Religiusitas1
dan
keberagaman
oleh Metropolelightberry2
didekati melalui bagaimana subjek menghargai ketidakmampuan. Tema [
DIS ]
diangkat dari kata disability,
yang berarti ketidakmampuan. Bagi Metropolelightberry, apabila kita
memposisikan diri sebagai kaum difabel,
tentu akan tidak sangat mngenakkan dianggap sebagai individu yang
tidak mampu. Kata
[ DIS ]
memiliki sifat konotatif, yang seharusnya sudah tidak lagi digunakan.
Menurut kelompok ini, sudah saatnya kita memiliki empati dan membuang
jauh judgment
konotatif terhadap disabel.
Catatan
Kuratorial Workshop
[ DIS ]
8
November 2011, hari pertama workshop seni rupa dalam rangka kegiatan
[
DIS ]
Pararell Event Biennale XI
di SLB ( Sekolah Luar Biasa, State
Special School
) Negeri I Bantul diawali dengan ketegangan. Waktu sudah menunjukkan
pukul 09.00 WIB sedangkan para seniman dan pemateri belum tiba. Anak
- anak siswa SLB sudah gelisah menunggu di Sanggar Kaliba dan Studio
Batik, 2 sanggar seni yang terdapat di kompleks sekolahan tersebut.
Antusiasme akan workshop terpancar dari tingkah mereka. Bahkan,
terdengar celoteh dan pertanyaan yang polos khas anak – anak yang
bertanya pada sebagian kurator kegiatan workshop ini, “
Pak, kapan sih mulainya ? Ga dateng – dateng gurunya “...Meyra,
salah satu siswa Autis bahkan terlihat kesal dan menggerutu karena
dia memang paling semangat akan kegiatan workshop seni rupa ini.
Segala peralatan gambar sudah ia keluarkan dari tasnya.tak lama
kemudian datanglah para seniman dengan amunisi lengkap, anak –
anakpun berubah gembira.
[ DIS ] working team with one of the resource persons in a workshop session Source : Post Event Catalogue Parallel Events and Festival Equator Biennale Jogja XI Equator #1 |
Hari
pertama pemateri yang terlibat seniman dari Studio
Grafis Minggiran,
untuk mengajarkan seni grafis dan Sanggar
Caping
yang mengajarkan seni lukis. Studio Grafis Minggiran, mengajarkan
seni grafis dengan teknik yang sederhana yaitu Collagraph
Print
( kolase yang kemudian dicetak diatas kertas ). Sedangkan Sanggar
Caping mengajarkan seni lukis dengan pendekatan teknis seni grafis,
menggunakan sikat gigi dan Kentang sebagai media untuk
Stamp Print.
Semua pemateri terlebih dahulu berkonsultasi pada kurator dan guru
seni rupa di sekolah tersebut untuk pengkondisian tentang materi yang
akan diberikan, yang menyangkut hal – hal teknis agar mudah diserap
dan dipraktikkan para siswa disabel.
Tema
maupun konsep visual karya, rata – rata akan mengangkat hal – hal
keseharian yang mudah diingat dan dicerna oleh para peserta, sepert
bunga, hewan, bintang, dan sebagainya. Jadi dalam pelaksanaan, proses
kolaborasi yang diharapkan dapat berjalan dengan maksimal. Tidak ada
indoktrinasi maupun intervensi dari seniman kepada peserta. Para
siswa dibebaskan untuk berkarya sesuai dengan tema yang diarahkan
pemateri, dan mereka bebas bereksplorasi untuk menuangkan tema dan
idenya tersebut ke atas media yang diberikan.
Saat
praktik, mereka terlihat menikmati proses berkarya karena mendapatkan
pengalaman baru dari teknik – teknik yang dikenalkan serta
diajarkan para pemateri. Proses workshop seni lukis dan seni grafis
ini berlangsung selama 2 hari. Tahap pertama merupakan tahap
pengkondisian yaitu pengenalan akan media, bercerita akan tema yang
diangkat, bermain – main agar tahap berikutnya yang merupakan
finishing
karya dan banyak membutuhkan ketekunan, para siswa difabel
tidak cepat bosan dan gembira saat menyelesaikan karyanya.
