Proses
Asimilasi dan Akulturasi : Hubungan Antar Etnik
Hanya
dengan memahami proses diatas kita dapat meletakkan dasar asal –
usul Orang Nias sekarang ini :
- Masa Mesolitikum ( Neolitik-Megalitik ) Pulau Nias telah dihuni oleh pendatang migrasi gelombang pertama yang dalam tradisi Hoho disebut sebagai orang yang tinggal dibawah tanah ( aro Dano ). Dengan postur tubuh kecil, warna kulit kehitam – hitaman ( ciri khas Weddid ), rambut ikal hingga keriting. Arkeologis, peninggalan mereka terdapat di gua – gua ( bawah tanah ) yang sekarang merupakan situs arkeologis-historis di Nias. Mereka ini disebut “ orang asing “, “ manusia bawah tanah “ ( ndrawa, aro dano ). Kita temukan peninggalan – peninggalan purbakala seperti peralatan dari batu dan serpihannya ( sebagai alat pukul ), bekas abu pembakaran dan berbagai fragmen tulang dan lain sebagainya. Budaya ini mirip dengan Budaya Paleotikum ( Hoabinh ) di Vietnam dan Thailand 5. Manusia yang tinggal dibawah tanah ( gua ) ini kemudian dalam mitologi dan religi di Nias dikaitkan dengan dewa bawah ( tanah ), yaitu Laturedano.
Lobo memanjat pohon dan ranting bambu untuk masuk ke pintu masuk utama gua Foto : The Gentle Tasaday, New York, 1975. |
- Sekitar 4000 tahun lalu ( Mesolitikum ) tiba di Nias gelombang migrasi kedua, kelompok Paleo-Mongolide. Seperti disebut sebelumnya, Ono Niha menyebut mereka sebagai manusia yang tinggal dan hidup diatas pohon. Mereka adalah kelompok Bela ( putih ) atau Ono Mbela ( anak manusia yang putih ). Kulit mereka memang relatif putih jika dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam tradisi Hoho, mereka ini mereka dikatakan menghilang karena terdesak oleh pendatang yang lebih kemudian. Ono Mbela diceritakan sebagai roh yang berdian di pohon – pohon atau Liana ( sarana untuk turun ) 6. Hal ini kemudian menjadi bagian sistem religi Masyarakat Nias, bahwa pohon dihuni dan dijaga oleh Ono Mbela.
- Pendatang ketiga, sebagai pendatang yang paling dominan di Nias adalah mereka yang datang masa Neo litikum sekitar 1500 SM. Mereka berasal dari Cina Selatan dengan membawa Budaya Dong-son ( Annam ) dengan ciri budaya ( telah mengenal ) bercocok tanam, memelihara Babi, Anjing, Ayam, pandai besi dan emas dan berkebun kelapa, dan lainnya. Dalam perjalan mereka dari negeri asalnya sebagian dari mereka tinggal diberbagai wilayah di daratan Benua Asia Tenggara dan membentuk kelompok tersendiri. Kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat hingga membentuk identitas tersendiri. Sebagian melanjutkan perjalanan ke berbagai wilayah Asia Tenggara lainnya, termasuk Nias. Ciri khas mereka berbeda dengan pendatang sebelumnya, yaitu ciri Mongoloide yang menonjol. Dalam Mite Nias, mereka disebut “ manusia dari atas “ ( Teteholi Ana`a ) dengan mengambil simbol keagamaan sebagai Lawalangi.
Ono
Niha : Analisis Etno-Sosiologis
Untuk
memahami secara lebih baik keberadaan
Penduduk Nias
sekarang ini, kita harus membahas proses asimilasi dan akulturasi
diatas.
- Analisis berdasarkan Hoho saja tidak mencukupi, mengingat rentang waktu yang begitu lama ( ribuan tahun ). Kita dapat katakan bahwa semakin tua ( lama ) proses itu berlalu, semakin kabur dan rancu kisah masa lalu. Apalagi cerita yang termuat dalam Mite di Nias disampaikan secara lisan ( tradisi oral, dari mulut ke mulut, generasi ke generasi ). Kita juga perlu mencatat bahwa dalam cerita rakyat ( mitos ) selalu terkandung nilai – nilai kebenaran.
- Ketiga gelombang migrasi ke Asia Tenggara dan yang kemudian menjadi penduduk Pulau Nias menunjukkan berbagai perbedaan, baik postur tubuh ( fisik ), warna kulit dan kebudayaan mereka. Sangat mungkin jumlah pendatang yang kemudian lebih banyak ketimbang sebelumnya demikian juga tingkat peradabannya.
- Dari perspektif Hoho, pendatang gelombang kedua ( Ono Mbela ) menyatakan bahwa pendatang pertama ( manusia gua ) menghilang begitu saja, entah kemana. Demikian juga pendatang ketiga menyebutkan bahwa pendatang kedua juga tidak diketahui kemana rimbanya.
