Seperti
memutar kembali kisah – kisah lama ; Romeo – Juliet, Laila –
Majnun, Sampek – Engtay, Pronocitro – Roro Mendut, Rama –
Shinta, Panji – Candra Kirana, Panji – Prasasti. Yang terakhir
pasti masih asing karena memang tidak terkenal. Sejarah luput
mencatatnya. Padahal, “ Semua mendapat tempat, semua harus dicatat
“ seloroh Chairil Anwar.
Memaknai
rahasia tentang relasi manusia antar manusia, manusia dengan Sang
Penguasa ( pemimpin, Tuhan ) juga keterkaitan dengan alam sebagai
setting cerita. Sebuah cerita yang selalu direproduksi oleh zaman
untuk menimbulkan harapan. Mungkin segelintir manusia sudah terlalu
bosan dengan cerita yang itu – itu saja. Namun itulah balutan
emosi.
Cerita
ini dimulai dari sebuah rumah tradisional. Konsep konstruksi bangunan
rumah nenek moyang yang sederhana namun tahan gempa. Joglo,
Kampungan ( Pelana ), Limasan merupakan
bentuk rumah tradisional Jawa. Senthong,
gandhok, pendapa, emper, pringgitan, patehan
merupakan bagian dalam Rumah Tradisional Jawa yang khas.
Jika
kita perhatikan bangunan rumah, ada sebuah ruang yang terbentuk dari
“ ketiadaan “. Terbentuk secara otomatis dari “ keadaan “
ruang sebelumnya. Bahkan kita akan kesulitan menjelaskan bentuknya.
Bentuknya menurut bentuk sebelumnya yang tercipta ataupun menurut
otak kita masing – masing. Ruang itu adalah “
longan dan tritisan “.
Saya sulit mencari padanan kata yang pas untuk “
longan “
( Bahasa Jawa ) kedalam Bahasa Indonesia. Kata yang paling mendekati
“
longan “
adalah “ kolong “. Pada kasus “ kolong meja, kolong tempat
tidur, kolong jembatan “. Kata “ kolong “ ketika ditransfer
kedalam Bahasa Inggris berarti “
under “.
Secara
sederhana “
longan ( kolong ) “
merupakan ruang yang terbentuk dibawah benda lain yang berongga (
dipan, meja, kursi, dll ). Dalam Tata Bahasa Jawa sering dijumpai
kata yang sebenarnya salah kaprah tetapi telah menjadi kebiasaan,
dimengerti untuk itu dimaklumi saja penggunaannya. Sebagai contoh ;
sor
longan.
Menurut definisi sederhana mengenai “
longan ( kolong ) “,
jelaslah bahwa ruang itu terletak dibawah ( sor
)
benda lain yang berongga. Sor
longan
( dibawah longan atau kolong ). Longan
( kolong )
bukan hanya masalah pendekatan bahasa ataupun menunjuk letak ( atas,
tengah, bawah, samping, dsb ) seperti arah mata angin.
Lalu
kita akan bermain – main antara ; ketiadaan --- ke-ada-an ---
keberadaan dengan pembahasan yang lebih meluas dan mendalam lagi.
Longan
dan tritisan. Tritisan
terbentuk dengan masih adanya sedikit ( terkadang memang )
menggunakan rumus perhitungan dalam konstruksi atap rumah. Bisa
dikatakan semi otomatis terbentuk.
Dalam
pola pikir matrealis, suatu bentuk ( rumah ) harus memiliki rumus
perhitungan yang pasti tentang konstruksinya. Petungan Jawi tentang
rumah merupakan rumus pasti yang memuat unsur fisik, emosi ( batin )
dan spiritual ( Tuhan, alam ). “ Pasti “ disini dapat berarti
bisa dijadikan acuan dasar. Mirip dengan Metode Feng Shui.
Bukankah
yang dinamakan logis itu adalah sesuatu yang memiliki rumus – rumus
tertentu ?!.
Seluruh
komponen dalam pembangunan rumah tradisional di Indonesia selalu
berusaha disinergikan dengan alam. Bahan – bahan alam yang
dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi. Kayu, bambu, batu, tanah,
Rumbia ( Daun Tebu ), Duk
( Tali Ijuk ) dan lainnya.