Hari
berikutnya dengan pemateri yang berbeda, yaitu para seniman dari
Thedeo
Mix Blood yang
memberikan materi seni assemblage
dengan judul Flour
a Sense
menggunakan media tepung : bahan dasar pembuat kue dan mainan bekas
sebagai eksperimentasi bahannya. Terlihat antusiame dari anak –
anak yang semakin meningkat, terlebih produk akhir yang ditawarkan
dari proses workshop ini berupa mainan. Komunitas ini menggunakan
pendekatan yang sangat dekat dan cair dengan para difabel
; mungkin ada pengalaman terdahulu saat mereka juga pernah memberikan
workshop disalah satu komunitas difabel
di Yogyakarta. Kepolosan dan kenaturalan dari tingkah laku dan pola
pikir mereka yang ditangkap oleh pemateri, menjadikan tema yang
diangkat dalam karyanya yaitu fantasi mengarah ke absurd. Siswa
dengan seenaknya menempelkan bagian – bagian tubuh robot, mobil dan
mainan lainnya yang dikonstruksikan kembali menjadi satu bentuk yang
berbeda dan sangat otentik. Begitulah mereka mengolah rasa, melewati
batas – batas logika, dan cenderung banyak melibatkan sisi
intuitifnya. Kejutan yang dihasilkan dari seni assamblage
ini memang tidak terduga, karena hasil karya satu dengan yang lainnya
tidak ada yang serupa.
Naif,
penuh fantasi hingga rasa motivasi untuk menjadi yang terbaik
terlihat dalam karyanya. Adanya beberapa elemen seperti senjata pada
karya seninya dapat dimaknai bahwa mereka membutuhkan perlindungan
dari lingkungan sosialnya yang banyak terdapat diskriminasi.
Motivasi
untuk menjadi yang terbaik terlihat dengan tidak adanya karya yang
serupa dan percaya bahwa karyanya sendiri yang terbaik, sehingga
mereka berlomba – lomba secara senang dan penuh totalitas membuat
karya yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Itulah inti yang
didapat dari proses berkesenian, dimana saat membuat karya tidak ada
tekanan dan dibuat dengan rasa senang.
Teapot
Experince,
kelompok seniman yang memberikan materi workshop seni keramik yang
mengangkat tema cita – cita dan harapan. Para siswa diajak
kolaborasi dengan seniman untuk menceritakan tentang cita – cita
yang ingin mereka raih dalam bentuk visual 3.
Media yang digunakan sebagai transformasi cerita mereka adalah tanah
liat. Bentukan visual yang sederhana hingga rumit, terlihat penuh
makna dan cerita tersendiri. Semuanya sangat menikmati dari tahap
awal bercerita, bermain dengan tanah liat, proses pengerjaan seni
keramik, sampai hasil akhir yang ternyata mengejutkan dan luar biasa.
Workshop
terakhir yang saya ikuti di SLB Negeri I Bantul adalah seni tari dan
teater. Tahap pendekatan dan pengkondisian yang dilakukan oleh Giri
Mustika
( pemateri teater ) lebih pada humor dan parodi teatrikal yang
diinterpretasikan kedalam bentuk pertunjukan pantomim. Tema yang
diangkat adalah bencana Merapi dan lahar dingin yang pernah mereka
alami sebelumnya. Diharapkan dengan sesuatu yang pernah mereka alami,
dari pengalaman traumatis yang mengendap, akan menjadi pengalaman
estetis yang mereke ekspresikan kedalam teater. Giri yang penuh humor
dalam proses pengajarannya, menjadikannya dekat dengan anak – anak,
membuat kelucuan diantara mereka, dan saat berakting teater terlihat
tidak ada kecanggungan dari mereka. Semuanya lepas, bebas melepaskan
semua ekspresi, dan itu menyenangkan bagi mereka.
Adapun
Gita Kinanthi dan Rara---
panggilan akrab Ariyanti Sultan, yang menjadi pemateri seni tari ---
lebih memperhatikan tingkat ketunaannya sebagai pendekatan proses,
dan lebih bertumpu pada pendekatan secara personal. Dari pendekatan
personal tersebut kemudian dileburkan dalam bentuk pertunjukan tari
komunal dengan musik sebagai pengiringnya. Siswa Tuna Rungu belajar
dengan ketukan dan melihat ketukan musik dari tepukan tangan
pemateri. Rasa antusias mereka dalam belajar tari merupakan nilai
yang penting hingga masuk ke tahapan proses kolaborasi.
