“ Give yourself a
coffee break – and get what coffee gives to you “
Secangkir kopi hitam menetralisir hal
– hal buruk di pagi hari. Itulah setidaknya sugesti di benakku.
Sejarah perkopian di Indonesia
merupakan cerita panjang. Kopi masuk ke Indonesia ketika diberlakukan
Sistem Cutuurstelsel ( Tanam Paksa ) tahun 1830 – 1870 oleh
Graaf Johannes Van den Bosch. Meliputi Jawa, Sumatra dan Sulawesi.
Jenis kopi yang ditanam berjenis Arabica yang langsung didatangkan
dari Yaman. Masa yang sangat memprihatinkan bagi para pekerja tanam
paksa. Bahkan harus petak umpet dengan para Juragan Belanda untuk
sekedar menikmati secangkir kopi. Kebun Kopi sering diserang Luwak (
Musang ) liar yang memakan daging kopi. Saking inginnya menikmati
secangkir kopi, mereka membersihkan sisa biji kopi yang dikeluarkan
dari pencernakan Luwak. Luwak hanya memakan daging buah kopi saja,
setelah dicerna dalam ususnya biji kopi utuhpun dikeluarkan. Para
pekerja baru bisa menikmati secangkir kopi tanpa takut terkena
hukuman. Yang jelas kopi sebagai komoditas perdagangan untuk
pemasukan kas Negeri Belanda yang sedang defisit waktu itu.
Lama kelamaan Para Juragan Belandapun
mengetahui kebiasaan para pekerja itu. Ternyata Kopi Luwak memiliki
cita rasa khas. Juragan Belandapun menggemarinya.
Dalam perkembangannya, karena hanya
diproduksi di Indonesia dengan jumlah terbatas, Kopi Luwak menjadi
bernilai tinggi. Secangkirnya bisa mencapai 900 ribu Rupiah. Tak
pelak The most expenssive coffee in the world pun melekat pada
Kopi Luwak. Duniapun mengakuinya. Cita rasa yang khas, berkelas.
Budaya Ngopi
Selain Teh, Kopi telah menjadi
kebiasaan bahkan mungkin kebutuhan. Menikmati secangkir kopi tidak
bisa dilepaskan dari setiap aktivitas masyarakat. Tua, muda, lelaki,
perempuan semuanya menikmatinya dengan cara masing – masing. Kopi
identik dengan kuat melek, rokok bahkan menjadi sebuah gaya hidup.
Pecinta kopi tidak hanya puas meminum kopi saja. Melainkan menikmati
dan mengamati berbagai tahapan dalam pembuatan kopi, membelinya,
menyimpannya, menyeduhnya, menghirup aroma sebelum menyecapnya,
merasakan kopi yang mengalir hangat dari mulut-- kerongkongan –
dada – tubuh mengalir keseluruh pembuluh darah dan “ Pyar ! “
dalam otak sampai setiap syaraf mengenali cita rasa kopi.
Seringkali aku menyebutnya suasana Fly
dan Flow. Ritual minum kopi dan beberapa obrolan ringan dengan
teman.
Ritual itu akan komplit jika ditambah
menikmati dan mengamati sejarah kopi itu sendiri yang menjadikannya
begitu mahal. Menikmati kopi secara biasapun tidak masalah.
Nonton Bola Sambil Ngopi |
Surabaya tahun 1927, PT Santos Abadi
Jaya memperkenalkan sebuah brand Kopi Kapal Api. Sebelumnya kopi ini
tak bermerk tetapi masyarakat menggemarinya. Sebuah brand dengan
sejarah panjang dengan potitioning, differentiation
cita rasa yang melegenda.
Baru – baru ini lagi gencar mengusung
tag line “ Secangkir Semangat Untuk Indonesia ! “. bidikan
yang tepat karena sesuai Marketing 3.0 Value of product to
consumers emotion.
Kopi dan Indonesia adalah sejarah
tentang semangat. Kita akan langsung mengerti ketika menikmati dan
mengamati Kopi Hitam Kapal Api. Rasa yang kuat, pekat !. Ngopi dan
semangat itu menular. Tetapi brand inipun masih harus terus berjuang.
Agar sewaktu orang membeli, menikmati kopi bukan mengatakan “ kopi
“ tetapi “ Kapal Api “.
kebanyakan orang mengandalkan
rasionalitas dalam segala hal, bahkan saat santai menikmati kopi.
Menikmati dan mengamati kopi secara logis adalah masalah cara, waktu
dan penerapan Hukum Gossen I. Cobalah secangkir kopi hitam.
2 – 3 cangkir kopi sehari masih
ukuran normal untuk mengkonsumsinya. Setelah menyesapnya, menikmati
aroma dan mengenali cita rasa lalu meminumnya, menghembuskan napas
panjang. Huft,... !, segalanya terbebas. Fly juga flow.
Aku hanya ingin jika sampai penikmatan dan pemahaman “ huft,... ! “
terakhir, lidahku masih fasih. Fasih mengatakan, “ Nyekseni
ingsun ; setuhune mboten wonten pangeran kejawi Gusti Allah
lan nyekseni ingsun, setuhune Muhammad iku utusanipun Gusti Allah.
Laillaha illaallah, Muhammadur Rosulullah “.
Jika napasku terlalu pendek, aku akan
menyebutnya Allah saja.
Bubuk kopi hitam mengendap di dasaran
cangkir setelah percakapan. Bundar.
Itu caraku menikmati dan mengamati
kopi. Hmm,... ngopi. Hidup hanya mampir ngopi.
Bantul, 19 Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.