Rumah
Sebagai Investasi
Kebutuhan
pokok manusia mengenan sandang, pangan, papan ( pakaian, bahan
makanan, tempat tinggal ) semakin berkembang. Khususnya papan,
merebaknya fenomena Perumnas ( Perumahan Umum Nasional ), Perum tipe
RSS ( Rumah Sangat Sederhana ), Rusun ( Rumah Susun ), Ruko ( Rumah
Toko ), Apartement ( kondominium ), hotel, villa, home stay, rumah
kontrakan, kost – kostan ataupun
jugend herberge
( pondok remaja ) penginapan murah yang berkembang di Jerman, Swiss
dan sekitarnya.
Peluang
dan kesempatan ini ditangkap begitu cepat oleh pelaku bisnis
properti bahkan masyarakat awam. Tempat belajar ( sekolahan, kampus
), tempat kerja dan tmpat wisata memberikan nilai ekonomi tersendiri
bagi masyarakat sekitarnya. Banyak OKB ( Orang Kaya Baru ) dengan
menyulap rumahnya menjadi rumah kontrakan, kost ataupun home stay.
Ada juga yang secara sengaja membangun fasilitas tersebut karena
memang tergiur prospek bisnisnya.
Di
Cikupa ( Tangerang ), pengembangan Perum Citra Raya semakin
meminggirkan penduduk lokal. Penduduk lokal semakin terpojok di
daerahnya sendiri. Tetapi itulah paradoksal pembangunan !.
Menarik
dicermati mengenai pengembang besar yang gencar berpromosi di Media
Massa dengn berbagai cara. Konsep hunian yang bertaraf internasional,
menawarkan fasilitas – fasilitas lengkap, tempat yang strategis dan
tentunya dengan sisitem kredit pembelian yang menggiurkan.
Sekitar
2010, saya datang ke Kantor Pemasaran Citra Raya. Pada awalnya memang
hanya iseng. Ingin mencari informasi Ruko dua lantai yang terletak di
kawasan strategis. Pihak marketing ( kebetulan wanita ) mengajak
mensurvey langsung Ruko yang ditawarkan. Ruko dua lantai siap pakai,
masih free
( satu – satunya yang belum dipesan ) dekat Hook kanan di kawasan
Mardi Gras, Citra Raya. Saya berbincang – bincang cukup lama sambil
observasi lapangan. Aku bermaksud membelinya secara tunai dan sah
tentu saja. Cash lunak Ruko dua lantai ditawarkan dengan harga Rp 900
juta, padahal budgetku hanya Rp 500 – 600 juta. Lantas kredit ?!.
Pada
akhirnya memang tetap hanya iseng saja. Namanya juga iseng.
Kebutuhan
akan bangunan sebagai hunian ataupun bisnis yang meningkat berdampak
melambungnya harga tanah. Sampai tidak menginjak tanah barangkali.
Apalagi tanah di daerah strategis. Namun perkara rumah adalah
masalah gaya hidup. Gaya hidup ditentukan kebiasaan. Kadang
keterpaksaan menjadi kebiasaan.
Karana
Wisma, Gesang Langkung Tumata
Pernahkah
suatu ketika kita mengamati anak – anak yang sedang menggambar
bebas ?!. Objek gambarnya pasti tidak jauh dari visualisasi gunung,
sawah dan rumah. Atau anda lagi senyum – senyum sendiri mengingat
masa kanak serta sering menggambar objek itu juga ?!.
Apa
bagian terpenting yang harus ada dalam gambar ataupun membuat rumah
?!.
Pintu,
jendela, atap, dinding dan pasti ada sesuatu yang terlupa. Ya,
fondasi rumah !.
Apa
artinya ?!. Silakan anda lanjutkan tersenyum lagi.
Kebutuhan
akan sandang,
pangan, papan ternyata
( setidaknya ) bisa dikemas dalam konsep 3 in 1. sandang,
pangan, papan terpenuhi
dalam media bambu.
Papan
( Tempat Tinggal )
Gempa
Bumi DIY dan Jawa Tengah 27 Mei 2006 mengakibatkan kerugian materiil
dan non materiil. Masyarakat banyak kehilangan tempat tinggal. Luluh
lantak diterjang gempa.
Hunian
sementara ( HS, Huntara ) harus segera dipenuhi sebelum masyarak
menerima bantuan rekonstruksi dari pemerintah ( rumah permanen ).
