Social Icons

Sabtu, 16 Agustus 2014

Dian Teplok : Nggoleki Pepadhanging Ati Lan Pikir


Masyarakat pedesaan pada sebagian daerah masih menggunakan lampu minyak sebagai penerangan rumah. Lampu minyak sering disebut dian, teplok, gelek ataupun senthir. Senthir lenga patra, sing dipikir ora rumangsa.
Lampu minyak ini masih digunakan sebagai penerangan, apalagi listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih sering byar pet. Apakah masih ada daerah di Indonesia lainnya yang berpenduduk, belum tersentuh aliran listrik ?!. Tersentuh bukan kesetrum.
Lampu Minyak, Penerangan Rumah
Dian Teplok. Foto : Panji.
 Byar pet bukan dalam artian lensa mata yang melakukan daya akomodasi dengan mencembung, mencekung agar fokus pada objek, juga bukan karena kelilipan, namun jaringan aliran listrik yang sering padam. Dalam pikiran masyarakat kampung, tidak ada hujan, angin, kog listrik padam. Lampu minyak menjadi alternatif penerangan rumah.
Penempatan dian sebagai penerangan ini juga penting. Pada malam hari seorang bayi akan selalu memandang, mencari sumber cahaya terang. Jika penempatan dan jumlah lampu tidak diperhatikan, bayi yang akan tumbuh dewasa berkemungkinan mempunyai mata kero, slering (semacam juling). Pemikiran dan cerita yang berkembang di desa memang seperti itu adanya.
Lampu minyak ini mengingatkanku pada nar (api) dan nur (cahaya). Semuanya dipersilahkan dan dijamu di rumah kami yang sederhana, bersih, terang, luas dan nyaman.

by Facebook Comment

Kamis, 14 Agustus 2014

Fenomena Selfie di Media Sosial

Setahu saya (yang dikatakan sebagai orang katrok ini), selfie itu memamerkan diri, biasanya dengan menggunakan foto (ataupun audio visual) dari hasil kamera lalu dipublikasikan. Bisa dipublikasikan melalui sosial media.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam era globalisasi ini mempunyai andil yang besar terhadap fenomena selfie yang lagi nge-trend (rujukan ?).
Kita sering melihat fenomena selfi tersebut, misal selfie lepas jilbab, selfi jilboobs (jilbab dan boobs atawa berjilbab tapi memakai pakaian ketat), selfie hijabers (tutorial memakai hijab), selfie sejoli yang mengarah pada tindakan free sex (orang Indonesia suka sekali dengan segala hal yang berhubungan dengan "free", paling tidak discount ataulah kredit, biar dikatakan modern ), selfie makan, selfi plesiran, selfi-selfi lainnya.
Fenomena dan realitas selfi bisa juga dimaknai sebagai "selfishly" ataupun dianalisa menggunakan ilmu psikologi, jurnalisme, fotografi dan komunikasi massa dan media. Selfi juga diartikan sebagai self image.
Fenomena selfie di media sosial setidaknya merupakan nilai aktualisasi dan eksistensi diri. Buah dari narsisisme (yang memabukkan). Semakin eksis, semakin narsis. Pola komunikasi multi arah yang terwadahi dalam dunia keseketikaan melalui internet. Keseketikaan itu pula yang mendasari seseorang untuk selalu mengabadikan moment dalam hidupnya. Berbagi self image dalam media sosial. Semua mengglobal. Tak ayal, tingkat filterisasi dalam keseketikaan di internet tersebut mulai tak berfungsi maksimal karena banyaknya informasi yang masuk bertubi-tubi. Media sebagai mind control.  Pengolahan, filterisasi, kebebasan juga kecepatan akses loading internet.

Selfi, Kuburan Tionghoa
Selfi di Kuburan Tionghoa, Timur Universitas Muria Kudus (UMK) , Jawa Tengah, Indonesia.



Coba bandingkan antara nilai aktualisasi dan eksistensi diri terhadap foto selfi di Kuburan Tionghoa disamping ini. Self image berhubungan dengan nilai diri, ke-aku-an.
Foto itu juga memiliki cerita. Cerita yang multi interpretasi, baik gambar secara tunggal ataupun dirangkaikan.

by Facebook Comment

Selasa, 12 Agustus 2014

Wayang Suket Asli Pakem

Wayang Suket Asli Pake, Ki Mujar Sangkerta, Pentas Wayang Kolaborasi di Yogyakarta
Wayang Milehnium. Gambar : Ki Mujar Sangkerta 
Beberapa waktu lalu saya dihubungi seseorang melalui Google Talk. Ia menginformasikan bahwa ia sedang mengadakan acara pengajian di Jogja. Waktu itu masih dalam Bulan Ramadhan. Pengajian apapun bentuknya merupakan kegiatan yang positif. Ia juga bertanya padaku, "Mengapa memakai nama 'Cybersufi', apakah ada hubungannya dengan aliran tasawuf atau dzikrulloh ?!"
Jawabanku, "Saya sedikit menerangkan tentang Cybersufi tersebut dalam tulisanku di blog ini, makna dhahirnya. Saya hanya orang kampung sederhana yang suka menulis saja" (dalam percakapan saya tulis, "saya orang yang suka menulis dan otak-atik kata saja" ).