Workshop
lainnya adalah videografi.
Andre Triadi dan Andri Yani,
seniman video adalah pemateri yang memberikan workshop pada Komunitas
Gerkatin, Komunitas Tuna Rungu di Yogyakarta. Bagus, selaku ketua
komunitas tersebut menjadi penerjemah dari materi yang disampaikan
Andre dan Andri. Pendekatan materinya lebih kepada interpretasi
mereka pada tema yang diangkat. Mereka dilebur dalam kelompok –
kelompok kecil, kemudian memaknai tema tersebut untuk dituangkan
dalam story
board.
Mereka belajar menulis skenario, memainkan peran, belajar teknik
mengambil gambar dengan menggunakan kamera video, dan ada yang
berposisi sebagai sutradara. Semua dibebaskan untuk mengekspresikan
gagasannya, bereksperimen dengan media rekam, dan ini menjadi
pengalaman baru yang mengasyikkan bagi mereka walaupun hanya dalam
waktu singkat, yakni 2 hari.
Dalam
proses keseluruhan semua peserta yang terlibat dari pihak difabel,
guru serta seniman terlihat semangat, gembira dan antusias. Mereka
juga mendapatkan suatu pengalaman baru yang sangat berharga dalam
berkesenian.
Seniman,
Difabel, Perspektif
Seniman
mempunyai substansi tertentu dalam menyikapi persoalan – persoalan
yang mereka hadapi dan mentransformasikan dalam bentuk karya, baik
berupa karya visual maupun pertunjukan. Kami menangkap hal – hal
substantif tersebut berupa wujud yang sifatnya transendental,
kognitif, kontemplatif, maupun ekspresi subjektif. Dalam [
DIS ] Pararell
Event Biennale XI ini,
kami berhadapan dengan situasi ketika empati memiliki pengaruh bagi
seniman untuk menerjemahkan proses kreatif mereka melalui workshop
kolaborasi maupun melalui pengendapan yang berakhir pada eksekusi
karya untuk merespon tema
[ DIS ].
Proses
kerja kuratorial melalui skema diagramatikal, yang menempatkan
pemikiran – pemikiran dasar para seniman serta rekan – rekan
difabel
ditangkap dan diserap melalui observasi, diskusi, dan dokumentasi.
Pada akhirnya kami menemukan metode seniman dalam menyikapi persoalan
[
DIS ]
melalui proses kreatif mereka. Dengan berbagai pertimbangan tertentu,
Mahdi Abdullah seniman yang memiliki cara pandang pemikiran stereotip
Aceh, berusaha mendiskripsikan kekerasan dan konflik didalam
karyanya. Instalasi karya Mahdi Abdullah, secara implisit bercerita
tentang bagaimana negara berpengaruh terhadap difabilitas,
akibat konflik yang diciptakan. Di sisi lain, Indra Basok berusaha
menggambarkan harapan dan do`a melalui karya seni video dan
pertunjukan. Chozin Mukti dan Putu Astagiri, mencoba mengolah sisi
empati dalam karya seni bunyi dan musik eksperimental yang diolah
melalui pertunjukan orchestra melibatkan penonton difabel,
khususnya Tuna Rungu. HONF ( House of Natural Fiber ) yang telah
malang melintang di seni media baru, berbagi pengalaman melalui
dokumen, dan arsip mereka, kerja sama HONF dengan YAKKUM yang
mencapai satu dasawarsa merupakan sebuah perjalanan yang cukup lama,
dan merupakan sebuah kolaborasi unik antara seniman dan difabel.
Sudut
pandang seniman asing yang cukup lama berdomisili di Indonesia, dalam
merespon
[ DIS ]
juga layak diangkat, untuk memperluas sisi subjektifitas seniman.
Andi Stiller, seniman yang berasal dari Jerman dan kini bekerja di
Yogyakarta, mengangkat sisi perkembangan dan keindahan dari
perbedaan, yang diolah dari instalasi cahaya. Sedangkan Lucie
Wednesday, seniwati dari Republik Ceko memiliki pengalaman yang layak
untuk dibagi melalui karya instalasi tangga dengan penempatan yang
`nakal` dan konsep paradoksal. Proses – proses kreatif tersebut,
dengan paradigma yang beragam dari seniman memang tidak dapat
diambil, diterapkan ataupun dikembangkan secara langsung. Namun kita
juga tidak dapat memprediksi, bagaimana efek yang tercipta dari karya
– karya seniman dalam menyikapi persoalan
[ DIS ].