Menjawab kebutuhan tersebut, PMI ( Palang
Merah Indonesia ) bekerja sama dengan Japan Red Cross Society membuat serta
mengaplikasikan Program Early Recovery “
Omang ing Mongso Rendheng “.
Bertujuan memindahkan segera masyarakat yang masih tinggal di tenda
kedalam Hunian Sementara ( yang lebih layak ditinggali ) sebelum
Musim Penghujan tiba juga sebagai transit sambil menunggu bantuan
rekonstruksi ( rumah permanen ) selesai dibangun. Tidak ada relokasi
penduduk karena lokasi disekitar reruntuhan masih bisa dikondisikan
dan bekas – bekas bahan bangunan masih bisa dimanfaatkan.
Bulan
Juli, program tersebut mulai dilaksanakan. Mengambil Pilot
Project
di Kecamatan Dlingo, Bantul, DIY dan Kecamatan Gantiwarno, Klaten,
Jawa Tengah. Hunian sementara 6 X 4 M, berbentuk Limasan bambu, beratap
genting dan tentunya konstruksi tahan gempa. Model bangunan rakitan
memungkinkan untuk dipindah ke tempat lain.
Sistem
pengerjaannya dilakukan dengan gotong royong. Setiap RT ( Rukun
Tetangga ) dibentuk Panitia Pelaksana ( 3 orang, salah satunya harus
wanita ) untuk mengawasi penerjaan dan kegiatan yang bersifat
administratif. Dana bantuan ditransfer ke rekening bersama panitia
pelaksana masing – masing RT secara bertahap. Tahap pertama khusus
alat penunjang pembangunan dan tahap selanjutnya dana pembangunan
hunian sementara.
Relawan
PMI bekerja sama dengan relawan dari Mahasiswa Universitas Atma Jaya
Yogyakarta ( UAJY ) bertugas dalam pengumpulan data, survey penerima
bantuan ( assessment ), tahap sosialisasi ( sosialisasi Program Early
Recovery, pembentukan panitian pelaksana, pembukaan rekening bersama,
pengajuan proposal, dll ) , memobilisasi masyarakat, monitoring (
administrasi dan pembangunan ), sampai tahap evaluasi pelaksanaan.
Relawan tinggal 24 jam bersama penduduk. Mayoritas relawan juga
korban gempa. Baik kehilangan tempat tinggal, keluarga ataupun harta
benda. Menekan perasaan lalu dengan segera memunculkan jiwa – jiwa
kerelawanan dan kemanusiaan. Hal ini merupakan bagian dari kesiap
siagaan bencana.
Rumah Limasan Bambu Tahan Gempa |
Di
Indonesia hanya ada dua jenis bambu yang cocok untuk pembuatan hunian
sementara. Bambu Petung atau Betong (
Dendrocalamus Asper
), baik untuk komponen struktur rumah. Misalnya kolom dan bagian –
bagian lain dari bangunan yang akan menerima tekanan kuat. Diameter
Bambu Petung lebar dan kuat.
Jenis
yang kedua adalah Bambu Apus atau Bambu Tali ( Gigantochloa
Apus ).
Cocok untuk konstruksi dinding, pintu, jendela, perabot, kerangka
atap dan bagian – bagian lain dari struktur yang mendapat tegangan
kuat karena diameter Bambu Apus yang lebih kecil dan kelenturannya.
Kedua
jenis bambu ini dapat bertahan sampai 7 tahun atau lebih tanpa
perawatan, jika pemotongan dan pengeringan dilakukan secara benar.
Bambu
menjawab kebutuhan akan papan. Jika dikaitkan dengan rumah sebagai
investasipun, media bambu bisa dijadikan bahan baku konstruksi
gazebo atau home stay di desa wisata. Juga nilai ekonomi lainnya.
Pangan
( Bahan Makanan )
Pernahkan
anda mencicipi atau setidaknya mendengar tentang Sayur Rebung ( tunas
bambu muda ) ?!.
ketahanan
pangan nasional yang didukung oleh bahan pangan lokal. Bagi orang
yang sinis, bolehlah mengatakan bahwa Sayur Rebung itu akibat saking
gragas
dan kere
nya Masyarakat Jawa.
