Kami
berdua duduk di beranda depan suatu senja. Angin semilir, sesekali
membawa warna pada langit. Belum terlalu sore memang, asyik bercakap
sesekali kusentuh perutnya.
“
Dik, sudah punya nama untuk anak kita?! “
“
Siapapun namanya yang penting ada unsur Islami “.
“
Bukankah kita Jawa ?! “
“
Ya “
“
Mas “, Suaranya lirih.
Mendekatiku,
merebahkan kepalanya dibahuku. Kubelai rambutnya, diusapnya perutnya.
Angin sepoi tadi siang membawa panas.
“
Kau ingin lelaki atau perempuan, mas ?! “
“
Super Twins.“
“
Super Twins ?! “
Memang
pasangan muda itu belum memeriksakan kandungan. Tak perlu USG biar
untuk kejutan dan tebak - tebakan.
“
Kata Bapakku, lelaki atau Perempuan tergantung saat berhubungan “
“
Maksudnya ?!
“
Tergantung kadar asam, basa dalam tubuh “.
“ Aku
masih tak mengerti “
“ Dulu
aku juga begitu “.
Beberapa
anak kecil melintas dengan Sepeda Mini. Ada yang dikuncir, dikepang 2
dengan pita warna-warni. Pipinya montok - montok, kulit bersih,
ceria, pokoknya anak - anak yang lucu.
Kami
mengawasi tingkah polahnya sambil tersenyum.
“
Lelaki atau perempuan bisa ditentukan sebelumnya, tergantung fore
play yang cukup, ejakulasi yang tak terlalu cepat atau ditahan dan
orgasme berulang - ulang.”
“
After play gimana mas dokter ?! “
Aku
tersenyum, kurasa istriku sudah mengerti jawabanku.
Anak
- anak kecil itu semakin menggemaskan. Bermain riang. Anak siapa
mereka, yang pasti orang tuanya akan bahagia. Senja itu dasternya
begitu tipis dan lembut.
Mandi
di sumur dengan tutup seadanya, maklum belum membersihkan puing -
puing reruntuhan bangunan. Pengantin baru hawanya malas – malasan.
Tetapi suaminya lebih sibuk mengurusi desa. Mencarikan bantuan,
menggerakkan masyarakat dan lobby kesana kemari.
Kuperhatikan
setiap inchi tubuhku. Rambut panjang hitam berkilauan, wajah oval,
mata yang dalam jernih menyimpan kenangan, hidung sedang ( tak
mancung, tak pesek ).
Telinga
yang begitu tipis, sudah tak perawan. Karena sudah melahirkan
Karna
disebelah kanan, terdengar tangisnya di sebelah kiri. Tandanya ada
anting - anting di cuping telinganya.
Bibirnya
mungil, merah, basah mengembang senyuman berderet gigi putihnya.
Gingsul menambah manisnya.
Dagu,
pipi dan leher. Dibungkus dalam satu roman muka innocent, sendu tapi
bibirnya hangat.
Dihitung
dengan rumus Phytagoras, hasilnya mirip Isabel Adjani.
Meletakkan
kaca kecilnya lalu mengguyur tubuhnya. Lama ia mengamati payudaranya,
teringat perkataan nenek.
Hari
itu belum sore benar, orang - orang masih bekerja membersihkan puing
bekas reruntuhan. Beberapa orang melintas membawa angkong. Suaminya
membersihkan sekitar rumah dengan bapak. Beberapa hari ini dia tidak
terlalu sibuk mengurusi bantuan.
Sesekali
menatap istrinya yang sedang berjongkok mandi dengan tutup seadanya.
Ia
meraba putingnya satu per satu.
“
Aku hamil “ Gumamnya.
Semacam
perasaan yang membuat tenang. Begitu tenang, memuaskan, mengasyikkan
sekaligus menggelikan. Campur aduk dalam sebuah ember ; bayangan dan
kenyataan.
Kami
masuk rumah, sebuah rumah Limasan yang hampir jadi. Suara adzan
terdengar.
*
Ketika
perut itu dipanggil Salzabilla, ia menendang kearah kiri. Panji,
menendang kekanan. Haim Prasasti, Kensiwi, Ahmad Al-chudori semakin
keras menendang - nendang perutnya ibunya.
“
Suka bola paling mas “
Kami
sering membacakan surat Yusuf, Maryam, An-Nissa’ di malam hari
dengan penerangan seadanya, walaupun aliran listrik sudah kembali
berfungsi normal. Juga mendengarkan music ;
Emoto, Masaru.The True Power of Water, Hikmah Air
Dalam Olah Jiwa. Bandung; MQ Publishing, 2006. Hal 174
|
Suasana
histeria gempa masih kental.
Aku
kadang bermimpi melihat 11 bulan, bintang dan Matahari semuanya masuk
dalam perut istriku.
*
Hubungan
silaturohmi keluarga besar kami terjalin harmonis. Sering melakukan
pertemuan. Kadang spontan saja dengan tempat yang berpindah - pindah,
sekedar ngobrol, ngerokok ataupun minum teh bersama. Ngobrol sambil
mendengarkan kicauan Perkutut.
Kami
senang mendengarkan cerita dari nenek istriku.
Walaupun
sudah tua, badannya masih sehat. Pendengaran, penglihatan masih bagus
walaupun harus disokong kaca mata. Bicaranya lancar dan daya ingatnya
sesar. Masih sering puasa Senin Kamis. Keluarga besar kami senang
menantikan kelahiran cucu mereka.
Nenek
bercerita tentang anak yang masih di perut seorang Ibu. Selalu bersin
lalu diberi nama Alatas, Alatas, Al-athos. Terkadang kami tidak
mengerti apa yang di ceritakan nenek. Kami sangat menghormatinya.