Perhelatan
[
DIS ] pun
akhirnya terselenggara dari tanggal 11 – 17 Desember 2011 dengan
maksimal, kerja keras proses kolaborasi antara seniman, difabel
serta karya seniman undangan yang dipamerkan serta dipertunjukkan,
mendapat apresiasi dari semua pihak, antara lain ; seniman, pecinta
seni, budayawan, juga masyarakat umum. Semua mendapatkan pelajaran
yang sangat berharga dari kegiatan ini, yaitu membuka perspektif
baru, menumbuhkan rasa empati dalam keberagaman, saling menghargai,
serta berkesenian tanpa batasan. Mereka berhak untuk menjadi kreatif
dan berkarya seni.
[ DIS ] semi-permanent gallery at the south town square of Yogyakarta Palace Source : Post Event Catalogue Parallel Events and Festival Equator Biennale Jogja XI Equator #1 |
(
Tulisan “ Religiusitas, Keberagaman dan [ DIS ] “ diadaptasi
dari ; tulisan “
[
DIS ] “, dalam
Post Event Catalogue Parallel Events and Festival
Equator Biennale Jogja XI Equator #1, halaman 74 – 81 ).
Catatan
Akhir “
Religiusitas,
Keberagaman dan [ DIS ] “ ;
Sengaja
saya tambahkan catatan sebagai penjelas.
1
Pengertian
religi sering terkacaukan dengan istilah agama, pada hal kedua
istilah itu tidak identik. Religio, dari kata Latin relego yang
artinya memeriksa lagi, menimbang – nimbang atau merenungkan
keberatan hati nurani ( Purwodarminto, 1969 ). Relego umumnya
diartikan menimbang kembali atau prihatin tentang sesuatu. Hal itu
dapat dibandingkan dengan ucapan Cicero ( dalam Mangunwijaya, 1982 )
yang berarti ; orang disebut religius bila rajin mempelajari dan
seolah serba prihatin tentang segala yang berkaitan dengan kebaktian
kepada para dewa.
Ada
yang berpendapat, religio berasal dari kata religo ( menambatkan
kembali ). Mangunwijaya akhirnya memberi kesimpulan bahwa
bagaimanapun manusia yang berhati nurani serius, saleh, teliti dalam
pertimbangan batin, dan sebagainya. Jadi belum menyebutkan menganut
agama tertentu.
Paul
Tillich ( dalam Arif Budiman, 1976 ) mengemukakan bahwa seorang
religius tidak harus menganut agama tertentu, seperti Kristen, Islam
dan Hindu. Seorang yang religius dan mereka yang mencoba mengerti
hidup ini secara lebih jauh dari pada batas – batas lahiriah saja.
Dia adalah orang yang berusaha bergerak dalam dimensi yang vertikal
dari kehidupan ini, dia berusaha mentransendir hidup ini. Dia bisa
memeluk agama tertentu, tentu saja hal ini bukan suatu keharusan,
karena meskipun seorang sudah menganut agama tertentu dia bisa saja
tetap tidak religius. Oleh karena itu Mangunwijaya menghimbau agar
religius jangan kontan dihubungkan dengan ketaatan ritual. Antara
religiusitas dan perikemanusiaan tidak sama, tetapi secara esensial
erat hubungannya.
Lihat
selengkapnya
;
Jabrohim,
___ . Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib ; Sebuah Kajian Sosiologi
Sastra. Yogya : Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Pusat Aktivitas
dan Study Sastra Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ( halaman 14 –
16 ).
2
Metropolelightberry
dibentuk di Yogyakarta oleh Eko Bambang Wisnu, Farhan Adityasmara,
Iqi Qoror, dan Theresia Agustina Sitompul. Para seniman ini belajar
di Institut Seni Indonesia, Yogya dari berbagai jurusan seni seperti
lukis, grafis, dan fotografi. Mereka memiliki minat yang sama dalam
seni media baru dan bekerja dengan media eksperimental.
3
Tentang
visualisasi dan The law of Attraction, baca lebih lengkap dalam ;
Byrne, Rhonda, . The Secret. Jakarta : Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.