Begitulah
manusia sebagai Omnivora.
Sayur Rebung Pedas |
Sayur Rebung Asam |
Sandang
( Pakaian )
Budaya
Back
to nature,
pola pikir dan perilaku yang serba organik sedang digandrungi.
Kealamian lebih menyehatkan. Gaya hidup yang serba organik ini
meluas ke segala bidang, tak terkecuali dalam mode berpakaian (
Eco Fashion ).
Sudah banyak yang memanfaatkan Serat Bambu sebagai gaya berbusana
yang ramah lingkungan.
Bambu,
sesuatu yang murah ( tapi tidak murahan ), bersahabat, merakyat,
mudah didapat, renewable
dan bernilai ekonomi tinggi.
Sejak
dahulu sampai sekarang, tempat kita tinggal sebenarnya adalah alam.
Kembali ke alam menjadi alami dan manusiawi.
Terima
kasih telah membaca cerita Panji – Prasasti membangun rumah tangga.
Bantul,
Minggu Pon, 25 November 2012.
Catatan
Akhir
- Judul tulisan ini “ Rumah Kita Sendiri “ terinspirasi dari lagu ini
- Bulan Juli – Agustus 2006, saya bersama beberapa relawan PMI Bantul ditugaskan ke Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah. Keadaan rumah waktu itu masih belum terkondisikan. Rumah kami hancur total. Nenek luka dikepala dengan beberapa jahitan, adikku terluka di kaki, walaupun sempat tertimpa reruntuhan bangunan rumah tapi Alhamdulillah, bapak masih terselamatkan, sedang ibu sehat – sehat saja. Saya sendiri tidak mengalami trauma, dan sebenarnya tidak “ mengalami “ gempa itu sendiri. Karena waktu gempa , aku sedang dalam perjalann pulang kerumah. Menyaksikan sendiri bangunan – bangunan roboh, darah, orang – orang menjerit terkapar di jalanan. Segala pikiran berkecamuk, bagaimana keaadaan di rumah ?!.
- Dua hari sebelum gempa bumi terjadi, aku bermimpi masuk masjid ( tepatnya Mushola Al Fuqoro' ) di Jejeran, Plered ) dekat rumah temanku. Berniat akan sholat tapi tiba – tiba seluruh ruangan bergetar. Di rumah temanku ( Jejeran, Plered ) itu juga kejadian gempa itu terjadi 2 hari setelah mimpiku. Jika terlambat 5 menit saja, tidak keluar rumah pasti aku sudah terkubur rerutuhan bangunan. Keluarga temanku selamat kecuali ibunya. Saya begitu dekat dengan keluarga itu. Hubungan persahabatan kami lahir batin sampai anggota keluarga lainnya. Sudah seperti keluarga dekat.
- Di Desa Muruh, Gantiwarno, Klaten, Jawa Tengah aku ditugaskan. Masyarakat mayoritas beragama Kristen dan Katholik. Perbedaan tidak penting, karena kita sama dihadapan kemanusiaan. Mungkin hanya bencana, sepak bola yang menyatukan seluruh emosi, pikiran dan tenaga Manusia Indonesia untuk bersatu. Tanpa mengecilkan orang – orang yang selalu menghargai dan memperjuangkan kemanusiaan, pluralisme yang mendalam. Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, sebab rumah kita sebenarnya adalah Indonesia. Indonesia yang semata wayang. Negeri yang sekarang kita kritik habis – habisan itu. Negeri yang masih ( tetap ) menyimpan berjuta harapan untuk terus tumbuh.
- Pasca di Gatiwarno, berturut – turut aku ditugaskan ke Dlingo ( Bantul ), Imogiri ( Bantul ), Sewon ( Bantul ). Saya dan teman – teman relawan, mayoritas tidak mendapat bantuan hunian sementara dari PMI. Daerah kami juga termasuk daerah yang parah terkena dampak gempa. Tetapi kami mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai dari itu semua. Teramat banyak dan membekas berulang - ulang hingga kami terasa kelu untuk menyebutkannya satu demi satu.
Sungguh cerita yg haru !, realitas & imaji bergelut begitu ulet.
BalasHapusSudut pandang yg aneh !.
Seaneh yang komen ya ?!. Kapan aku bisa mampir ke berandamu ?!.
Hapus