"
Banyaklah mendengar ", begitulah pepatah bijak mengatakan. Tahun
80-an sampai dengan awal 90-an merupakan fenomena booming
nya
sandiwara
radio.
Maklum tahun tersebut belum banyak stasiun tv swasta yang mengudara,
tak pelak TVRI adalah satu - satunya stasiun sebagai hiburan,
informasi dan edukasi. Sedangkan radio berada pada masa jayanya dalam
mengambil kesempatan sebagai media hiburan, informasi dan edukasi
yang merakyat.
Sandiwara
radio
menjadi primadona acara, disiarkan lebih dari 512 stasiun yang
tergabung dalam Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (
PRSSNI ). Naskah cerita yang ditulis secara apik, keprofesionalan
serta kekhasan pengisi suara menimbulkan imajinasi pendengar. Dari
bunyi - bunyian yang ditimbulkan, pendengar membangun imajinasi
visual
masing - masing.
Ide
cerita dikembangkan dari latar belakang sejarah kerajaan - kerajaan
di Nusantara. Ramuan antara fakta sejarah, ingatan kolektif
masyarakat, mitos serta imajinasi berbaur begitu ulet dan plastis.
Ciri lokalitas menyeruak begitu dalam.
Saur
Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Babad Tanah Leluhur,
Kaca Benggala, Bende Mataram, Sabda Pandita Ratu, Gandrung Arum
--- merupakan sebagian sandiwara
radio
yang berlatar belakang sejarah yang dibumbui romantisme. Genre drama
seperti Ibuku
Malang Ibuku Tersayang, Butir - Butir Pasir di Laut,
sandiwara berbahasa Jawa yang dibawakan oleh pembawa cerita Abbas Ch,
sandiwara anak - anak Joni
Kukuh
yang disponsori multi vitamin Vidoran, ikut menyemarakkan keragaman
tema.
Radio
tak bisa dilepaskan dari bunyi. Peran dubber,
sound
effect dalam
sandiwara menentukan sejauh mana imajinasi
visual
pendengar terbangun. Siapa yang tak mendengar nama - nama besar ;
Fery Fadli, Elly Ermawati, Ivone Ross, Edi Dhosa, Hasdi Suhastra,
Petrus Ustpon, Bahar Mario, Maria Oentoe, Asriati sebagai para
pengisi suara yang handal ?!.
Suara
Hasdi Suhastra yang biasanya sebagai pembawa cerita begitu berwibawa,
dalam, nggandem
kata Orang Jawa. Ivone Ross sebagai pengisi suara Lasmini dalam Saur
Sepuh yang begitu genit, masih bisa kita nikmati sampai sekarang
dalam karakter dan media yang berbeda yaitu sebagai dubber
Nobita ( Film Animasi Doraemon ) yang masih ditayangkan oleh salah
satu stasiun tv swasta di Indonesia sampai sekarang.
Peranan
sponsor juga sangat menentukan terselenggaranya sandiwara radio.
Mayoritas sponsor merupakan produk obat sakit kepala, influenza,
diare dari PT. Kalbe Farma, Dankos, Deltomed atau Bintang Toedjoe
seolah membawa klangenan,
memori romantisme tersendiri ketika selalu hadir dalam slot - slot
durasi pada sandiwara radio sebagai iklan.
Seolah
pendengar sandiwara radio adalah orang yang selalu berpenyakitan ;
pusing, flue atau diare ?! ( hahaha ). Tapi siapa orang yang tak
sakit kepala memikirkan jaman modern di negeri ini, sekarang ini ?!.
Radio
; Antara Imajinasi dan Visualisasi
Tahun
1901 Guglielmo
Marconi
berhasil mengirim berita radio melintasi Samudra Atlantik, dari
Inggris ke New Found land. Sejak saat itu, perkembangan teknologi
telekomunikasi dan informasi ( telematika ) begitu pesat.
Perkembangan yang berkecenderungan mengarah pada konvergensi (
penyatuan ) antara ranah penyiaran , telekomunikasi dan informatika.
Teknologi
keradioan mutakhir meliputi Digital
Audio Broadcast
( DAB ), radio visual ditambah konvergensi radio dan internet pun
terus dikembangkan sebagai alternatif untuk tetap dapat bersaing
dengan media lainnya. Streaming
radio
di internet menjadi peluang baru bagi penggiat radio komunitas yang
terkendala perijinan dan jangkauan siaran. Karena pada dasarnya
tantangan yang dihadapi radio dewasa ini, bagaimana memperluas
jangkauan pendengar dan mnghemat biaya operasional. Bahkan Radio
Komunitas Suara Buruh Migran, Yogyakarta dapat didengarkan oleh para
pekerja Indonesia di Singapura, Arab, Hongkong dan China (
http://buruhmigran.or.id
).
Di
pedesaan, mulai berkembang Jaringan
Radio Komunitas ( JRK ).
Radio yang mempunyai konten khusus dan khas, bertujuan sesuai dengan
komunitas masing – masing dan bersifat non komersil. Bukan demi
kepentingan komunitas tertentu, melainkan komunitas melayani diri
sendiri melalui radio. Kementrian Komunikasi dan Informasi juga
memiliki program sejenis melalui Desa
Informasi.
Program ini bisa bersinergi dengan Jaringan
Radio Komunitas ( JRK ).
Tampaknya
peluang radio konvergensi ini akan sedikit terkendala dengan RUU
( Rancangan Undang - Undang ) Konvergensi Telematika
yang perlu ditinjau ulang.
Membedakan penyiaran radio yang komersil dan non komersil.
Disamping
live
streaming,
konvergensi radio dengan internet juga merambah ke media jejaring
sosial. Fans
page,
group, akun resmi radio mencoba berinteraksi agar mendapatkan umpan
balik dari penggemar. Komunikasi yang terjalin menjadi multi arah
dan kemudahan mengakses media pun terpenuhi. Akhirnya radio tidak
hanya bisa dinikmati secara audio saja.
Konvergensi
teknologi 3G untuk siaran radio sanggup memfasilitasi interaktivitas
pendengar dan penyiar melalui audio-visual dengan fasilitas video
call.
Bahkan pendengar memungkinkan untuk face
to face
dengan penyiar via telepon genggam dimanapun, kapanpun.
Dengan
demikian, apakah perkembangan kemutakhiran teknologi radio akan
memundurkan radio yang notabene
mempunyai ciri khas dibanding media lain yaitu kekuatan imajinatifnya
?!.
Hampir
sebagian besar sandiwara radio yang diangkat ke layar lebar dan tv
seketika itu juga runtuh pesonanya. Sinetron Misteri Gunung Merapi,
Saur Sepuh begitu mengecewakan !.
Namun
radio hanyalah salah satu media, pendengar atau penikmatlah yang
memilih antara radio
yang imajinatif ( audio )
ataukah radio
yang audio-visual.
Bantul,
18 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.