Tasaday pada pintu masuk ke gua milik Balayam Foto : The Gentle Tasaday, New York, 1975. |
Proses
dan kejadian sejarah diatas hanya mungkin dijelaskan secara Etno-
Sosiologis, yaitu telah terjadi “ asimilasi-bertahap “ atau
pembauran antar etnik demikian juga sistem sosial-kulturalnya, bahasa
yang melahirkan berbagai logat ( idiom ), perubahan bentuk fisik dan
sistem kepercayaan lainnya. Artinya : pendatang pertama berasimilasi
( dan ber-akulturasi ) dengan pendatang gelombang kedua ( yang lebih
“ berbudaya “ ), jumlah lebih banyak atau kuat dari pendatang
pertama. Pembauran atara pendatang pertama dan kedua kemudian di
occupied
oleh pendatang yang lebih maju, lebih banyak dominan dalam berbagai
hal. Sesuai dengan teori maka hasil dari seluruh proses asimilasi dan
akulturasi dalam tahapan waktu yang panjang diatas adalah penduduk
Pulau
Nias sekarang.
Kalau
kita ingin membenarkan secara mutlak teori asimilasi yang berlangsung
dalam tahapan diatas, dapat kita lihat bahwa Penduduk Nias sekarang (
Ono
Niha
) pada dasarnya beraneka ragam dalam banyak hal, namun tetap memiliki
kesamaan dasar yang tampak dalam kultur ( bahasa dan dialek ) yang
dapat dipahami oleh semua penduduk Nias. Terdapat bahasa ( Li
Nono Niha
), terdapat dialek ( Laraga
atau Tello
) dan memiliki kultur Megalitik yang relatif sama, walaupun struktur
dan desainnya berbeda ( misalnya antara Nias Utara-Timur-Tengah dan
Selatan ) dan lain sebagainya. Persamaan ini berdasarkan garis asal
usul yang sama dan lingkungan sekitarnya juga relatif sama.
Pra
Pleistosen kepulauan Indonesia menyatu dengan dartan Asia dan dengan
berakhirnya kala Pleistosen ( Zaman Es ) ketinggian laut naik sekitar
100 meter dan terbentuklah pulau – pulau di Asia Tenggara, termasuk
Kepulauan Indonesia sekarang ini. Masing – masing penduduk hidup di
pulau masing – masing, dan hubungan antar pulau, antar manusia dan
antar kultur terpisah – pisah. Mengingat teknologi transportasi
laut waktu itu hampir tidak memungkinkan.
Kebudayaan
Megalitik di Nias mirip
dengan kebudayaan Dayak ( Punan ), Flores, Sumba, Daerah
Napu-Besona-Bada ( di Sulawesi Tengah ) 7,
Suku Naga di Assam, Aeta di Filipina dan di daerah Poleinesia
lainnya. Jejak Kebudayaan Megalitik yang paling mudah diamati berada
di Nias. Sangat otentik dan lengkap berikut arsitektur dan desainnya.
Misalnya terdapat Menhir
yang berbentuk piramid dari batu, Dolmen,
lingkaran ( geometris ) batu – batu besar, patung batu, tempat
duduk ( Osa-osa,
daro-daro, harefa
) dan bangunan monumental dari kayu sebagai ungkapan kompleksitas
bentuk sosial dan religius, tempat upacara keagamaan dan pesta jasa (
owasa
) di Nias Selatan-Tengah dan ritual peralihan ( rite
de passage
), Upacara Fondrako
8,
dan lainnya.
Tradisi
lain khas Kebudayaan Megalitik adalah pemotongan atau perataan gigi (
Lahozi
atau Lafofo
) pada anak berusia 12 – 15 tahun laki – laki maupun perempuan,
memotong kepala manusia ( Mengayau
) sebagai kurban dan kurban darah lainnya seperti untuk upacara
kematian atau pemakaman seorang bangsawan. Kebudayaan dan ritual
keagamaan seperti itu kita temui diberbagai belahan dunia, dan
merupakan hal yang elementer. Kesamaan lahirnya kultur dalam waktu
yang bersamaan, ditempat yang berbeda merupakan Elementargedanken
( A. Bastian )
9,
ide mendasar dari manusia. Artinya tidak harus ada pertemuan antara
manusia dan budaya. Jadi sebagai paralelisme budaya.
(
Bersambung : NIAS: Potret Sebuah Masyarakat Tradisional III,
Sebuah
Peta Kultur Megalitik )
Catatan
Akhir “ NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional II “ :
5
Bahasa yang digunakan adalah Austronesia dengan idiom ( logat )
Mon-Kmer. Mereka sudah menduduki Pulau Nias sekitar 2500-1500 SM pada
Masa Pleistosen. Gelombang migrasi kedua berasal dari Cina Selatan,
Yunan di Hulu Sungai Mekong, melalui Hindia-belakang. Sebagian
bermigrasi ke India ( Suku Manaha dan Santali ) dan berbaur dengan
penduduk setempat lalu menjadi Suku Bangsa Mon-Kmer.