Saya lebih menyukai pendekatan kultural. Karena dari pendekatan (kedekatan) tersebut terjalinlah hubungan, yang diawali dari bentuk kerinduan sosio-kultural juga pemahaman tentang multikultur.
Apa yang lebih indah selain kerinduan, pemahaman ?!.



(Diambil dari status Facebook Panji Cybersufi dengan revisi seperlunya, 25 Juli 2014).
by Facebook Comment

Senin, 11 Agustus 2014

Konservasi Sumber Daya Alam dan Kearifan Lokal


Marilah sejenak kembali ke alam selepas Lebaran ini. Yang seharusnya Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia, sekarang Sumber Daya Alam versus Sumber Daya Manusia. Hopo tumon ?!.
Konservasi alam sudah dirasa begitu pentingnya sampai pemerintahpun perlu menjadikan kegiatan tersebut sebagai bagian integral dan berkesinambungan dalam proses pembangunan di tanah air . Termaktub dalam Undang Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya.
Semua unsur-unsur yang berada di alam merupakan sahabat dekat bagi peradaban manusia. Nilai-nilai kearifan lokal, menempatkan penghargaan terhadap alam juga harmonisasi manusia, alam dan Tuhan.
Sedhulur Sikep, Populasi Samin di Kudus, KKN UNDIP Semarang 2012, Konservasi Sumber Daya Alam
Mbah Wargono, Mbah Niti dan Tim I KKN UNDIP Semarang 2012. Populasi Wong Samin di Dukuh Kaliyoso, Desa Undaan, Kecamatan Undaan, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Sumber Gambar : karangrowoundaan.wordpress.com
 Menurut Orang Samin (Sedhulur Sikep), alam merupakan bagian yang melekat pada manusia. Maka perlakukan alam seperti saudara. Hubungan yang tak dapat dipisahkan. Masih banyak lagi kearifan lokal yang bisa digali di negeri ini yang memperhatikan keseimbangan dan harmonisasi lingkungan hidup. Namun karena didesak kebutuhan (harus dipenuhi, sisi lain selalu bertambah seakan-akan tidak ada habisnya), maka unsur-unsur yang berada di alam mulai mendapat tekanan dan serangan dari manusia. Hubungan manusia dengan alam yang dulunya mesra sekarang mulai bersifat eksploitatif. Pemulihanyapun dibutuhkan waktu yang lama.
by Facebook Comment

Permainan Cilukba


Semua orang memandang dunia sebagai satu kesatuan melalui sistem inderawi. Namun indera manusia hanya dapat mengungkapkan dunia yang terpecah-pecah dan tidak komplit. Bahkan pikiran yang jauh mengembarapun hanya dapat melihat sebagian saja dari dunia ini selama masa hidupnya. Pemahaman kita tentang "realita" merupakan sikap percaya berdasarkan penggalan-penggalan tersebut. Sewaktu bayi kita tidak akan memahami kepercayaan itu. Jika kita tidak dapat melihat, mendengar, merasakan, mencium atau menyentuhnya, maka kita menganggapnya tidak ada.
Permainan Cilukba
Permainan "Ciluk ba" (Inggris : Peek a boo) salah satu contohnya. Secara bertahap kita belajar bahwa walaupun kita melihat seseorang hilang dan muncul, tetapi seseorang tersebut masih tetap berada disitu, ditempatnya semula. Akan halnya permainan sulap, dimana penyulap seolah menghilang setelah kain penutup dirinya dibuka. Padahal ada ruangan khusus yang disiapkan oleh tim sulap agar pesulap tersebut dapat bersembunyi. Ruang yang tak terlalu jauh dari letak semula. Sulap (magic) mengacu pada sebuah teknik yang dirahasiakan untuk melakukan adegan sulap. Orang lazim menyebut adegan itu sebagai hal yang ajaib, magic.
Dalam teknologi, sistem inderawi manusia yang terbatas itu dikembangkan lagi melalui Sistem INDRAJA ( Penginderaan Jarak Jauh ).
"Bagaimana warna pohon itu ?!".
Senyatanya pohon itu berwarna kecoklatan, dengan daun kehijauan.
"Kuning, hitam, coklat, hijau, ungu"
"Apa lagi ?!"
"Putih sedikit keabuan".
Apa saya keliru melihat pohon itu ?!, tapi begitulah emosiku ketika melihatnya. Lalu apa yg kita percayai ?!.