*
Gempa
susulan masih sering terjadi. Warga setempat menyebutnya gempa lokal.
Membuat gempa sendiri ketika aku dan istriku masih di tenda bantuan
PMI.
Masyarakat
masih banyak yang trauma dengan suara dan getaran. Bunyi “
jlegur ”
kerap terdengar di tempuran Kali Opak - Oya. Tepatnya di Dusun
Sungapan, Imogiri. Pusat Episentrum gempa.
Sudah
banyak donator, NGO, LSM dan pemerintah yang telah memberikan bantuan.
Banyak masyarakat kagum dan terkesan dengan kinerja PMI dan Bulan
Sabit Merah dalam menangani bencana, komplet dan kontinyu. Dahulu
hanya menganggap PMI sebatas donor darah saja. Dari bantuan medis
pada awal terjadi gempa dengan membuka RS lapangan di lapangan Dwi
Windu Bantul dekat Markas PMI. Pemerintah masih lumpuh waktu itu.
Dilanjutkan
Program Fisio Therapy gratis dengan layanan antar jemput. Membuka
dapur umum untuk masyarakat. Bantuan - bantuan Tanggap Darurat ( Food
Parcel, Family Kits, Hygens Kits, terpal, tenda berangka, Tools Kits,
School Kits ).
Setelah
tanggap darurat selesai, dilanjutkan program Early Recovery. Hunian
sementara ( Rumah Limasan bambu tahan gempa ) dengan melibatkan
partisipasi masyarakat. Membentuk Tim panitia warga, bantuan
dicairkan melalui rekening panitia. System ini dilakukan jauh sebelum
rekonstruksi pemerintah. Recovery Ekonomi, PSP ( Phsyco Social
Support Programme ), WATSAN ( Water and Sanitation ), juga ICB (
Integrated Community Base ) dengan memperdayakan masyarakat dan ICBRR
( Integrated Community Base Risk Reduction ).
Semua
bantuan dari PMI dan Bulan Sabit Merah bersifat hibah. PMI adalah
Lembaga Non Govermental yang bertujuan semata - mata sosial dan
kemanusiaan.
*
“
Mas, aku ingin minum air Kelapa Gading “
Bergambar
Kamajaya dan Dewi Ratih “.
“
Ada - ada saja “ bisikku dalam hati.
“
Dicampur dengan Bit Gula atau Gula Aren, Gula Kelapa “
“
Baiklah “.
Kucari
Kelapa Gading itu dan harus kupetik dari pohonnya langsung. Kugambari
sebisaku pada kulitnya, wayang Kamajaya dan Dewi Ratih. Juga
kugoreskan dengan huruf arab “Ana ukhibukha”.
”Semoga
ia menerimanya”.
Kubawa
sejanjang Kelapa Gading yang telah kugambari serta 3 buah cikal
Kelapa Gading. Sedikit lecet – lecet dikaki dan tangan.
Malam
itu bulan cerah, Malam Selasa Kliwon. Karena hitunganku setiap jam
18.00 hari sudah berganti.
Di
pelataran pekarangan telah tertata Kembang Setaman, Kelapa Gading (
kuning langsat, ah! Ratih ! ), beberapa Jeruk Nipis dan deterjen juga
Lerak sudah disiapkan bapak. Bapak mengeluarkan benda dari peti kayu
berukir ( Keris lurus dan Luk), sebuah tombak dan Payung Mutho. Tanpa
berkata kita melakukan tugas masing- masing.
“
Bismillah, niat kami melestarikan Budaya Jawa menghormati, menghargai
rasa, cipta, karsa para leluhur yang berwujud benda ; ……..(
bapak menyebutkan satu persatu lengkap dengan namanya )
.
Kanthi
wilujeng “.
Kuhunus
sebilah keris berluk lalu kutelanjangi keris pada udara malam yang
terbuka. Bulan dan bintang transparan. Kupandangi bilahnya yang
telanjang kumandikan dalam keadaan bugil dengan air kembang.
Bapak
juga sudah mencuci pusaka - pusaka itu dengan deterjen dan lerak.
Menghilangkan minyak yang melekatinya. Terasa berat. Jatuh tetes demi
tetes dari bilah yang telanjang. Mungkin percik Meteorik.
Aku
juga sudah mulai menggosok dengan Jeruk Nipis, menghilangkan karat
dan kotoran. Menyebar pamor dimalam itu. . Bulan cerah, malam
berbintang.
Melebar
gelombang – gelombang elektro magnetic mencipta medan gaya magnetic
bumi. Medan gaya itu menyelimuti setiap gerak. Kuusap dengan
pinggiran jari.
Bapak
mengoleskan campuran beningan air Jeruk Nipis dan Arsenicum.
Gelombang elektro magnetic menjalar pada bilah keris. Tanganku
dituntun sempurna, meliuk dan menari, meliuk kekiri ( Salzabila ?!
), kekanan ( Panji ?! ), kekanan kekiri ( Salam ), menari ketika satu
persatu nama disebutkan.
Bapak
menoleh sebentar kearahku tanpa berkata. Pamornya memutih , Besi
berubah hitam dan kandungan Baja keabu - abuan.
Keris
itu tegak berdiri tanpa ditopang warangka, tanpa ditancapkan dengan
ujung dibawah. Keseimbangan Phythagoran, keseimbangan wajah istriku.
Semua
campur aduk dalam ember ; Bayangan dan Kenyataan.
Keris
yang kuhunus itu berdapur sengkelat,
“ Denawa Catur Mlebu Jagad ”.
“ Cepat
Sarungkan ” Kata bapak.
Kumasukkan
pusakaku ke kamar Istriku.
Jogja, 28 September 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.