Mon-Kmer
adalah penamaan bagi suku – suku bangsa yang tinggal di
Hindia-belakang yang memiliki kesatuan bahasa, namun secara kultural
berbeda. Suku – suku ini antara lain ; Mon di Rangoon bagian Timur,
Kmer di Kamboja, Khasi di Assam, Palaung di Birma ( bagian Utara
Negara Schan ), Moa bagian Timur Hindia-belakang, Lawa di Utara
Thailland.
6
Kita
sering membaca dan mendengar tentang peri kehidupan leluhur kita era
zaman batu. Mereka hidup di gua – gua ( Nias : Ndraha ) atau
dibawah tanah ( Ono Ndraha ) atau tentang Bela ( Ono Mbela ) yang
berumah diatas pohon yang kita ketahui dari situs peninggalan mereka
( peralatan dari batu ) atau dikatakan “ menghilang “ ( mite
menurut Hoho ). Pada awal tahun 1970-an dengan ekspedisi “ Panamin
“ di pedalaman Mindanao ( Filipina ) secara kebetulan ditemukan
suku --- yang seharusnya “ sudah hilang “ --- yang masih eksisten
dan hidup seperti zaman batu ( peralatan dari batu, tidak bercocok
tanam, berburu dan mengumpulkan makanan dari hutan, dan seterusnya )
; berumah didalam gua ( lereng bukit ) dan turun naik melalui akar (
liana ) atau pohon sekitarnya. Ciri mereka adalah Ras Paleo-Mongolide
( Weddid ) menggunakan bahasa Austronesia dengan idiom Mon-Kmer ,
seperti halnya bahasa pada suku – suku di Nias.
Dilihat
dari kulturnya mereka ini ( Suku Tasaday ) telah “ ditinggalkan
waktu “ lebih dari 2000 tahun lalu, tertutup dan terisolir, tidak
terasimilasi dengan kelompok lain. Suku Toala di Sulawesi pedalaman
) --- yang sejak beberapa dasawarsa terakhir hampir tidak ditemui
lagi --- perikehidupan mereka tidak jauh berbeda dengan Suku Tasaday.
Penulis
berusaha untuk menemui mereka, namun gagal dan hanya meninggalkan
jejaknya saja. Hal yang sama dengan Suku Dayak Punan di pedalaman
Kalimantan yang `enggan` bertemu dengan orang asing ( luar ).
Sumber
: Nance, John,. Tasaday. Steinzeitmenschen im Philippinischen
Ragenwald. Munchen, 1977 ( Tasaday. Manusia Zaman Batu Di Hutan
Tropis Filipina ).
Judul
asli : The Gentle Tasaday, New York, 1975.
7
Untuk bacaan lebih lanjut tentang Kebudayaan Megalitik di Sulawesi
Tengah,
lihat
; Kruyt, A.C, De West Toradjas op Midden Celebes, Deel I, Amsterdam,
1938.
Garang,
J. Dunia Kulawi. Masyarakat-Budaya-Gereja di Sulawesi Tengah, Dept.
Lit-bang PGI, 1983.
8
Upacara Fondrako pertama kali dilakukan oleh Hia di Gomo, sebagai
awal terbentuknya lembaga “ konstitusi “ di Nias. Fondrako,
sering juga disebut dengan berbagai nama sesuai daerahnya seperti
fanaru gowe, fanago ana`a, fanaro ; upacara atau pesta jasa, owasa,
diselenggarakan oleh seseorang dan penyelenggaranya memperoleh gelar
Balugu, sebuah gelar setingkat bangsawan. Biaya ritual pesta gelar
ini sangat mahal.
9
Adolf Bastian adalah Antropolog pertama yang membicarakan kesamaan
dan perbedaan kultur berbagai suku yang berbeda di berbagai penjuru
dunia. Adanya persamaan kebudayaan antar suku di dunia yang tidak
pernah terjadi kontak sebelumnya disebabkan oleh gagasan ( akal )
yang elementar ( mendasar ) dari manusia itu sendiri (
Elementargedanken ). Sementara perbedaannya ditentukan oleh
lingkungan alam dan ekologi ( sebagai penyesuaian ) disebutnya
sebagai Volkergedanken ( pemikiran suku – suku bangsa ).
C.G
Jung menamakan Elementargedanken diatas psikis `gambar asli ` bawah
sadar yang disebutnya Archetypen ( tipe purba ) pada diri manusia.
Lihat
; Muhlmann, W.E. Homo Creator, Weisbaden, 1962, halaman 165, 167,
285.
Riwayat
Tulisan “ NIAS : Potret Sebuah Masyarakat Tradisional II “ ;
Sumber
: Garang,
Phil J., 2007. Nias Membangun Harapan Menapak Masa Depan : Studi
Tentang Perubahan Sosial dan Kultural, Jakarta ; Yayasan Tanggul
Bencana Indonesia ( YTBI ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.