(Diambil dari Catatan Facebook Panji Cybersufi dengan revisi seperlunya, 13 April 2012).
by Facebook Comment

Rabu, 06 Agustus 2014

Pengembangan Kelompok Kesenian Tradisional


Seni Budaya Indonesia, Tarian Indonesia, Musik Indonesia
Budaya Indonesia
Ada baiknya jika kelompok kesenian tradisional disetiap daerah menguasai teknis menejerial organisasi.
Kelompok kesenian yang telah berbadan hukum dengan akta pendirian, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama kelompok, pengelolaan keuangan yamg profesional, manajemen pertunjukan dan program karya (kerja).
Selain untuk meningkatkan kualitas, hal ini bertujuan untuk menaikkan posisi tawar para seniman dalam masalah tarif pertunjukan. Selain itu pemerintah bisa berperan dalam nguri-nguri kesenian tradisional (modal, wahana pentas, standarisasi tarif pertunjukan, kesehatan, dll).
Tetapi kelompok kesenian tradisional juga harus mempunyai modal sendiri untuk membiayai segala aktivitas, agar mereka tidak menjadi corong penguasa. Akhirnya, mereka bisa saja terbeli.
Makhluk yang bernama seniman itu pada dasarnya mencintai kebebasan. Kebebasan yang bagaimana, tentu masih bisa didiskusikan bersama.
by Facebook Comment

Jumat, 01 Agustus 2014

Mutu Sinetron Religi Di Negeri Kita

Mega Carefansa, Serial Ramadhan; Sinetron Religi Indonesia
Kisah 9 Wali---Lara / Rara Santang, Ibu Sunan Gunung Jati (Mega Carefansa)


Shiwa, Sati, Mohit Raina, Mouni Roy, Serial India, Purana
Mahadewa---Shiwa (Mohit Raina) dan Sati (Mouni Roy)

Fenomena "born again moeslim" sedang marak, apalagi Ramadhan tahun ini. Fenomena dan realitas seperti ini mempunyai arti ganda ; menggembirakan sekaligus mengkuatirkan.
Kondisi ini merambah hingga dunia pertelevisian (bahasanya capres : pertelevisian, pertelemisian) dengan maraknya tayangan bernuansa religi (Islam), salah satunya sinema elektronik (sinetron).
Tetapi ketika saya menonton sinetron yang berbau (maklum mulutnya lagi puasa ) religi, yang seharusnya tontonan tersebut bisa menjadi salah satu alternatif tuntunan tetapi malah banyak terjatuh sekadar hiburan. Kurang kaya perspektif Islam yang rahmatan lil 'alamin, kemajemukan Indonesia tidak terekspos dan tergali, kurang menyentuh kehidupan riil masyarakat mayoritas Islam Indonesia yang sesungguhnya tertindas, kurang mampu menghadirkan tantangan agama (Islam) dalam era modern, tantangan serta jawaban, masih seabrek lainnya yang belum dieksplor secara maksimal dari segi cerita.
Sebagai pemirsa, untuk memperoleh kemajemukan dan penghargaan terhadap pularitas, saya harus menyatukan sendiri mozaik-mozaik itu kala menonton Mahabharata, Mahadewa, Kisah 9 Wali, Para Pencari Tuhan, Jodha Akbar, misalnya. Sebagai perbandingan.
by Facebook Comment

Arloji Merah Pemberianmu


Aku tlah buang jam tanganku, kini tanganku hampa. Akan kuhitung perjalaanan dengan napasku saja.
Dengan langkah gontai kugulung lengan baju, terasa merinding tercekam kehampaan.
Dengan atau tanpa waktu, tanganku tetap hampa. Berjalan tanpa senjata. Bukan, memang aku bukan hendak pergi perang atau pesta.
"Aku tlah lewati jalan ini" bisikku
Remang bayang-bayang

Aku tlah buang arloji itu, yang menyimpan angka-angka cantik, detak detik yang mendetak misterius, seperti angka-angka suci, sebuah perhitungan mutlak !.
Orang sudah tak tanya lagi, "Jam berapa sekarang ?!" sebab jam tanganku tlah kubuang
mereka pikir aku gila, "Jam berapa kau buang arlojimu ?!"
Mereka mengumpulkan angka demi angka untuk dijadikan bilangan lalu rumus-rumus persamaan
by Facebook Comment