Angkringan dan Lesehan. Kita akan
gojeg kere1 sambil ngobrol
tentang cara duduk. Angkringan mengacu pada kata “ angkring,
ngangkring, nangkring “ yang berarti cara duduk dengan santai.
Perhatikan Wong Cilik2 ketika
duduk makan pada sebuah warung kecil.
Lesehan merupakan kebiasaan Orang Jawa
ketika makan sambil duduk bersila pada selembar tikar yang digelar di
lantai. Pas kiranya duduk santai sambil menikmati Tembang Jawa3,
E
dayohe teko
ndang
gelarno kloso
E
klosone bedah
tambalen
Jadah
E
Jadahe mambu
pakakno
Asu
E
Asune mati
kelekno
kali
E
kaline banjir
kelekno
pinggir
Angkringan 4 merupakan
sebuah warung dengan gerobag dorong, terpal plastik sebagai atap dan
penutup samping alakadarnya. Sekedar menahan dingin dan panas udara.
Terpal plastik biasanya berwarna Biru atau Orange mencolok. Warung
ini banyak ditemui di Jawa Tengah, Jogja di pinggir – pinggir jalan
pada malam hari. Angkringan identik dengan Wedhang Jahe, Nasi Kucing,
aneka gorengan, murah, buka 24 jam dan tempat segala macam informasi.
Dari ngobrol santai, serius, remeh temeh sambil makan Nasi Kucing (
Sego Kucing ). Nasi dengan porsi sedikit, kecil yang dibungkus
koran dan Daun Pisang. Lauk Ikan Teri, Oseng oseng Tempe atupun hanya
sambal. Pokoknya pas untuk makanan Kucing ( hahaha,... ).
Setidaknya menu di angkringan, cukup
mengubah pola konsumsi mahasiswa. Anak kost yang makanan pokoknya
Mie instant naik tingkat menjadi nasi. Walaupun Nasi Kucing. Tapi
memang, Indonesia adalah bangsa mie instant.
Sejarah angkringan di Jogja merupakan
perjuangan melawan kemiskinan. Ironis dengan predikat sebagai kota
pelajar, seni dan budaya. Orang yang kebanyakan melek pendidikan
dengan tingkat kreatifitas tinggi, masih menyisakan ruang luas
kemiskinan. Tapi itulah kenyataan !.
Angkringan Jogja dipelopori oleh Mbah
Pairo tahun 1950-an. Seorang pendatang dari Cawas, Klaten, Jawa
Tengah. Berusaha mengadu nasib ke Jogja. Setiap malam memikul
dagangan disepanjang Malioboro. Pada mulanya angkringan merupakan
gerobag pikulan, bukan gerobag dorong seperti sekarang. Berkeliling
menjajakan menu khas angkringan dengan Lampu Senthir dan
penerangan jalan seadanya. Mulai sore sampai dini hari. Arang bara
menjaga makanan dan minuman tetap hangat.
Tahun 1969 angkringan Mbah Pairo
diteruskan anaknya. Terkenal dengan Angkringan Lik Man ( Angkringan
Tugu ). Sempat beberapa kali berpindah tempat. Akhirnya menetap di
Jalan Wongsodirjan, Utara Stasiun Tugu Jogja. Angkringan legendaris
ini menawarkan menu istimewa ; racikan Teh Nasgithel, Nasi
Kucing, Jadah bakar dan Kopi Joss. Minuman kopi yang dicelupi Arang
bara. Menurut penelitian Mahasiswa UGM ( sering mangkal di Angkringan
Lik Man ), Arang bisa mengurangi kadar kaffein dalam kopi.
Menikmati malam dengan Kopi Joss di
angkringan legendaris, sungguh hidup hanya mampir ngopi.
Malam hari adalah waktunya angkringan
dan lesehan Malioboro, ketika toko – toko modern mulai tutup.
Lesehan Malioboro menawarkan Gudeg, Ayam, ikan, daging- dagingan dan
aneka makanan dan minuman yang khas. Tidak perlu kuatir, lesehan
sepanjang Malioboro telah memasang tarif harga. Tidak ada lagi
kebiasaan penjual menaikkan harga sembarangan, apalagi untuk orang
luar kota.
Angkringan dan lesehan itu pilihan,
kebiasaan ataupun keterpaksaan. Tempat ini tidak hanya favorit kelas
menengah kebawah, karna Angkringan dan Lesehan telah menjadi
klangenan.
Di sepanjang Lesehan Malioboro, musisi
jalanan mulai beraksi,...
Bantul, Juni 2012
1 ngobrol,
ketawa- ketiwi yang penting asyik bahkan tanpa sebab sekalipun
2 sering
digunakan PDI-P sebagai jargon kampanye dan politik
3 Tenbang
Jawa yang telah mengendap menjadi ingatan kolektif masyarakat. Judul
dan penciptanya pun sukar ditelusuri, yang jelas sering digunakan
untuk media da'wah Wali songo melalui seni dan budaya.
Saya hanya berusaha
menterjemakan dengan pas dalam Bahasa Indonesia.
E
tamunya tiba
gelarkan
tikar segera
E
tikarnya robek terbelah
tamballah
Jadah
E
basi Jadahnya
berikan
Anjing 'tuk memakannya
E
Anjingnya mati
hanyutkan
ke kali
E
kalinya banjir
hanyutkan
pinggir
Kata “ Tamu “ dalam
tembang itu bisa berarti luas. Kearifan lokal membuat Orang Jawa
begitu menghormati tamu. Sikap tebuka itu tercermin dalam “
menggelar-menggulung “ terhadap segala unsur yang akan masuk. Jika
ditarik dari segi wisata, tamu itu bermakna wisatawan. Segi
spiritual, merupakan suatu prosesi untuk menyambut Tamu Agung. Tamu
agung itu adalah Bulan Ramadhan.
4 Di
Solo Angkringan sering disebut HIK, diplesetkan menjadi Hidangan
Istimewa Kampung. Di kampungku ngetrend dengan Koboinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda akan memperkaya wawasan.