suku ( sinkretisme
).
Artinya
telah terjadi akulturasi, dimana sebuah kultur asing diambil alih
sedemikian rupa namun kesadaran dan ciri khas suku tetap terjaga (
tidak hilang ).
14
Strata Masyarakat Nias terdiri, Balugu,
Salawa
( Nias Utara, Tengah, Timur dan Barat ) atau Si'ulu
( sebutan untuk Nias Selatan ).
Balugu, Salawa
atau Si'ulu
artinya yang tertinggi dan yang berkuasa, tergolong kaum bangsawan.
Kelompok ini masih terbagi dua, yakni yang memegang tampuk
pemerintahan dan yang tidak. Di Nias Selatan, pemegang tampuk
pemerintahan dikenal dengan istilah Balo
Zi'ulu.
Kedua,
sato
atau sihono
(
orang banyak ) dan mereka ini termasuk warga desa. Ketiga, budak (
Sawuyu
atau Harakana
).
Para budak ini pun terdiri dari 3 golongan, yakni Sondraha
hare
( menjadi budak karena tidak sanggup bayar hutang ), Binu
( menjadi budak karena kalah perang ), dan holito
(
menjadi budak karena ditebus dari hukuman mati oleh orang lain yang
menjadi tuannya ). Dari ketiga golongan budak ini, binu-lah
yang nasibnya sangat buruk karena mereka dipaksa kerja keras dan
menjadi kurban bila ada upacara – upacara.
Stratifikasi
sosial di Nias mempunyai pemahaman dan dasar agama suku. Dualisme
para dewa tercermin dalam pelapisan sosial di Nias. Sifat dewa atas
sebagai pencipta dan yang memerintah kosmos, itu yang dimiliki kaum
bangsawan ( nga
'oto Zalawa
atau
Si'ulu
) dan sifat dewa bawah dimiliki oleh rakyat biasa ( nga
'oto Niha sato
atau sito
'olo
). Sedangkan budak atau nga
'oto Zawuyu,
pada konsep asli tata kemasyarakatan Nias tidak dijumpai. Kaum budak
timbul kemudian, karena beberapa alasan misalnya ; tawanan perang,
atau orang yang tidak sanggup membayar hutang lalu dijadikan budak,
atau orang yang seyogianya dihukum mati karena kesalahannya yang
cukup berat, lalu ditebus oleh kaum bangsawan dan kemudian dijadikan
budak. Kaum bangsawan sebagai pencipta dan pemerintah banua,
seperti halnya Lawalangi,
mencipta dan memelihara kosmos. Kaum rakyat biasanya rela mati di
medan perang karena mereka bertugas menjaga dan memelihara banua,
seperti halnya Laturedano
yang memlihara dan menjaga kosmos.
Talaumbanua,
T.,
Tanggapan
tertulis atas draft buku, “
Nias, Membangun Harapan, Menapak Masa Depam, Sebuah Studi Tentang
Perubahan Sosial dan Kultural “,
tulisan Dr. Phil J. Garang, Semiloka Nias, 8 Desember 2006, Gunung
Sitoli, Nias. Tanggapan ini belum dipublikasikan.
15
3 jenis legitimasi kekuasaan yang menempatkan seseorang atau
keturunannya memerintah, yaitu ; “
tradisionale herrschaft “
( berdasarkan legitimasi tradisi ), “
charismatische herrschaft “
( berdasarkan karisma seseorang, sebagai ' pemberian ' Tuhan ), dan
“ legale herrschaft “
( berdasarkan hukum yang berlaku, demokratis ). Ketiga jenis
kekuasaan atau pemerintahan ini disebut sebagai “
Idealtypen “
oleh Max Webber.
Max
Webber : “
Wirtschaft ung Gesellschaft “,
2. Halbband, Tubingen, 1956, halaman 157-179.
16
Di Eropa sistem feodal ( aristokrasi ) berlangsung sekitar abad ke-9
hingga abad ke-16 atau 17, Samurai di Jepang abad ke-14 dan China (
Shih
) abad ke-10 sebelum Masehi dan masing – masing mempunyai kode etik
tersendiri ( Bushido
di Jepang, Li
di
China ).
Di
Eropa feodalisme merupakan gaya hidup, muncul setelah imperium disana
berakhir, dan kaum feodal ini kemudian menjadi pendukung kerajaan dan
monarkhi yang baru disana.
Sistem
feodal diperkirakan berakhir karena pertumbuhan perdagangan, industri
dan berdirinya kota – kota, ekonomi ( uang ) dan munculnya
pemberontakan petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.